Permasalahan :
Saya Ibu (41 th) dari anak tunggal perempuan usia 12 tahun kelas 1 SMP. Sejak hampir satu tahun ini putri saya sering mengalami pingsan yang periode hampir setiap 2 minggu sekali. Malah diawal masuk SMP pernah hampir setiap hari. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan CT Scan (normal) EEG ada kecenderungan epilepsi (walaupun 3 dokter spesialis syaraf yang saya datangi masih agak ragu akan diagnosenya), darah , jantung, paru-paru semuanya normal, tapi kesimpulan hasil pemeriksaan psikologisnya menunjukkan immaturitas kepribadian yang menyebabkan anak kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Subyek sangat rendah toleransinya terhadap situasi yang menekan dan hasil tes bender menunjukkan adanya indikasi kelainan organik. Apa maksudnya? Apa ini ada indikasi bahwa putri kami stres? Bagaimana cara menumbuhkan rasa percaya dirinyA? Karena pernah kepada saya dia mengeluh/merasa dirinya bodoh, padahal IQ nya 107. Memang putri saya ini agak malas belajar dan kurang disiplin. Kepribadian putri saya sesuai hasil itu menunjukkan cukup terbuka tapi cenderung membatasi diri, sukar ditebak apa maunya dan mengarah mudah tersinggung, immature, emosi labil dan cenderung mudah kacau sedangkan pemahaman, verbal, logika dan abstraksi menunjukkan cukup baik.
Salah satu dokter syarafnya pernah akan merekomendasikan ke psikiater, apa bedanya dengan psikolog ya bu? Atas konsultasi yang Ibu berikan, kami ucapkan terima kasih.
Wassalam
***************
Jawaban :
Dear Ibu Henny, terima kasih atas kesabarannya menunggu jawaban konsultasi dari saya. Dari cerita Ibu, bisa saya simpulkan bahwa secara fisiologis dan dalam hal kemampuan intelektualnya ia normal (pemeriksaan darah, jantung, paru-paru normal, pemahaman verbal, logika dan abstraksi cukup baik). Namun, putri Ibu memiliki kecenderungan epilepsi yang kekambuhannya dipicu oleh kondisi stres psikis. Hal ini memang bisa terjadi pada anak-anak yang berkepribadian kurang matang (immature), dimana ia menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan sangat rendah toleransinya terhadap situasi yang menekan (sesuai hasil pemeriksaan psikologis terhadap putri Ibu). Pengalaman masuk SMP adalah salah satu pengalaman yang dirasa sangat menekan dan menimbulkan kecemasan besar bagi putri Ibu. Ia membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, untuk dapat merasa aman dan nyaman serta percaya diri. Itu sebabnya, kecenderungan epilepsi yang ada pada dirinya lalu muncul dalam bentuk serangan pingsan mendadak yang cukup sering, terutama di awal-awal masuk SMP.
Mengenai tes Bender, itu adalah salah satu tes psikologis untuk mengetahui adanya kelainan organik pada otak atau kelainan fungsi otak. Jadi, hasil tes Bender juga menguatkan diagnosa epilepsi yang diderita putri Ibu, dimana terdapat muatan listrik dan pelepasan yang berlebihan atau tidak terkontrol di sel-sel neuron otaknya, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian lain dalam tubuhnya terganggu.
Sedangkan untuk pertanyaan Ibu tentang psikiater dan psikolog, keduanya sama-sama mendalami masalah 'psikis' atau kejiwaan. Bedanya, psikiater adalah seorang dokter spesialis , dimana dalam penanganan pasien bisa menggunakan obat-obatan medis (misalnya : anti depresan, anti anxiety, obat kejang dsb). Sedangkan psikolog, berasal dari disiplin ilmu yang berbeda dari kedokteran dan metode penanganan client dilakukan dengan konsultasi, konseling, pemberian tes-tes psikologis atau bermacam-macam teknik terapi. Jadi, untuk membantu menegakkan diagnosa, psikologis bisa melakukan serangkaian wawancara, observasi dan tes untuk kemudian memberikan terapi yang sesuai. Namun apabila dalam prosesnya dibutuhkan pengobatan medis atau bahkan tindakan pembedahan misalnya, maka harus bekerja sama dengan psikiater, dokter ahli syaraf (neurolog), dsb. Dari sudut pandang psikologis, epilepsi memang bisa terkait atau menyebabkan perubahan emosi yang kompleks yang dapat mengubah perilaku dan kepribadian serta menghambat hubungan interpersonal. Anak menjadi sulit mengendalikan emosinya, mudah tersinggung, atau bisa menjadi kehilangan motivasi belajar di sekolah, kehilangan kepekaan terhadap lingkungan, menjadi egosentris atau menarik diri dari lingkungan sosialnya. Hal ini bisa menjadi lebih parah dengan adanya sikap-sikap yang keliru dari masyarakat, misalnya mengucilkan menganggap penyakit menular, dsb.
Yang terpenting, penderita epilepsi memang perlu ditangani sedini mungkin, sebab semakin lambat penangannya maka efek negatif yang dapat merusak syaraf otak akan semakin besar. Beberapa saran dari saya :
1. Pahami dan terima ketakutan atau kecemasannya. Penderita epilepsi biasanya takut tidak bisa sembuh, takut berenang, takut naik sepeda dan takut kumat di tempat umum lalu menjadi tontonan yang memalukan bagi orang-orang. Dengan sabar dan telaten, tumbuhkan rasa percaya diri putri ibu dengan menceritakan fakta-fakta yang sebenarnya tentang penyakit epilepsi yang dideritanya. Yang jelas, epilepsi tidak menular, bukan penyakit keturunan dan bukan keterbelakangan mental. Bahkan, fakta bahwa banyak orang ternama yang juga menderita epilepsi namun tetap bisa berkarya melebihi orang-orang normal perlu ibu sampaikan agar ia optimis dan lebih percaya diri dalam menjalani hidupnya.
2. Gali potensi dan bakat-bakatnya atau cari tahu kegiatan apa yang menjadi hobinya di waktu luang, lalu dorong putri Anda untuk menekuninya sehingga berbuah menjadi prestasi yang dapat dibanggakan. Dengan demikian, ia akan lebih percaya diri dan bahagia.
3. Sebisa mungkin, hindari situasi-situasi yang dapat menambah tekanan bagi anak dan persiapkan dirinya menghadapi berbagai situasi. Misalnya jika akan berkunjung ke suatu tempat yang baru, katakan bahwa nanti ia akan bertemu dengan di A, si B atau akan melakukan ini dan itu. Hindari juga kelelahan, kurang tidur, terlambat makan, kedinginan, atau terlalu memaksanya dalam belajar. Sebaiknya orang tua tidak menerapkan aturan disiplin yang kaku yang mudah menimbulkan kecemasan dan tekanan bagi anak-anak dengan kepribadian yang rentan. Lebih baik, beri semangat dan sesuaikan dengan kapasitas atau kesanggupan anak dalam belajar. Kepekaan dan kesigapan memberikan bantuan dalam belajar ketika anak membutuhkan juga amat diperlukan.
Wajar jika orangtua merasa cemas dan frustasi memikirkan masa depan anaknya yang mengidap epilepsi. Ibu tentu cemas membayangkan putri Ibu mendadak kejang-kejang dan dikucilkan oleh orang-orang dengan anggapan yang keliru tentang epilepsi. Namun Ibu harus optimis. Dengan bantuan pengobatan yang benar, banyak penderita epilepsi mampu hidup normal. Untuk menambah wawasan dan memenuhi kebutuhan akan informasi, bu Henny bisa bergabung di perhimpunan orang tua penyandang epilepsi yang ada di berbagai daerah.
4. Usahakan tetap tenang dan sigap ketika anak kena serangan mendadak. Tentunya bu Henny sudah mengetahui langkah-langkah yang perlu (dan yang tak boleh) dilakukan ketika putri Ibu menghadapi serangan kejang. Persiapkan diri dengan menyediakan obat-obatan di tempat yang mudah terlihat/terjangkau dan simpan nomer-nomer telepon penting/darurat, seperti rumah sakit atau dokter.
Jika putri Ibu minum obat-obatan antiepilepsi, konsultasikan selalu dengan dokter yang merawatnya, sebab ada obat-obatan penenang yang memiliki efek samping melambatkan proses berfikir. Karena munculnya pada usia sekolah, maka obat-obatan yang keliru bisa mengganggu kemampuan dan prestasi belajarnya.
Tentunya, apa yang saya sampaikan di sini belum cukup untuk menjawab semua pertanyaan Ibu. Langkah-langkah yang lebih detil dan terencana perlu Ibu konsultasikan langsung dengan psikiater atau psikolog yang berpraktek di kota Ibu. Dengan kesabaran dan kasih sayang Ibu dalam mendampingi dan memberinya semangat untuk melakukan berbagai upaya untuk sembuh, saya percaya putri Ibu dapat tumbuh dan berkembang normal seperti teman-temannya.
Maya Harry, Psi
Sumber : Wanita Indonesia