twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Setiap saat disadari atau tidak, disengaja atau tidak, berbagai permasalahan datang dan tersimpan dalam hati. Terkadang membuat dada sesak dan kepala penat. Mungkin permasalahan yang Anda hadapi mirip atau pernah dialami rekan yang lain. Melalui blog konsultasi psikologi ini diharapkan Anda menemukan jawaban yang menjadi solusi atau pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang Anda hadapi.

Konsultasi Psikologi Update:

Tulis Topik Permasalahan Anda

Dituduh "Menikam" Sahabat

Permasalahan:

Jujur nih, sebelumnya aku nggak pernah nyangka bakal ikut ngirim curhatan juga. Apalagi, selama ini aku nggak pernah ngerasa punya problem cinta. O iya, kenalkan dulu. Namaku Rudy, pelajar salah satu universitas di Surabaya.

Sebenarnya, saat ini yang punya masalah cinta bukanlah aku, melainkan sahabatku. Tapi, akhirnya aku ikut terseret. Bahkan, posisiku jadi lebih susah. Gara-garanya, sahabatku salah sangka. Dia pikir aku tega merebut cewek yang ditaksirnya. Padahal, suer, aku nggak pernah punya niat kayak begitu. Itu semua cuma salah paham.

Sahabatku tersebut bernama Ivan. Sejak masuk kuliah, dia suka sama seorang cewek, namanya Fida. Tiap hari, dia selalu nyoba pedekate ke Fida. Mulai SMS, ngajak ngobrol berdua, nawarin pulang bareng, dan seribu cara lainnya.

Sampai suatu saat, Fida nggak kuliah berhari-hari. Ivan berusaha nyari tahu keadaan Fida. Tapi, nggak ada yang tahu. Akhirnya, dia mutusin datang ke rumah Fida. Setelah sampai, ortu Fida bilang bahwa anaknya keluar, nggak tahu ke mana. Karena dilanda kebingungan, Ivan terus melanjutkan pencarian.

Nah, di tempat lain, kebetulan aku nggak sengaja ketemu Fida. Tepatnya, di suatu supermarket. Aku diajaknya makan di kafe. Lalu, Fida cerita sama aku tentang alasannya nggak masuk kuliah akhir-akhir ini.

Ternyata, dia ngerasa risih karena setiap hari didekati Ivan. Trus, aku ngomong aja ke Fida kalau Ivan itu suka sama dia. Spontan, dia kaget dan tercengang. Sebab, dia nggak ada feeling sama Ivan. Akhir-akhirnya, Fida minta aku untuk ngomongin masalah tersebut ke Ivan.

Nggak tahu sumbernya dari mana, Ivan tahu kalau aku dan Fida makan bareng. Benar saja, dia marah besar padaku. Dia menganggap aku sebagai pengkhianat. Ditambah lagi, pas aku bilang kalau Fida nggak comfort dengan segala perhatian itu, Ivan malah menganggap aku menyukai Fida dan berusaha menjauhkan Fida darinya.

Aduh Aime, aku udah berkali-kali ngejelasin sama Ivan. Tapi, dia nggak mau ngerti. Di matanya, aku udah menikam dari belakang dan nggak bisa dimaafkan. Ivan adalah teman baikku sejak SMP. Aku nggak mau hubunganku dengannya retak hanya gara-gara masalah cewek. Tolong kasih aku solusi terbaik, ya. Thanks.

***************



Jawaban :

Aime juga nggak nyangka bakal sudi menjawab curhatanmu. He he he. Tapi, berhubung Aime rendah hati, ramah, dan tidak sombong, Aime nggak perlu mikir dua kali untuk mengulurkan bantuan buatmu.

Masalah yang kamu hadapi cukup klasik. Persahabatan, cinta, dan salah paham mencuat jadi tuduhan pengkhianatan. Tenang! Tenang! Saat ini, kondisi Ivan, sahabatmu itu, lagi berada dalam zona merah. Kamu jangan sampai ikutan merah, ya.

• Zona Merah
Orang yang lagi berada dalam zona ini mending jangan dideketin dulu. Biarin aja selama beberapa hari. Kalau kamu bersikeras ngasih penjelasan dalam waktu dekat ini, sangat mungkin bakal sia-sia. Apa pun yang kamu jelasin nggak bakal masuk ke telinganya. Yang ada, kamu bisa-bisa malah kena tonjok. Awas!
Saat ini, perasaan Ivan lagi terluka banget. Dia yang udah sekian lama pedekate dan nggak berhasil malah mendapati sahabatnya lagi berduaan sama cewek incarannya. Belum lagi, kamu bilang bahwa Fida sebenarnya nggak suka sama dia. Wajar aja kalau dia langsung negative thinking dan mengira bahwa kamu punya hubungan khusus sama Fida. It’s normal!

• Tenang dan Tunggu Momen
Setelah suasana panas agak mereda, baru kamu bisa mengklarifikasi. Kalau bisa, sekalian ajak Fida, sang sumber masalah. Tapi, jangan datang berdua aja. Takutnya, begitu ngelihat kalian, Ivan malah langsung kabur karena saking sebelnya. Kamu perlu bantuan dari pihak netral. Bisa saudara Ivan atau teman yang juga kenal kalian berdua.

• Diskusi dengan Regulasi
Kalau udah ngumpul, omongin masalah tersebut baik-baik. Tapi, bikin perjanjian di awal. Dalam diskusi itu, masing-masing dapat giliran ngasih penjelasan. Yang lain boleh ngajuin pertanyaan, tapi nggak boleh dengan nada emosi. Pihak netral tersebut berfungsi sebagai pengawas. Misal, ketika suasana jadi memanas, dialah sang peredam. Coba deh cara itu. Aime yakin, segala sesuatunya masih bisa diomongin baik-baik.

• Jadi Teman Bertiga
Setelah diskusi berhasil, kalian bisa saling memaafkan. Lalu, merajut lagi persahabatan yang sempat terkoyak (ceilee…). Masalah kayak gitu biasa kok dalam persahabatan. Eh, kamu bisa bujuk Fida untuk mau jadi teman Ivan juga. Nggak bisa jadi pacar bukan berarti nggak mau jadi teman, kan? Siapa tahu, kalian bertiga malah jadi sahabat kompak. Jadi, nggak perlu ada salah paham lagi.



Aime
Sumber : Jawa Pos dotcom

Rujuk

Permasalahan :

Assalammu'alaikum wr. wb.
Ibu Anita, saya pria berumur 30 tahun. Belum lama ini saya mengalami peristiwa yang mengguncang hidup saya. Saya mengalami perceraian setelah menikah selama 3 tahun, dan sudah memiliki putra berumur hampir 2 tahun. Mantan istri saya berumur 30 tahun. Selama pernikahan, rumah tangga saya selalu diwarnai pertikaian. Hal ini disebabkan perbedaan pemikiran yang saling bertolak belakang. Dia sebenarnya banyak tahu hukum agama, tapi lebih banyak mencari keringanan- keringanan yang tidak pada tempatnya.

Saya dicap terlalu agamis dan ekstrem dalam menjalankan agama, padahal menurut saya sebenarnya kadar keimanan saya masih sangat jauh dari sempurna. Apabila saya menjalankan ibadah sholat, saya dianggap menelantarkan anak kami yang menurutnya harus selalu diawasi dan dijaga. Padahal kami tinggal bukan seorang diri, melainkan bersama orang tuanya sehingga di rumah tersebut ramai orang. Saya dianggap kurang bertanggung jawab karena lebih mementingkan ibadah dibanding dengan keluarga, walaupun itu ibadah fardlu.

Selama masa perkawinan dengannya, saya lebih banyak diam, berusaha sabar dan menuruti kemauannya karena ingin menghindari keributan yang lebih besar. Di samping itu juga karena saya merasa tidak punya kuasa apapun terhadap mantan istri saya, karena saat itu kondisinya adalah kita masih menumpang di rumah orang tuanya di kota X, dan saya di bekerja di kota Y disebabkan mantan istri saya masih takut hidup kekurangan dan takut mandiri bila ikut dengan saya di kota Y, Selain dia juga masih sayang untuk meninggalkan pekerjaannya di sebuah hotel, yang dilingkari dengan kemewahan sehingga membuatnya lebih sering melihat ke atas.

Saya merasa tidak punya power sebagai pemimpin keluarga saat berada di rumah orang tuanya, karena saya tidak mampu membimbing dan membuatnya patuh pada suami selama dia masih bersikukuh tetap tinggal di rumah orang tuanya. Dia masih sering berlindung di balik orang tuanya. Bahkan nama pemberian saya untuk anak kami yang Insya Allah bermakna baik pun tidak dipakai sehari-hari, yang dipakai adalah nama panggilan yang diberikannya yang tidak ada unsur mendoakan, sehingga nama asli anak saya pun tenggelam. Saat itu seringkali saya berpikiran mungkin lebih baik kami bercerai saja, karena saya merasa amat berat tanggung jawab yang harus saya pikul dengan beristrikan dia, saya tidak mampu lagi memikirkan cara apa lagi yang harus saya pakai untuk membinanya dan membuatnya patuh.

Dari cara halus berupa ajakan dan perkataan lembut sampai kasar dengan marah-marah. Bahkan saya sering melontarkan ancaman ke dia, seperti apabila keadaan seperti terus dan dia tidak mau disuruh menghormati saya sebagai pemimpin keluarga, maka saya tidak sanggup lagi untuk mempertahankan perkawinan ini. Bila saya berkata seperti itu dia pun langsung terdiam. Saya sadar bahwa sebenarnya kita masih saling mencintai, tapi perilakunya sering tidak mencerminkan itu. Apalagi bila mengingat kondisi kami yang sudah mempunyai seorang putra, saya berusaha meredam nafsu untuk menceraikannya. Namun kejadian perceraian itu akhirnya tidak bisa dihindari, saat itu saya sudah pindah bekerja di negara Z, sedangkan dia masih di kota X.

Hanya karena masalah kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik dan saling menekan harga diri masing-masing, bom waktu yang saya pendam pun akhirnya meledak juga di saat saya mengunjunginya di rumah orang tuanya. Saya mengembalikan dia ke orang tuanya. Tapi akhirnya kami berdua menyesali keputusan saya tersebut. Apalagi mengingat kami sudah mempunyai anak, saya takut anak kami akan banyak dirugikan, walaupun dia tinggal dengan kakek dan neneknya. Walaupun saya tahu, mereka memang menyayangi cucunya, bahkan menurut saya melampaui batas cara menyayanginya. Saya berusaha introspeksi ke diri sendiri, bahwa mungkin saya kurang sabar dalam mendidik mantan istri saya tersebut. Dan akhirnya kami pun berniat untuk rujuk kembali.

Dia pun bersedia untuk ikut dengan saya ke negara Z meninggalkan pekerjaan dan dunianya membawa anak kami. Tapi saat keputusan final untuk rujuk sudah di depan mata, saat persiapan sudah dilakukan untuk meminta dia kembali dari orang tuanya dan menjemput dia beserta anak kami, dia memunculkan satu isu yang sangat mengganggu saya dan membuat saya jengkel. Dia ingin agar saya menanda tangani surat perjanjian rujuk di atas segel, yang menyatakan bahwa saya akan menyayangi dia dan anak kami, dan apabila saat dia sudah pindah bersama saya dan meninggalkan pekerjaan dan dunianya, bila akhirnya pun saya menalak dia lagi, saya diminta rela memberikan nafkah sebesar 1/3 gaji saya, pembagian harta gono gini yang adil, dan anak kami tetap ikut dengannya selama belum bisa memilih.

Semua perjanjian tersebut gugur apabila dia yang melakukan kesalahan. Kesalahan yang dimaksud dia secara khusus adalah hanya perselingkuhan, padahal tidak pernah saya mengkhianati pernikahan kami, alasan saya menceraikan dia adalah karena saya merasa tidak mampu lagi menjadi pemimpin baginya. Saya menghadapi dilema di sini. Satu sisi saya ingin membesarkan anak saya dan mendidik mantan istri saya lagi agar lebih dekat dengan Allah, di lain sisi kalau saya menerima persyaratannya, saya khawatir saya mengadakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ada, dan mengharamkan yang sudah dihalalkan Allah.

Syarat 2 dan 3 bagi saya tidak ada masalah. Tapi syarat yang pertama, bukankah tidak semestinya dia meminta seperti itu? Dan juga saya takut perjanjian ini hanya akan kembali melemahkan posisi saya sebagai suami, sehingga tidak bisa membinanya, dan tidak dapat berbuat apa-apa kalau dia berbuat seenaknya. Mungkin perjanjian itu dijadikan jaminan untuknya agar saya tidak lagi semena-mena menalaknya lagi, tapi keputusan saya ingin rujuk lagi dengannya bukan untuk menalaknya dan menyengsarakan dia dan anak kami. Saya sangat berharap ibu dapat membantu saya mencari jalan keluar permasalahan saya ini. Jazakallah,
Wassalam,


***************



Jawaban :

Wassalammu'alaikum wr. wb.
Saudara Abd yang dimuliakan Allah SWT, nampaknya tidak mudah ya kehidupan rumah tangga yang bapak jalani. Baru tiga tahun berjalan sudah demikian banyak konflik yang dialami sampai hampir berujung pada perceraian. Mendidik dan membina pasangan kita memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Begitu banyak energi serta kesabaran yang harus dipersiapkan jika terdapat banyak perbedaan yang harus disesuaikan. Nampaknya memang dibutuhkan waktu lebih untuk dapat membuat rumah tangga terbentuk sesuai harapan bapak.

Perbedaan pemahaman dalam menyikapi kehidupan religius yang hendak dijalani terkadang juga menjadi kendala untuk membentuk keluarga sakinah. Oleh karenanya dibutuhkan proses yang harus disikapi dengan pengertian serta kesabaran sehingga pasangan kita dapat melangkah seiring dengan langkah kaki kita. Dan kata-kata memang tidak semudah praktek yang harus dijalani, terlebih dalam membimbing wanita dibutuhkan kepekaan dari seorang suami untuk bisa menyelami jiwanya. Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda agar berhati-hati dalam mengarahkan wanita karena ibarat ranting mudah bengkok namun jika terlalu keras bisa mematahkannya.

Kelihatannya salah satu kendala bapak dalam membimbing istri adalah masih tinggal satu atap dengan mertua, dengan memisahkan diri dan pergi ke negara Z merupakan langkah yang cukup baik. Karena diharapkan kemandirian akan lebih memudahkan kerjasama yang terjalin antara bapak dan istri. Terlebih istri saat ini mulai lebih mengalah dengan meninggalkan pekerjaannya dan mau ikut pindah tinggal bersama bapak. Namun nampaknya trauma perpisahan yang pernah terjadi masih dirasakan oleh istri. Yaitu ia khawatir jika setelah ia meninggalkan pekerjaannya maka bapak bisa bertindak sewenang-wenang dengan mentalaknya begitu saja di saat ia tak punya tempat bergantung selain bapak. Meskipun saya yakin bapak sama sekali tidak punya niat untuk mentelantarkannya.

Menurut saya, kekhawatiran istri bapak merupakan hal yang wajar saja dirasakan oleh seorang wanita yang cemas karena pernah hampir ditalak sebelumnya. Dan itu memang hak wanita dalam Islam yang sah-sah saja digunakan. Menurut saya ini justru menunjukkan keadilan Islam, sebagaimana Islam memberikan hak kepada suami untuk mentalak, maka istripun diberi kesempatan untuk melindungi dirinya dengan mengajukan syarat untuk rujuk. Namun, memang isi dari perjanjian tersebut tidak boleh menyalahi hukum islam yang lain atau terkait dengan kemaksiatan.

Misalnya mengenai hak atas 1/3 gaji, jika hak asuh anak jatuh pada ibunya, maka bapak memang wajib untuk tetap memberikan uang kepada mantan istri untuk dapat merawat dengan baik anak bapak. Namun mengenai harta gono-gini mungkin perlu diklarifikasi, karena dalam islam tidak ada pembagian harta sama rata setelah bercerai. Namun yang benar adalah harta suami menjadi hak suami dan harta istri menjadi hak istri setelah mereka bercerai dan bukannya membagi lagi harta itu setelah perceraian dengan jumlah yang sama.Untuk urusan persyaratan ini nampaknya bapak memang perlu berkonsultasi lebih lanjut dengan ustadz yang memahami syariat Islam.

Jika bapak mengkhawatirkan bahwa pengajuan syarat ini akan menyulitkan bapak dalam membina, seharusnya tidak demikian. Artinya disadari atau tidak berarti bapak menggunakan hak talak sebagai senjata untuk mengarahkan istri. Menurut saya proses pembinaan yang demikian kurang tepat karena menggunakan ancaman sebagai cara menjaga kepatuhan, tapi akan jauh lebih baik jika proses itu dilakukan dengan membawa kesadaran pasangan sehingga sukarela untuk berubah. Namun segalanya memang akan kembali kepada bapak yang akan membentuk dan membina keluarga sendiri. Apa yang tertulis hanya sekedar membuka wawasan sehingga dapat melihat sudut pandang yang berbeda. Saya turut mendoakan semoga bapak sekeluarga senantiasa dalam perlindungan Allah S.W.T. Wallahu'alambishawab.
Wassalammu'alaikum Wr. Wb.



Rr. Anita W.
Sumber : Eramuslim.com

Belum Menemukan Pendamping Dambaan

Permasalahan :

Saya seorang pemuda yang berusia 26 tahun, insyaAllah pada bulan April mendatang usia saya genap memasuki 27 tahun. Sebuah angka yang sepatutnya untuk menikah memang. Namun saya memiliki kendala sebagai berikut:

Sebenarnya saya sudah siap untuk menuju ke jenjang pernikahan. Niat saya tulus untuk membina rumah tangga yang penuh barokah Allah. Namun, saya bingung harus menikah dengan siapa. Sampai hari ini saya belum mempunyai calon pendamping yang seperti saya inginkan. Sebenarnya banyak wanita yang menawarkan cinta mereka kepada saya, namun saya tidak bisa menerima mereka karena saya tidak mencintai mereka. Saya hanya menganggap mereka sebagai teman saja. Sebenarnya banyak yang bilang bahwa saya memiliki kesempurnaan fisik dan mungkin semuanya. Alhamdulillah dalam segi agama saya juga bisa diandalkan sekalipun tidak terlalu faqih dalam masalah tersebut, namun dasar-dasar hukum ke-Islaman saya telah memahaminya, materi saya juga sudah punya, dan mungkin bisa dibilang mapan karena saya seorang pengusaha sekalipun belum besar, pendidikan juga alhamdulillah karena saya tamatan S-I.

Namun saya laki-laki yang sangat pemalu, saya tidak punya keberanian untuk berkenalan dengan wanita yang saya suka apalagi untuk menyatakan kata cinta. saya tak tahu harus bagaimana. Saya mendambakan wanita yang berwajah cantik, semampai, anggun, berakhlaq dan pemalu, serta dapat bersosialisasi dengan siapapun juga. Saya benar-benar mendambakan wanita seperti Fatimatuzzahra. Namun, belum jua saya dapatkan. Sementara keinginan untuk menikah itu selalu mengusik, apalagi bila saya membaca kisah manis antara Rasul dengan bunda Aisyah. Keinginan itu semakin menggebu.

Saya dambakan wanita yang bisa membuat saya semakin dekat kepada Allah. Namun saya juga selalu memprioritaskan fisik wanita itu, sekalipun agama dan akhlaq jauh lebih utama dari semua itu. Apa yang harus saya lakukan? Saya takut terus begini, karena syaitan selalu saja menggoda untuk menjerumuskan manusia. Tolonglah bantu saya. apa yang sebaiknya saya lakukan? Demikian, terima kasih.
Wassalamualaikum.


***************



Jawaban :

Assalammu'alaikum wr. wb.
Saudara Surrahman yang dirahmati Allah, Subhanallah, besar nikmat Allah pada anda karena anda diberinya demikian banyak kelebihan yang membuat anda nampak ideal di mata wanita. Memiliki fisik yang baik,, berpendidikan, beragama dan cukup mapan secara ekonomi. Namun nampaknya anda merasa bingung juga karena meski diri sudah mampu menikah dan keinginan untuk itupun sudah demikian besar tapi belum juga ditemui wanita ideal yang anda harapkan.

Mencari pasangan yang memenuhi seluruh kriteria yang diinginkan memang tidak mudah dan hal ini seringkali membuat seseorang pada akhirnya menunda terus pernikahan sampai akhirnya terhambat untuk menikah. Tidak ada yang salah memang untuk menetapkan kriteria pasangan kita, namun jika keadaan nampak mendesak bagi kita (seperti khawatir jatuh dalam zina) rasanya lebih baik jika bisa bersikap agak fleksibel dengan menyesuaikan sedikit antara harapan dengan realitas.

Artinya meski sudah ada kriteria yang anda tetapkan maka coba untuk membuat nilai prioritas dari hal itu, sehingga untuk kriteria yang tidak mendapatkan prioritas utama mungkin anda dapat bersikap lebih lunak. Ibarat kita memilih sesuatu maka biasanya jika tidak ada yang pas banget dengan yang kita inginkan maka kita akan memilih benda yang hampir mirip atau meski tidak semua fungsi yang kita harapkan ada, namuntetap memberi kita kepuasankarena memiliki keunggulan di sisi yang lain.

Dan tentu saja sebaiknya prioritas tersebut agar tidak membuat anda salah memilih sebaiknya disesuaikan dengan tuntunan nabi yang senantiasa menjadikan agama dan akhlaq sebagai prioritas teratas. Dan dalam hal ini mungkin andapun tidak pasif hanya menanti seseorang menawarkan diri namun dapat aktif mencari, misalnya melalui kerabat atau teman yang menurut anda tentunya juga punya kredibilitas yang baik dalam agama dan akhlaqnya.

Jadi teruslah berusaha dengan jalan yang baik dan diridhoi-Nya dengan selalu diiringi doa kepada Allah. Semoga Allah datangkan jodoh yang paling baik untuk anda menurut-Nya baik dunia maupun akherat. Amin.
Wassalammu'alaikum wr. wb.




Sumber : Rr Anita W.

Cum Laude "Bodoh"?

Permasalahan :

"Ibu Leila yang baik, membaca Rubrik Konsultasi tanggal 10 April lalu berjudul "Suami Suka Melecehkan Saya," saya bagai melihat potret diri saya. Suami saya punya gaya seperti itu, suka melecehkan, bahkan lebih hebring lagi, sebab satu paket keluarganya ”hobi” melecehkan, pihak menantu, besan, pihak ”luar” seperti saya. Dari kelas ringan (sayur kurang garam) sampai kelas berat (orangtua begini begitu, mengusir dan mengancam akan menceraikan). Suami juga suka sekali merendahkan saya di depan teman-temannya, saudara dia, dan saudara saya.

Kami baru tiga tahun menikah. Yang paling menyedihkan sebab suami seakan membuat stempel bahwa saya tidak dapat membahagiakan dia sebab penghasilan saya belum banyak dan tidak bisa menyetir. Dia pasti tidak mau melakukan yang Ibu sarankan untuk melihat berbagai kebaikan pasangan sebab dia selalu melihat gelas setengah kosong, tidak sebaliknya.

Makian seperti goblok, tolol, tidak terdidik, tidak tahu aturan, sudah menjadi menu sehari-hari, yang suka atau tidak suka harus saya telan. Padahal saya tahu saya tidak tolol dan dungu sebab saya lulus dari perguruan tinggi yang baik dengan predikat cum laude dan mempunyai karier bagus di negeri sendiri. Juga orangtua saya terdidik, ayah doktor dan ibu saya insinyur teknik. Mereka mempunyai kedudukan bagus di Indonesia.

Di Indonesia saya mempunyai dua sopir dan 4 pembantu. Namun, semua itu saya tinggalkan sebab menikah dengan suami saya yang sudah hampir dua puluh tahun tinggal di sini dengan keluarganya. Baru sekitar tujuh bulan di sini saya mendapat pekerjaan, tidak banyak gajinya sebab pekerjaan ini bergerak di bidang sosial.

Atasan saya percaya pada kemampuan saya dan dia selalu bilang bahwa saya smart, clever, dan hard worker. Bahkan, kemudian saya dipromosikan bekerja di beberapa negara bagian lain dengan gaji lebih bagus, tetapi suami tidak setuju.

Orangtua saya mendidik kami tidak boleh menghina orang lain, harus menghargai pembantu. Tidak pernah menyebut orang dengan anjing dan babi. Preman jalanan saja tidak disebut begitu, tetapi itu diucapkan buat istri di sini.

Saya akui banyak kesalahan kami berdua, yang sudah saya usahakan untuk meng-improve. Tetapi, sukar sekali sebab ada rasa marah, kekecewaan, dan saya tidak mau diinjak-injak terus.

Mungkin kesalahan saya yang terbesar adalah dulu pacarannya jarak jauh. Saya tidak mengenal dia dari dekat. Kebaikan suami adalah dia pada dasarnya sangat penolong, apalagi buat orang lain. Tolong saya Bu Leila, apa yang dapat saya dan suami lakukan untuk menyelamatkan perkawinan ini?"


***************



Jawaban:

Lima tahun permulaan perkawinan adalah masa paling sukar sebab harus menyesuaikan diri hidup serumah dengan pasangan. Pada Anda terasa berlipat ganda beratnya sebab Anda belum mengenal dia secara riil, ditambah penyesuaian hidup di negara asing. Plus sikap suami dan kerabatnya yang hobi melecehkan pada saat Anda paling membutuhkan dukungan.

Namun, jangan putus asa Y, saya percaya Anda cerdas dan kuat. Cobalah kita lihat soal ini dengan lapang dada.

1. Anda lulus dengan cum laude di perguruan tinggi dalam bidang Anda, namun soal dapur, nyopir, dan kebiasaan hidup di negara asing, pengetahuan Anda masih beloon tulen. Seorang profesor lokal pun belum tentu tahu bagaimana caranya membuat scramble egg yang bisa dilakukan anak bule 10-an tahun.
Siaplah belajar dari mereka yang sudah mahir dalam soal dapur, belanja murah, nyopir tanpa terkena denda. Belajarlah dengan kerendahan hati dan kesungguhan. Jangan sakit hati bila ditegur, ikut saja tertawa bila mereka menertawai ketololan diri kita.

2. Ajaklah suami bekerja sama dalam usaha Anda meng-up grade diri. Tak usah marah kalau ditegur. Saya lihat seorang dokter spesialis yang terkenal di Indonesia berulang kali gagal mendapat SIM di Cambridge sebab tidak ada sogokan juga karena di sana setir kanan. Beruntung Anda mempunyai suami penolong.
Mintalah bantuannya mendukung usaha Anda mempelajari banyak hal baru. Ahli perkawinan bilang, kita perlu mengungkapkan keinginan kita dan mengingatkan jika ada yang tidak beres. Namun, lakukanlah dengan bijak dan baik yang tidak membuat orang jengkel.

3. Tentu sukar mengubah kebiasaan mereka dalam melecehkan orang, tetapi Anda tidak usah ikut begitu. Biasakanlah dengan komentar tentang ”setengah gelas penuh”, melihat yang baik-baik dari berbagai keadaan dan orang. Ini bagus buat kesehatan mental Anda sendiri dan juga mereka.

4. Latihan yang cocok buat kalian adalah saling mengenal lebih dalam dulu. Mengenal masa lalu masing-masing, sekarang, dan hari depan. Lika-liku ketakutan, kesenangan, dan impiannya. Misalnya dengan saling bertanya dan menjawab pertanyaan: siapa sahabat dekatnya ketika di SD? Pengalaman apa yang paling ditakuti ketika kecil? Apa yang paling menyenangkan dulu? Apa saja kegiatannya sehari-hari dan siapa teman-teman dekatnya di tempat kerja? Musik dan film apa yang paling disukai dan yang tidak? Impian dan cita-cita apa yang ingin dicapainya?

Tunjukkanlah kemesraan dan kehangatan dalam sikap bersama pasangan. Bila rajin begitu lama kelamaan dia akan terpengaruh juga, menjadi lebih lunak hatinya, dan perkawinan kalian akan lebih mesra.



Leila Ch Budiman
Sumber : Kompas Cybers Media

Minder Karena Penampilan

Permasalahan :

Mbak Maya, aku seorang wanita berusia 24 tahun, sebentar lagi lulus kuliah. Sudah bertahun-tahun merasa tak bahagia dengan kondisi tubuh dan penampilan diriku yang tidak menarik. Terus terang, aku merasa diriku jelek, maksudku secara fisik, tidak cantik menarik seperti orang-orang lain. Gaya pakaian, make-up atau gaya rambut apapun yang kucoba-coba, rasanya nggak ada yang cocok, semuanya bikin aku tampil semakin aneh dan menyedihkan, sampai-sampai aku benci pada diri sendiri. Aku merasa tubuhku terlalu kurus dan tak berbentuk, belum lagi warna kulitku yang gelap dan kusam, pakai baju apa saja warnanya jadi mati dan nggak matching. Rambut juga tebal dan kaku sulit ditata. Yang paling menyedihkan, aku merasa wajahku tidak cantik, padahal mama dan papaku boleh dibilang cukup cantik/ganteng. Meski merasa berdosa karena tak mensyukuri pemberian Tuhan, tak bisa kuhindari aku sering iri dengan wanita-wanita lain yang bisa tampil seperti model, berkulit putih dan bersih, pakai apa saja kelihatan luwes sehingga bisa pede dan banyak teman. Sedangkan aku, selalu merasa nggak pede sehingga malas bersosialisasi. Aku pernah mengikuti perawatan kulit di klinik khusus, juga dulunya lumayan rajin ke spa untuk melakukan perawatan yang cukup mahal. Sekarang aku sudah malas dan berhenti di tengah jalan karena duit habis dan tak ada hasilnya.

Rasanya stres banget mbak, aku nggak semangat menghadapi hidup, bahkan aku sebenarnya sangat malas kuliah dan bergaul. Tempat yang paling kusuka adalah kamar tidurku sendiri, dimana aku bisa bercermin dan menangis sepuasnya. Aku ingin keluar dari masalah ini, sebab aku tahu ini tidak sehat. Tapi bagaimana caranya mbak?

***************



Jawaban :
Dear Rosa, masalahmu bersumber pada persepsi dan penilaian subyektif yang negatif terhadap diri sendiri, yang membuatmu merasa berpenampilan fisik tidak menarik dan juga membuatmu berpikiran bahwa orang lain pun menganggapnya demikian. Padahal, itu belum tentu benar loh.

Menyadari kekurangan diri sendiri sampai batas tertentu adalah baik, sehingga kamu tidak menjadi sombong dan narsis (memuja diri sendiri). Rasa tidak puas akan penampilan diri juga bisa menjadi pemacu untuk rajin merawat diri, berolah raga, memperhatikan diet dan gizi, serta menambah wawasan tentang trend mode dan tata rias agar bisa tampil lebih menarik. Namun, semua itu ada batasnya, jangan sampai menjadi obsesi yang menguasai pikiran, membuatmu merasa sangat tidak nyaman (bahkan benci!) dengan dirimu sendiri, akibatnya kamu stres dan jatuh ke dalam depresi.

Sebetulnya, ada istilah khusus untuk perasaan tidak nyaman yang ekstrim terhadap penampilan diri sendiri, yaitu Body Dysmorphic Disorder. Pada kondisi yang sudah tergolong gangguan atau patologis ini, penderitanya merasa sangat terganggu bahkan membenci penampilan fisiknya yang diyakini buruk, tidak menarik, sehingga ia merasa tertekan, stres dan mengalami depresi yang mengganggu kemampuannya berfungsi secara sehat dalam hidupnya (tidak bisa berpikir, bekerja, bersosialisasi atau menjalankan peran-perannya di dalam keluarga dan masyarakat). Tentu saja rasanya sangat menderita dan tak mungkin menikmati hidup dalam kondisi demikian. Padahal, biasanya kenyataan tidaklah seburuk yang si penderita pikirkan/rasakan.

*Saya ingin mengajakmu berpikir kembali tentang hal-hal yang selama ini kamu yakini:

  • Benarkah dirimu tidak menarik?
  • Apa buktinya?
  • Kerugian-kerugian apa yang timbul dari keyakinan itu? (pikirkan betapa banyaknya hal-hal yang tak kamu lakukan atau berusaha kamu hindari gara-gara berpikiran dirimu jelek)
  • Benarkah tak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan?

Ada beberapa hal mendasar yang perlu kamu renungkan kembali dan hayati:
  • Usaha apapun yang kamu lakukan untuk mengubah penampilan tak akan berbuah hasil jika kamu tidak mengubah atau membuang dulu penilaian negatifmu terhadap diri sendiri. Akan sia-sia semua pakaian bagus, make-up tebal dan gaya rambut terkini yang kamu gunakan untuk menutupi ‘kekuranganmu’, jika jauh di dasar hatimu kamu tetap berkeyakinan bahwa ‘semua itu tak ada gunanya, tak akan berhasil membuat diriku lebih menarik’.
  • Kecantikan fisik itu bukan segala-galanya dan sifatnya sangat relatif. Kebaikan, ketulusan dan kerendahan hati, budi pekerti dan kepekaan diri adalah hal-hal lain yang akan memberi nilai lebih dirimu di mata orang lain dan sifatnya lebih universal.


Selanjutnya, coba lakukan hal-hal berikut ini:
  • Bangunlah konsep diri yang lebih positif dan cobalah bersikap lebih obyektif dalam menilai diri sendiri. Kenali bakat-bakatmu dan coba terus kembangkan menjadi aktivitas yang positif bahkan berbuah prestasi yang dapat dibanggakan, agar kamu tak terus terpaku mencemaskan penampilan fisik.
  • Setiap individu adalah unik, begitu pun secara fisik. Daripada focus pada kekurangan dan mencari-cari bagian tubuh yang dirasa sempurna, coba temukan bagian-bagian dari wajah atau fisikmu yang unik, menjadi ciri khas atau menonjolkan karakter dirimu. Apakah mata yang besar atau sipit, hidung yang mungil, bibir yang lebar namun memiliki garis senyum yang menawan, lesung pipit di pipi, warna kulit sawo matang yang manis, dan lain sebagainya. Kamu adalah unik tanpa perlu cantik sempurna!
  • Kendalikan dirimu untuk tidak terus-menerus bercermin, sebab hal itu hanya akan menambah kecemasanmu dan membuatmu semakin terpaku pada “kekurangan” mu.
  • Dekatkan diri kepada keluarga dan orang terdekat (orang tua, saudara kandung, sepupu, pasangan, dsb.) dan berusahalah untuk menjalin persahabatan dengan orang-orang di sekitarmu (bisa teman kuliah, tetangga, sepupu, dsb), sebab mereka adalah sumber dukungan emosional yang amat berharga. Singkirkan rasa takut dicela, dihina, atau dinilai kurang, karena itu hanya akan membuatmu semakin menutup diri dan menghindari pergaulan. Cobalah untuk bersikap lebih terbuka, jadikan mereka tempat curhat untuk membicarakan emosi-emosi negatif yang kamu rasakan dan dengarkan saran-saran yang dapat menumbuhkan rasa percaya dirimu.
  • Jika masalahnya dirasakan terlalu berat untuk diatasi sendiri, carilah bantuan profesional dengan berkunjung ke psikolog atau psikiater yang berpraktek di kotamu. Kamu bisa menjalani terapi untuk mengubah penilaian dirimu menjadi lebih positif, namun hati-hati jika memutuskan untuk menggunakan obat-obatan antidepresan untuk mengobati depresi. Pahami benar segala efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh pemakaian yang lama dan terus-menerus.

Memang, untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan mengembangkan konsep diri yang lebih positif dibutuhkan waktu dan proses yang tak mudah. Namun, cobalah bertahan dan bersabar, tanamkan keinginan yang kuat di dalam dirimu untuk bisa lebih mencintai dan hidup nyaman dengan diri sendiri. Percayalah Rosa.



Maya Harry, Psi
Sumber : Wanita Indonesia

Kehilangan Motivasi

Permasalahan :

Saya ingin konsultasi. Sudah lama saya sering curhat mengenai masalah saya kepada teman, tetapi tidak ada hasilnya. Saya bingung, kenapa seakan-akan hidup ini tidak adil.

Saya frustasi karena kegagalan untuk mencapai target lulus kuliah 4 tahun yang menyebabkan orang tua saya kecewa karena harapannya hilang. Padahal saya yakin kalau saya bisa dalam pelajaran, namun saya merasa kenapa saya seakan-akan dihambat sehingga semua apa yang saya usahakan selama ini sia-sia. Saya benar-benar jatuh sekarang. Saya tidak tahu harus minta tolong kepada siapa lagi untuk mengembalikan motivasi saya yang telah hilang. Semoga jawaban ini nanti dapat sedikit mencerahkan diri saya. Terima kasih.


***************



Jawaban :

Kegagalan memang sesuatu yang menyakitkan dan setiap orang pasti pernah merasakan kegagalan walaupun dengan kadar yang berbeda. Bahkan banyak di sekitar kita — tanpa kita sadari — orang-orang yang mengalami kegagalan dengan kadar yang lebih tinggi dari kira
Yang harus kita pahami adalah bagaimana kita menyikapi kegagalan ini. Karena Anda menganggap beratnya masalah tersebut, Anda merasa menjadi orang yang “tak putus dirundung malang”, sehingga akhirnya menjadi apatis dan lemah semangat. Anda juga akhirnya bingung untuk memecahkan masalah tersebut. Sebenarnya, sikap apatis dan kebingungan tersebut tak perlu terjadi jika Anda tetap dapat berpikir jernih. Biasanya masalah menjadi terasa berat dan bingung untuk memecahkannya karena kita tak dapat memisahkan diri dari masalah tersebut dan terlalu terlibat secara emosional.

Tapi jika Anda mencoba “menjaga jarak” dari masalah dan mengendalikan emosi Anda, masalah akan terlihat lebih mudah untuk dicarikan solusinya. Dengan berpikir jernih, Anda dapat mengurai masalah secara lebih baik lagi. Anda dapat lebih mudah menemukan akar penyebab masalah. Dan dari akar penyebab itulah kemudian Anda mencoba mencari solusinya.
Karena itu, jangan anggap berat masalah yang dihadapi agar Anda tetap dapat optimis dan semangat memecahkannya. Agar Anda tetap mampu berpikir jernih untuk mencari solusinya.

Pikirkan kegagalan sebagai jalan untuk meraih keberhasilan.
Memang, sesungguhnya semakin sering kita gagal, maka semakin tahu kita bagaimana cara memperoleh sukses. Sebaliknya, orang yang tak pernah gagal juga tak akan pernah tahu cara mencapai sukses. Hal inilah yang harus Anda camkan agar tak kecewa dengan kegagalan. Jika Anda gagal, buang jauh-jauh pikiran untuk tidak berani mencoba lagi. Justru Anda harus termotivasi untuk mencoba lagi karena Anda sebenarnya semakin dekat kepada keberhasilan.
Suatu hal yang aneh jika Anda patah semangat karena gagal.

Kegagalan itu hanya menyakitkan pada awalnya, tapi setelah itu justru mengandung hikmah yang banyak. Anda akan tahu lebih banyak tentang bagaimana caranya memperoleh keberhasilan. Kegagalan sebagai jalan meraih sukses bukanlah kata-kata yang penuh retorika belaka, tapi sudah dibuktikan kebenarannya oleh sekian banyak orang-orang sukses. Orang tersebut misalnya, Nabi Muhammad saw, Thomas Alva Edison, Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Jack Canfield (penulis serial Chicken’s Soup), Billi PS. Lim (penulis “Dare to Fail”), dan lain-lain.

Jika Anda yakin bahwa kegagalan bukanlah gagal dalam pengertian sebenarnya, tapi “syarat” untuk meraih keberhasilan, maka Anda tidak akan pernah pesimis dengan kegagalan. Justru Anda akan bertambah semangat karena gagal. Bahkan jika kegagalan yang Anda alami semakin banyak, semakin bertambah besar semangat Anda untuk mencoba lagi. Sebab Anda yakin bahwa sebentar lagi Anda akan meraih kesuksesan.



Satria Hadi Lubis
Sumber : EraMuslim

Bingung, Pilih Yang Intelek Atau Yang Mapan

Permasalahan :

Saya seorang gadis (28), bekerja di bidang sales yang membuat saya harus bertemu banyak orang. Banyak bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri, kalau kantor mengirim saya mengikuti pameran atau seminar yang dapat menambah wawasan. Kantor tempat saya kerja memang amat mendukung pengembangan karier saya.

Bayangkan, Bu, saya cuma lulusan semacam sekolah kepandaian putri, tetapi karena prestasi dan target selalu tercapai, saya disekolahkan hingga memperoleh gelar S-1. Kalau saya mau, saya juga diizinkan sekolah ke jenjang berikutnya, asalkan target penjualan tetap tercapai. Dibandingkan teman-teman yang masuk bersama saya, apa yang saya peroleh sudah amat lumayan, bahkan teman perempuan sudah drop out semua, karena kawin maupun karena tak bisa mencapai target.

Pacar serius saya adalah teman seangkatan yang kini sudah keluar dan membuka usaha sendiri di luar pulau Jawa. Memang sih kota besar, tetapi, kan tidak seperti di Jawa. Saya sudah beberapa kali liburan ke sana, tapi setelah 3 hari, saya pusing tujuh keliling, apa yang harus saya kerjakan? Tak bisa saya bayangkan, apa yang terjadi kalau saya juga harus tinggal di sana karena menikah dengan PS ini (pacar serius). Padahal, usahanya sudah mapan dan selama 7 tahun pacaran, sudah 3 tahun kami berpisah, tetapi tetap berhubungan.

Ia sudah mulai bicara tentang perkawinan, Bu, tetapi saya masih asyik dengan pekerjaan dan, yang satu ini, Bu, yaitu pacar iseng-iseng saya (PI).

Kalau PS adalah pekerja keras dan tukang jualan seperti saya, maka PI adalah pegawai kantoran (jangan ditulis ya, Bu aktivitas spesifiknya). Bukankah Ibu sepakat dengan saya kalau pekerjaannya tidak seperti saya yang kadang harus menjelajahi pertokoan, maupun pasar tradisional untuk berjualan?

Dengan PI, saya sudah dekat sejak 2 tahun terakhir, sehingga jujur hanya setahun saya "setia" sejak berpisah dengan PS. Di tahun kedua ia pindah, saya sudah akrab dengan PI. Dunianya sungguh berbeda dengan dunia saya. Ia serius, terpelajar, hobi membaca, mendengarkan musik klasik dan menonton pameran lukisan.

Kalau saya diajak makan malam dengan teman-temannya, tidak di restoran cepat saji seperti yang selalu saya lakukan dengan PS yang serba praktis, sekalian mengunjungi outlet penjualannya. Kami pergi ke hotel bintang lima, makan sambil mendengar musik hidup. Pokoknya romantis dan intelek sekali rasanya.

Setelah pacaran dengan PI, saya jadi senang berdandan rapi, pandai membeli buku bagus, berdiskusi tentang topik yang sedang in, dan rasanya kebutuhan menambah wawasan juga bertambah. Kenapa saya tidak melepaskan PS? Karena, dalam memenuhi kebutuhan sebagai perempuan, saya merasa PS lebih mampu membuat saya merasa aman, terlindungi dan punya seseorang yang membimbing saya. Kekurangannya adalah ‘kurang keren’ dan tak se-intelek PI. Cemburunya juga membuat saya ge-er, gede rasa bahwa saya ini benar-benar dijaganya dengan baik. Pendeknya, saya tidak deg-degan dan bertanya-tanya dalam hati, apakah ia serius menganggap saya berarti baginya. Mungkin, ini juga yang membuat saya cenderung menggampangkan, PS ya, Bu. Kalau meremehkan, sih, saya rasa tidak.

Sementara PI, karena berjiwa modern, ingin agar saya benar-benar bisa merasa sejajar dengan dirinya. Berusaha demokratis dan tak pernah mencoba mengetahui sisi pribadi saya, kalau saya tidak memulainya. Misalnya, ia tak minta saya perkenalkan pada orang tua, tetapi tidak menolak ketika saya kenalkan. Ia selalu menjaga agar hidup pribadi saya, privasi saya, tidak terganggu olehnya. Juga tak bertanya mengenai masa lalu saya, karena ia juga tidak senang kalau saya mencoba menggali lebih dalam tentang masa lalunya.

Ia beranggapan, yang penting adalah masa kini dan yang akan datang. Karena kedua orang tuanya sudah meninggal dan saya tak tahu ia bersaudara berapa, saya praktis belum mengenal saudara PI sama sekali. Beda benar dengan PS yang sudah saya kenal seluruh keluarganya, bahkan juga kakek dan neneknya serta tetangganya di masa kecil, di kota kelahirannya dulu.

Tentu saja PI lebih pandai membuat saya melambung ke langit dengan kiriman bunganya, kunjungan, dan hadiah yang penuh surprise dan kata-kata yang jelas mengekspresikan rasa cintanya pada saya. Yang ini, tak pernah terucapkan oleh PS. Kami lebih banyak bicara tentang bagaimana strategi penjualan yang dapat kami terapkan dalam pekerjaan, agar beroleh komisi tinggi dan cepat punya uang untuk bekal menikah. Tentang menikah, PI memberi ‘tanda’ secara tak langsung bahwa ia belum ingin terikat, karena ia keras sekali menganjurkan agar saya bersekolah lagi.

Bukankah saya jadi punya tiga pilihan, Bu? Menikah dengan PS, yang juga berarti karier saya selesai sampai di sini. Saya juga tidak suka membayangkan kalau setelah menikah masih harus berjauhan dengan PS. Kalau toh saya bekerja lagi, tampaknya ini berarti saya membantu bisnisnya. Dan saya pun harus tinggal di kota tempat PS sekarang berbisnis.

Melanjutkan sekolah, bisa mengandung konsekuensi kehilangan PS, karena ia sudah berkali-kali mengatakan sudah lelah berpacaran dan ingin cepat mapan berkeluarga. Walaupun kalau saya sekolah lagi, saya yakin wawasan saya akan bertambah baik dan bukan tidak mungkin, karier pun akan makin melejit. Di kantor saya belum ada perempuan berpendidikan S-2 di jalur sales ini.

Memilih tetap berpacaran dengan PI tetap saja membuat saya gamang, karena tidak merasa 100 persen yakin bahwa saya ini bukan teman isengnya, melainkan ia punya niat serius pada saya. Mudah-mudahan, saya bukan tipe perempuan yang takut dikejar usia, Bu, tetapi kalau harus begini-begini terus untuk 3 atau 4 tahun mendatang, sementara ada pria yang mapan dan jelas-jelas mencintai saya dan mengajak kawin, bukankah tolol namanya kalau saya memilih berada dalam ketidakpastian?

Ternyata, makin lama saya makin merasa bahwa beban ini berat, Bu, sehingga akhir-akhir ini di pekerjaan juga mulai tidak fokus. Saat bersama PS pun terkadang ada rasa bersalah, sementara sewaktu bersama PI juga bertanya-tanya, dia ini sebenarnya siapa? Karena upaya saya untuk mengenali lebih jauh dirinya selama ini tak membuahkan hasil apa-apa.

Bu Rieny bantu saya, ya? Terimakasih.

****************



Jawaban :

Orang yang masih punya peluang untuk memilih biasanya adalah orang yang berbahagia, karena ada banyak perempuan yang merasa tak punya pilihan dan kemudian menjalani hidupnya dengan penuh keterpaksaan. Ternyata, punya banyak pilihan juga memberi peluang untuk bingung, ya Linda? Bingung karena tampaknya di semua alternatif pilihan yang tersedia, Linda tetap saja punya unsur ketidakpastian. Namanya juga bicara soal manusia, memang tak mungkin ada yang 100 persen pasti.

Tetapi, adalah juga sebuah kenyataan bahwa lebih banyak manusia yang memilih dan kemudian tidak menyesali pilihannya, dibanding mereka yang dapat dikatakan ‘salah pilih’. Kenapa? Coba, deh Linda cermati, bukankah Linda akan mendapati bahwa mereka yang tergesa-gesa membuat keputusan, artinya tidak disertai keinginan untuk mencari informasi terkait sebanyak mungkin, sekaligus jujur terhadap diri sendiri, biasanya akan merasa salah pilih. Kenapa? Karena sewaktu menetapkan pilihan itu ia tak menelaah secara baik, kebutuhan apa di dalam dirinya yang akan terpenuhi dengan menjatuhkan pilihan tadi. Kalau memilih atau memutuskan sesuatu lebih karena desakan hal-hal di luar diri, besar pula kemungkinan untuk salah pilih. Dan lebih parah lagi kalau ternyata malah orang lain yang memilihkan untuk kita!

Dalam kaitan dengan pilihan yang menyangkut keputusan penting dalam hidup, yang paling dulu harus Anda pahami dengan benar adalah diri Anda sendiri. Kalau kita menyebut L dan I dan N dan D dan A yang jago jualan itu, sebenarnya kita sedang bicara tentang sosok yang seperti apa? Apa yang ia jadikan tujuan hidupnya, apa yang ia inginkan untuk masa depannya, bagaimana cara ia ingin mencapainya? Lebih penting lagi, apa yang menjadi kelebihan dan apa pula kelemahan dan kekurangannya sebagai manusia?

Kemudian, untuk yang namanya perkawinan, bagaimana ‘seorang Linda’ menghayati dan memberi makna pada ikatan itu? Makin jelas jawabannya, makin tahulah Linda menempatkan dirinya dalam kancah pilihan-pilihan hidup yang harus diambil. Linda akan dikatakan memilih dengan benar dan bijaksana, kalau ternyata lebih banyak sisi positif yang menyertai keputusan atau pilihan yang akhirnya Linda ambil.

Bagaimana agar pilihan itu tidak meleset jauh dari apa yang Linda pikirkan dan harapkan di masa depan? Jawabannya kembali ke diri Linda lagi. Makin tahu apa yang akan Linda peroleh dengan memilih salah satu itu, makin mantap Linda kelak menjalaninya. Titik paling rawan sebenarnya ada di sini, karena manusia (terutama perempuan) banyak sekali membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya atas dasar keyakinan dan pemahaman yang tidak realistis tentang kenyataan yang tersaji di hadapannya.

Tentang memilih pasangan, misalnya. Kalau Linda pada dasarnya adalah perempuan romantis yang mengharapkan akan terpenuhi kebutuhan romantismenya melalui perkawinan, salah besar bila memilih PS yang tampaknya (seperti kebanyakan pria) adalah sosok yang praktis-praktis saja dalam memandang hidup dan perkawinan.

Tetapi, kalau Linda yakin bahwa dengan sebuah perkawinan akan memperoleh kebutuhan menjalin kebersamaan dengan seseorang, sekaligus memenuhi kebutuhan untuk sandang, pangan, papan dan lebih jauh lagi kepastian bahwa suaminya tak mudah jatuh cinta pada perempuan lain, kurang bijak bila memilih pria yang lancar sekali mulutnya mengeluarkan rayuan-rayuan yang membuai perempuan ke langit. Biasanya, pria begini mudah pula mengulang hal yang sama pada perempuan lain yang sedang digandrunginya!

Bagaimana dengan faktor-faktor di diri pasangan atau calon teman hidup? Perlu jelas kita ketahui bagaimana ia memaknai sebuah perkawinan. Apa arti menikah untuk pacar kita? Kalau kita punya banyak kesamaan di sini, akan lebih mudah untuk memproses rasa saling memahami antara keduanya, ketimbang kalau pemahaman tentang sebuah perkawinan itu berbeda jauh antara keduanya.

Lalu, karena ini akan menjadi kontrak berjangka panjang, bahkan seumur hidup (bukankah harapan kita bila menikah adalah sekali untuk sepanjang hidup), ingat-ingat pula bahwa manusia selalu berubah dan berkembang. Akankah kita, suami dan istri, berkembang bersama hingga 10 atau 15 tahun lagi, tidak tercipta kesenjangan akibat tingkat pendidikan, latar belakang, minat maupun keterampilan mencari uang yang berbeda?

Di usia Anda, mestinya aspek-aspek yang saling terkait juga sudah makin kompleks. Ada karier di sana, ada pula kebutuhan untuk menambah gelar, sementara dalam pekerjaan sendiri, kalau gelar bertambah, Anda pasti memperoleh peluang yang lebih besar. Bagaimana lalu Anda mengompensasikan peluang-peluang ini, sekiranya ini lalu hilang karena Anda harus ikut suami?

Anda tidak bertanya pada saya, bagaimana kalau saya menjadi Linda, apa keputusan yang akan saya ambil? Tetapi, saya ingin berbagi, bagaimana kalau saya menjadi Linda. Yang pertama, saya akan mengatakan pada diri saya, ‘’Kayaknya saya belum punya cukup kadar kesetiaan pada pacar saya. Buktinya, aku pacaran lagi begitu si PS jauh." Lalu, saya juga akan putuskan hubungan dengan PI, karena toh saya juga tidak kunjung merasa mantap berjalan beriringan dengannya. Buktinya, saya tetap saja mempertahankan PS-ku nun jauh di luar pulau. Tidakkah ini berarti bahwa ia juga punya arti yang sebanding dengan PI yang tampak intelek ini?

Kalau saya jadi Linda, saya juga akan berpikir keras, jangan-jangan saya bukannya suka dan jatuh cinta, tetapi karena PI bisa menyajikan pengalaman yang sama sekali berbeda dengan apa yang saya jalani selama ini dengan PS, maka saya terkagum-kagum sekaligus tersanjung. Dekat dengannya lalu menimbulkan rasa nyaman, tetapi mungkiiiiin, ini bukan cinta, lho. Cuma sesuatu yang berbeda saja dari apa yang dialami dan dijalani selama ini.

Nah, bukankah ini lalu akan membawa Linda ke pemikiran tentang apa CINTA itu sebenarnya? Buat deh daftarnya, perasaan yang menyertainya, dan seberapa PI maupun PS bisa memenuhinya. Kalau semuanya ternyata tidak memberi keyakinan yang cukup memadai, tak apa juga, kan kalau tidak memilih dua-duanya dan sekolah lagi? Wah, kalau tentang yang ini, jangan ikut-ikut kata saya, ya Linda, karena kata akhir harus tetap Linda yang menentukan.

Dengan demikian, apapun risiko yang kelak ditimbulkan oleh pilihan ini, Linda tak akan menyalahkan siapa-siapa, melainkan diri Linda sendiri. Bagaimana kalau kali ini "ilmu sales"nya dipakai? Satu pertanyaan saja yang dijawab Linda sayang, kenapa orang memutuskan untuk membeli? Bukankah mestinya bukan hanya karena SUKA? Nah, mudah-mudahan Linda juga teliti sebelum membeli, eh salah, sebelum membuat pilihan. Salam sayang.



Rieny
Sumber : Nova

Masa Lalu Suami

Permasalahan :

Saya berusia 30 tahun, istri saya 30 tahun. Kami menikah tiga tahun lalu, kini dikaruniai satu anak. Saya selalu penasaran perihal masa lalunya dengan para mantan pacarnya. Awalnya dari sisi psikologis saja tetapi akhirnya saya ingin tahu juga apa yang mereka lakukan.

Kejadiannya bermula ketika saya melihat foto-fotonya sewaktu kuliah bersama orang-orang yang menjadi pacarnya dan halaman persembahan skripsinya yang membikin saya cemburu dan tidak enak hati.

Dia dua kali pacaran. Dengan si A, dia sangat mencintainya dan pacaran berlangsung selama 1.5 tahun. Keduanya putus gara-gara orang tua si A melarang anaknya pacaran (kuliah dulu baru pacaran). Tak lama kemudian ketemu si B saat KKN. Saya adalah pendatang baru dan kenal dengan istri saat dia masih pacaran dengan si B.

Saya kenal dengan istri saat kami menjadi karyawan baru di perusahaan dan departemen yang sama. Istri saya masih pacaran dengan si B dan saya menjadi tempat curhat kalau dia sedang bermasalah dengan si B. Dia lalu merasa lebih cocok dengan saya dan memutus B kalau saya mau jadi pacarnya. Si B dinilai tingkat IQ-nya rendah.

Semua informasi itu telah saya dengar saat pacaran dan saya memakluminya, tidak mempermasalahkan. Tetapi setelah melihat foto-foto yang begitu mesra (yang tidak pernah kulihat selama ini), dan surat persembahan skripsi dari si B yang mengandung makna yang sangat dalam, saya sangat penasaran untuk mengatahui apa saja yang pernah mereka lakukan pada saat pacaran. Saya ingin tahu detil-deteilnya dan semakin detil semakin saya sangat sakit.

Saya sadar hal itu sebenarnya nggak boleh dilakukan, tetapi saya nggak bisa mengelak rasa ingin tahu saya. Ini sangat menguras energi, dan istri merasa sangat dipojokkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memang menyudutkan dia.

Bagaimana cara menghilangkan rasa ingin tahu saya tentang masa lalunya. Istri selalu menjawab dengan jujur dan justru membuat saya sangat sakit (misalnya dia pernah dipeluk dan dicium si A di tempat parkir dsb…dsb..). Bagaimana saya bisa menganggap bahwa hal itu adalah sesuatu yang biasa pada saat pacaran, sehingga saya bisa menerima dengan jiwa besar.

***************



Jawaban:

Saudara SA yang cemburu,
Sepertinya sikap Anda berkaitan dengan perasaan bersalah yang Anda tidak sadari. Saya simpulkan dari kalimat Anda yang mengatakan, "..saat itu istri masih pacaran dengan si B…..dan akan memutuskan B kalau saya mau jadi pacaranya…." Perasaan negatif seperti cemburu, was-was, ragu-ragu, dan sebagainya memang akan menguras energi Anda karena hanya cinta bebas syarat (unconditional love) yang dapat menambahkan energi.

Foto-foto yang Anda lihat dan persembahan dalam skripsi sebenarnya fakta-fakta yang bersifat "netral" tetapi karena kekhawatiran Anda sendiri terhadap kemampuan Anda untuk tetap mempertahankan cinta istri, itulah yang membuat Anda mempunyai persepsi bahwa istri lebih mesra dan nikmat dengan pacar-pacar yang terdahulu. Mungkin juga dalam hubungan suami istri, Anda menangkap , tetapi tidak pernah menanyakan secara langsung, bahwa istri Anda kurang menikmatinya. Hal ini dapat mempengaruhi rasa PD (percaya diri) laki-laki, sehingga curiga bahwa istri pernah lebih enjoy di masa lalu.

Saya anjurkan, Anda tidak lagi mendedes atau mengincar karena dapat BENAR - BENAR MENGGANGGU KENIKMATAN istri (frustrasi) dan dapat menjauhkan istri dari Anda (meski fisik dekat tetapi secara batin tertekan. (Istri sudah usaha apa adanya…koq masih kurang dipercaya). Apalagi yang Anda permasalahkan adalah masa lalu, Anda tidak meng-inden istri dari lahir…tidak adil mempertanyakan sesuatu yang terjadi sebelum kenal dengan Anda.

Caranya, dengan menyadari bahwa bila kita melihat kesalahan pada orang lain (istri), sebenarnya semua itu adalah cerminan dari kekurangan yang tidak disadari, dirasakan ada pada diri kita, jadi jangan-jangan Anda yang kurang puas karena membanding-bandingkan dengan pengalaman pribadi di masa lalu. Silahkan simak dan utarakan secara terbuka keraguan Anda, tentu dengan sikap santun. Jalinlah kedekatan berdasarkan sikap saling percaya, sayang 'kan, anak baru satu koq sudah amblas rumah tangganya!



Pamugari Widyastuti
Sumber : Kompas Cyber Media

Tujuan Hidup

Permasalahan :

Saya adalah laki-laki berusia 21 thn. Pada dasarnya saya hidup dari keluarga yang taat beragama, namun dahulu saya adalah orang yang suka melakukan perbuatan dosa dan suka terbuai oleh dunia (pemuja cinta pada selain Allah) dan bahkan dengannya (cinta) saya jadikan sebagai penyemangat hidup saya. HIngga saat ini saya masih mencoba dari waktu ke waktu untuk terus memperbaiki niat, diri dan bertobat kepada Allah.

Namun semakin saya mendekatkan diri padaNya, seakan dunia tidak lagi menjadi terlalu menarik di mata, hati dan hasrat saya. Sehingga saya hanya ingin mendekatkan diri pada Allah saja, dan bahkan sempat terlintas keinginan untuk menjadi sufi. Namun saya teringat akan Hadits rasul untuk menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Kini saya seakan tidak dapat menentukan arah tujuan dan harapan yang dapat menjadikan saya bersemangat dari waktu ke waktu dan sesuatu hal sbg motivator utk saya kejar dari waktu ke waktu. Sehingga jiwa saya seakan menjadi hampa tanpa ambisi atau tujuan, dan hanya mengikuti arah hidup yang mengalir saja. Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah yangsaya rasakan ini? Hingga kini pun saya blum dpt mendefinisikannya?
2. Solusi apa yang terbaik bagi saya?
3. Dan tujuan apakah yang plg terbaik bagi hambaNya?


***************



Jawaban :

Ananda Adha yang saya hormati, sebelumnya salut buat Anda yang dapat memahami serta merubah hidup menuju yang lebih baik.

Menikmati dan menjalani kehidupan ini diawali dari cara pandang kita tentang kehidupan ini. Bagaimana kita memaknai hidup yang dijalani serta prosesnya. Dan manusia diciptakan oleh Sang Khaliq adalah untuk kemaslahatan. Bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain dan lingkungannya. Allah tidak hanya menyuruh manusia untuk mengerjakan sholat semata dan ibadah-ibadah individual lainnya, tetapi juga diminta untuk mengerjakan amalan-amalan sosial seperti, berzakat, infaq, amal ma'ruf nahi munkar serta memahami penciptaan-penciptaan lainnya. Oleh karenanya Allah menjadikan manusia sebagai Khalifah di muka bumi ini serrta menjadi rahmat bagi alam semesta (QS. 21: 107). Dan Rasulullah pun menegaskan dalam sebuah haditsnya “Yang terbaik di antara kalian adalah orang paling bermanfaat bagi orang lain”.

Untuk itu, perbaiki paradigma hidup kita bahwa yang utama dalam hidup ini adalah penekanan pada proses untuk kehidupan yang lebih baik. Walau bukan berarti niat dan tujuan yang disepelekan. Tabungan amal sholeh adalah yang utama, apalagi dapat meninggalkan warisan bermakna bagi generasi penerus kita sebagaimana para pendahulu kita yang mewariskan berbagai ilmu sehingga kita mudah untuk lebih mendekatkan diri pada Allah dengan amal shaleh.

Warisan bermakna yang akan membuat kita bahagia di dunia dan tersenyum senang di akhirat kelak. Seperti yang dikatakan Sayyid Quthb ketika ia akan menghadapi kematian di tiang gantungan, “Kebahagiaan yang sesungguhnya aku rasakan adalah ketika aku merasa yakin bahwa aku telah meninggalkan sesuatu yang berharga bagi generasi penerusku”.



Satria Hadi Lubis
Sumber : EraMuslim

Menyiasati Keinginan Suami

Permasalahan :

Assalamu'alaikum Wr Wb,
Saya seorang ibu rumah tangga yang telah empat tahun menikah. Akhir-akhir ini suami rajin mengikuti pengajian. Ia pun mulai berubah. Ia pun menjadi selalu tegas dalam masalah Islam, seperti mengharuskan wanita memakai kaos kaki dan jilbab yang lebar, yang intinya harus menutup semua aurat. Saya jadi agak tertekan dengan keharusan ini.

Sebenarnya saya sudah terbiasa dengan jilbab. Tapi memakai kaos kaki dan jilbab besar, membuat keluarga saya kurang menerima. Alasannya, mereka takut masyarakat memandang saya orang ekstrem. Namun demi menaati perintah suami, sedikit demi sedikit saya coba memakainya hingga akhirnya terbiasa.

Namun saya agak risih dengan cemoohan dari luar dan dari keluarga saya. Menurut Aa, apakah saya harus menuruti suami atau menuruti keinginan orangtua? Bagaimana baiknya?
Wassalam,


***************




Jawaban :

Wa'alaikumussalam Wr Wb,
Salah satu kunci menjalani hidup dengan enak adalah memiliki ilmu. Idealnya, Ibu jangan beramal karena suami, namun beramal karena landasan ilmu. Ilmu tersebut kita dapatkan dengan banyak belajar, bisa lewat buku, radio, pengajian, televisi, dsb. Bila tahu ilmunya, maka amal yang kita lakukan akan lebih menenteramkan hati. Keputusan yang diambil pun akan lebih tepat.

Taat kepada suami hukumnya wajib, selama tidak melenceng dari aturan agama. Apa yang diperintahkan suami agar Ibu menutup aurat, insya Allah baik dan sesuai aturan agama. Masalahnya, mungkin cara penyampaiannya kurang bijak dan Ibu pun belum memahami aturan tersebut. Saran Aa, perbanyak menjalin komunikasi dengan suami. Setelah itu bantu orangtua agar paham. Di sinilah pentingnya berdakwah dan menjalin silaturahmi.

Jalan tengahnya adalah bagaimana Ibu bisa menutup aurat dengan baik tanpa orang lain curiga. Yang terpenting penuhi dulu syarat berjilbab, seperti tidak ketat, tidak transparan, dan menutup seluruh bagian tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Modelnya bisa disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar. Wallaahu a'lam.



KH Abdullah Gymnastiar
Sumber : Republika Online

Sudah Berencana Poligami

Permasalahan :

Assalamu'alaikum
Saya, ingin menikah dengan pacar saya, tetapi saya selalu punya pikiran untuk berpoligami. Salahkan bila saya katakan pada kekasih saya sebelum menikah, bahwa saya ingin berpoligami kelak? Karena teman-teman di kantor saya banyakyangmenikah diam-diam tanpa sepengetahuan isteri tuanya. Sementara saya, saya ingin jika saya berpoligami, isteri pertama saya harus tahu. Bagaimana hukumnya berpoligami itu?
Trimakasih


***************




Jawaban :

Seseorang ketika berencana untuk berumah tangga, sudah sewajarnya untuk mempersiapkan dirinya. Bukan saja mempersiapkan dari segi keuangan semata tetapi segi fisik dan mentalpun harus juga menjadi perhatian bagi kedua belah pihak.

Di antaranya adalah bahwa sebelum melangsungkan pernikahan, hendaklah para calon mempelai mempunyai pemahaman yang utuh tentang membangun sebuah rumah tangga. Itulah mengapa biasanya KUA mengundang kedua calon mempelai untuk mendengarkan nasehat perkawinan sebelum acara pernikahan.

Tujuan berumah tangga antara lain adalah terbentuknya keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah serta anak-anak yang sholih dan sholehah sebagai pelanjut keturunan orang tuanya dan generasi bagi agama dan bangsanya.

Oleh karenanya saudara RHD, sebelum Anda hendak berpoligami, apakah Anda yakin bahwa hal itu akan mengekalkan tujuan rumah tangga yang akan Anda bangun? Akankah tercipta kebahagiaan, ketenangan, ketentraman dan kasih sayang yang kan menghiasi keluarga Anda?

Saran saya sebaiknya Anda lebih dahulu memfokuskan orientasi Anda kepada bagaimana membangun keluarga idaman, bahagia dengan anak-anak yang tidak hanya berbakti pada orang tua tetapi juga cerdas dan dapat menjadi 'orang' bagi bangsa dan agamanya.

Itulah wujud dari sebuah tanggung jawab laki-laki yang berperan ganda baik sebagi suami, Bapak dan kepala keluarga. Dan jika seseorang benar-benar memikul tanggung jawab ini, dengan satu orang isteri saja kiranya harus mempunyai 'semangat jihad' yang luar biasa.

Walaupun secara hukum tidak ada larangan seseorang untuk berpoligami tetapi banyak larangan bagi orang-orang yang menelantarkan anak dan keluarga, berlaku tidak adil (zhalim), sombong dan angkuh.

Kalaupun ada yang berpendapat untuk mengikuti cara nabi Muhammad, maka hendaklah ia terlebih dahulu membaca dan menelaah kehidupan beliau secara lengkap dan menyeluruh, saat kapan, bagaimana dan mengapa beliau berpoligami.
Wallahu'alam.




Satria Hadi Lubis
Sumber : EraMuslim

Bingung dengan Calon Suami

Permasalahan :

Aa, saya seorang wanita berusia 31 tahun. Sekarang saya bekerja sebagai seorang dosen dan tengah menempuh program S2. Sebelum melanjutkan S2, saya telah diperkenalkan dengan seorang pria berusia 34 tahun lewat telepon. Ia berpendidikan SLTA dan sekarang bekerja di salah satu hotel bagian marketing.
Sampai saat ini saya masih menganggap dia sebagai teman, dan saya pun masih sering dihubungi via telepon. Sebelum bertemu, saya juga sudah mencari info tentang dia dan keluarganya. Ketika dikenalkan sudah ada arahannya bahwa dia sedang mencari seorang istri.

Saya sendiri tidak mau salah dalam memilih jodoh, karena itu saya cari info tentang dia. Sejauh ini setiap orang yang saya tanya mengatakan bahwa ia cukup baik dan mensuport supaya kami berlanjut untuk menikah. Keluarga kami bahkan sudah saling kenal. Sampai saat ini kami hanya dua kali bertemu. Ada beberapa hal yang selalu menjadi pertanyaan saya, yaitu:

Saya belum tahu penuh tentang kualitas agamanya karena saya hanya dua kali bertemu dia. Apakah tidak masalah bila seorang kepala rumah tangga pendidikannya lebih rendah dari istrinya? Apakah tidak masalah dalam agama kalau orang bekerja di hotel?

Saya mohon bimbingan dan bagaimana baiknya. Saya tidak tega untuk berkata secara langsung karena saya tidak ingin dia dan keluarga kecewa, selain saya tidak tahu apakah dia jodoh saya. Selama ini setiap yang dikenalkan kepada saya ada saja kendalanya (kadang saya tidak cocok dianya mau dan sebaliknya saya cocok dianya tidak).

Tapi saya juga tidak mau menanggung keraguan dan salah dalam memilih jodoh. Dan kalau saya harus putus saya juga tidak tahu bagaimana mengemukakannya pada dia. Terimakasih atas bimbingannya.

***************



Jawaban:

Dalam memutuskan masalah ini, alangkah baiknya bila kita mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang dia. Bisa dari orangtuanya, saudaranya, teman-temannya, atau bisa pula langsung kepada dirinya–tentu dalam kondisi yang tetap terjaga.

Dari orang-orang terdekatnya kita bisa mengetahui sejauh mana kualitas keimanan dan prilakunya sehari-hari, walau mungkin tingkat subjektifitasnya cukup tinggi. Semakin banyak informasi dan data-data akurat yang kita miliki, maka insya Allah kita akan semakin arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan.

Yang tak kalah penting, berdoalah kepada Allah. Mohonlah petunjuk dan bimbingan-Nya agar kita tidak salah dalam memilih. Kalau seandainya dia memang jodoh kita yang akan membawa kebaikan dunia akhirat, maka mintalah agar dimudahkan. Tapi bila dia bukan jodoh kita, minta pula kepada Allah agar diberi yang lebih baik.

Seandainya kita berketetapan untuk menolak lamarannya, maka tolaklah dengan cara terbaik. Kita jangan ragu untuk mengatakannya, karena kepastian dan kejelasan akan membawa ketenangan. Tapi kalau kita menerima, maka segeralah menikah karena itulah jalan terbaik untuk menjaga diri dari maksiat.

Memang, idealnya kita menikah dengan seseorang yang sekufu atau sebanding, baik dari segi penghasilan ataupun pendidikan. Meskipun demikian, bukan sesuatu yang buruk bila calon suami kita pendidikan atau penghasilannya lebih rendah dari kita.

Asalkan ia mampu menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami. Mungkin kelebihan kita tersebut bisa menjadi kebaikan karena bisa melengkapi kekurangan suami. Betapa banyak pasangan yang sukses menjalani kehidupan rumah tangga padahal sang istri pendidikan dan penghasilannya lebih tinggi dari suaminya. Jadi yang berperan dalam maslaah ini adalah faktor mental dan tingkat keimanan kita.

Memang, setiap terjadi peningkatan penghasilan, status, atau gelar, akan melahirkan nuansa penilaian diri yang meningkat. Kalau semua ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas iman, maka kesombongan diri yang akan muncul. Ciri kesombongan itu ada dua, yaitu: mendustakan kebenaran dan merendahkan orang lain. Ia merasa punya nilai sendiri yang lebih tinggi dari orang lain.

Kalau pangkat naik, penghasilan naik, status meningkat, dan kita makin alergi terhadap nasihat dan kebenaran, maka percayalah, kita telah jatuh pada kesombongan tersebut. Harusnya, makin naik kedudukan, makin rendah hati, makin kuat mental. Kita harus seperti padi, makin berisi makin merunduk.

Begitu pula seorang istri yang penghasilannya lebih besar dan pendidikannya lebih tinggi dari suaminya. Jelas itu cobaan dari Allah, apakah dalam keadaan itu ia bisa tetap hormat dan mengabdi kepada suaminya atau tidak.

Kita diperbolehkan kerja di mana pun juga, selama pekerjaan itu tidak berbau maksiat atau membawa pada hal-hal yang dilarang oleh agama. Jadi bekerja di hotel tidak dilarang, bahkan bisa menjadi kebaikan kalau niat dan caranya benar.



Sumber : Republika Online

Depresi Kehilangan

Permasalahan :

Saya punya ibu angkat umur nya sekitar 60 tahun sekarang ibu mengalami depresi karena kehilangan cucu nya sekarang ibu seperti kehilangan semangat hidup tidak ingin mengerjakan sesuatu kerjanya hanya duduk, melamun dan sekarang menjadi pendiam.
Ibu sudah dibawa ke ulama tetapi tidak ada perubahan. Saya ingin bertanya bagaimana cara saya membantu agar ibu bisa kembali seperti dulu dan bisa menerima kematian cucu nya??apa yang harus saya lakukan dan dorongan serta nasehat seperti apa yang harus saya berikan.

***************



Jawaban:
Sayangnya email Anda sangat singkat sehingga kami tidak bisa lebih banyak memberikan respons kami. Oleh karena itulah kami hanya berhipotesa di sini.
Banyak faktor yang menyebabkan seorang ibu Anda mengalami depresi. Kita harus kritis, benarkah kehilangan semangat hidupnya karena kehilangan cucu? Jangan-jangan itu hanya pencetus saja. Sebelumnya, ibu Anda mungkin telah mengalami kehidupan yang kurang diliputi semangat akibat berbagai sebab. Lalu, ibu Anda menemukan semangat hidupnya kembali setelah mencurahkan perhatian pada cucu. Ibu Anda menggantungkan semangat hidupnya pada kehadiran cucu.

Hal itu kurang lebih sama dengan kisah Ibu Rini (bukan nama sebenarnya). Sebagai orangtua tunggal, beliau berusaha sangat keras mengumpulkan uang karena agar anaknya bisa kuliah. Namun nasib berkata lain. Sang anak yang menjadi semangatnya bekerja keras ternyata meninggal dalam suatu kecelakaan. Komentar ibu Rini, “Untuk apa lagi saya kerja keras? Lha wong anak saya yang saya carikan uang sudah tidak ada lagi.” Bisa ditebak apa yang kemudian terjadi. Ibu Rini memutuskan tidak lagi bekerja dan hanya mengandalkan uang pensiunan dari almarahum suaminya, hanya sekedar untuk melanjutkan hidup.

Ibu Anda mungkin mengalami hal yang sama dengan ibu Rini. Pada saat senja, banyak orangtua yang merasa kesepian karena berbagai sebab; misalnya tidak ada pasangan yang memberi perhatian, anak-anak yang kurang perhatian, cekcok keluarga, tidak ada aktivitas berguna yang dilakukan, dan lainnya (coba identifikasi apa yang kira-kira menjadi penyebabnya kehilangan semangat hidup). Dalam hal ini, cucu adalah penawar dahaga. Ketika cucu sudah tidak ada lagi, maka Ibu Anda pun kehilangan semangat hidupnya .

Mungkin akan membantu jika Ibu Anda melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak hanya menyenangkan namun juga bermanfaat, dan memiliki tanggung jawab. Sebagai contoh, Ibu Ria (66 tahun, bukan nama sebenarnya) melakukan aktivitas berkebun. Seluruh taman keluarga menjadi tanggung jawabnya. Ibu Ria menanam berbagai tanaman hias, dan tidak jarang ikut pameran tanaman hias. Melalui kegiatannya itu, ibu Ria berkenalan dengan banyak orang dan sekaligus menghasilkan uang. Ibu Ria mengakui bahwa hidupnya sangat menyenangkan, dan termasuk orangtua yang sangat sehat untuk seusianya. Sekitar 12 tahun sebelumnya, Ibu Ria kehilangan sekaligus 3 orang anaknya dalam suatu kecelakaan mobil. Kini ibu Ria tinggal dengan satu-satunya anaknya yang masih hidup.

Nah, apa yang Anda pikirkan? Anda lebih tahu apa yang bisa dilakukan Ibu Anda.
Mohon maaf, kami hanya bisa menjawab email Anda seperti di atas karena terbatasnya data yang Anda kirimkan kepada kami.
Salam




Sumber : psikologi-online.com

Putus Asa

Permasalahan :

Saya adalah lulusan fakultas teknik universitas negeri terkemuka di yogyakarta. Saya lulus dengan nilai ipk sangat memuaskan (di atas 3, 00). Setelah saya lulus dari universitas 6 bulan lalu, kemudian seperti biasanya melamar pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu saya. Banyak sekali panggilan yang saya terima dan syukur alhamdulillah saya selalu lolos hingga tahap interview dengan user. Tetapi saya selalu gagal dalam tahap ini.

Ketika saya bertanya pada pihak perusahaan mengapa saya gagal pada tahap ini. Mereka pun menjawab dengan jujur bahwa kegagalan saya karena kondisi fisik saya yang cacat (bibir sumbing). Jawaban ini sangat menyedihkan sekali bagi saya dan membuat saya putus asa. Saya sangat berharap mendapat saran dan masukan bagi masa depan saya. Terima Kasih.


***************



Jawaban :

Di negeri ini memang masih banyak pada sebagian kalangan menjadikan kondisi fisik seseorang sebagai barometer untuk menentukan kelayakan dibandingkan dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Berbeda sekali di di dunia barat yang sudah dapat menerima kesetaraan dan tidak membandingkan seseorang berdasarkan fisik semata.

Kurang bijak kiranya melihat fenomena seperti ini, kita malah berputus asa, tapi marilah dilihat sebagai sebuah tantangan bagi kita untuk dapat merubah mainstrem yang salah ini.
Saya yakin bahwa masih banyak orang atau perusahaan yang lebih mementingkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki seseorang dibandingkan dengan keadaan fisiknya. Mungkin saat ini Anda belum 'berjodoh' saja.

Oleh karenanya janganlah cepat berputus asa, teruslah untuk mengirimkan surat lamaran Anda dan optimislah bahwa suatu saat Anda akan diterima.

Tiada salahnya pula bila Anda memperbaiki 'kekurangan' Anda. Saat ini sudah banyak dilakukan berbagai operasi bibir sumbing dari yang biasa hingga yang massal. Sehingga dapat meningkatkan rasa percaya diri Anda.

Bekerja dengan wirausaha juga dapat menjadikan bahan pemikiran Anda sebagai langkah antisipatif bila Anda belum mendapatkan perusahaan yang Anda inginkan.



Satria Hadi Lubis
Sumber : EraMuslim

Perkawinan Hambar

Permasalahan :

Saya ingin konsultasi untuk menyelamatkan perkawinan kami dan dapat menikmatinya. Kami menikah 10 tahun dengan 2 anak. Suami kaku dan keras kepala. Kami berdua bekerja, meskipun pekerjaan di rumah saya kelola sendiri. Suami tidak peduli kerepotannya, masih mengeluh katanya saya tidak mengurusi suami. Penghasilannya untuk keperluan bulanan dan keperluan pribadinya, sedangkan gaji saya untuk keperluan harian yang tidak kalah banyak.

Sekarang saya tidak bekerja (sementara), suami mengeluh lagi, katanya dia yang bekerja keras mencarai nafkah, saya tidak bergaji. Dalam hubungan seksual saya tidak dapat menikmatinya karena maunya to the point tapi kadang mengonani saya meski saya jijik. Dia pernah selingkuh.

Tahun lalu saya bertemu rekan kerja, terlibat affair, dia membimbing saya yang akhirnya tahu nikmatnya hubungan seks. Yang saya sesalkan kenapa tidak dengan suami. Saya tahu berbuat dosa dan ingin mengakhirinya. Di keluarganya suami anak bungsu yang selalu dimanja. Saya dinasehati kakak-kakak ipar agar sabar dan momong suami. Bukankah harusnya suami yang momong isteri dan anak-anaknya?

Saya menyesal dengan perkawinan ini. Tapi cerai saya hindari demi anak-anak. bisakah saya bertahan berdampingan dengan suami yang perkataanya menyakitkan? Saya pernah bilang mungkin saya tidak berumur panjang bila suami tidak mengubah sikapnya. Bagaimana ustazah, tolonglah saya. Terima kasih.

***************


Jawaban :

Ibu yang baik,
Nampaknya ibu begitu kecewa dengan pernikahan yang sudah dijalani selama 10 tahun. Berada dalam sebuah keluarga yang diri kita merasa tidak nyaman bersama pasangan memang merupakan siksaan batin yang berkepanjangan. Ketidakpuasan serta konflik dalam rumah yang tak terselesaikan memang membuka celah bagi setan untuk menggiring kita pada maksiat. Oleh karena itu seharusnya problem dalam rumah tangga tidak dibiarkan berlarut-larut dan berujung pada hal yang dimurkai Allah.

Menyelesaikan masalah memang tak cukup hanya sekedar bersabar dalam arti sekedar pasrah atas apa yang diterima, namun harus diiringi dengan usaha merubah keadaan. Namun ketika keadaan tidak juga berubah dan diri kita khawatir jatuh pada maksiat maka yang terbaik adalah mengambil jalan terbaik di antara pilihan yang tidak baik dengan penilaian Allah sebagai pertimbangan utama.

Hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang wanita di zaman Rasulullah, ia meminta agar diceraikan dari suaminya karena khawatir akan agamanya. Dan Rasulullahpun mengizinkan dan tidak menghalang-halanginya demi terjaganya agama wanita tersebut.

Dalam hal ini saya menyarankan ibu sebaiknya memperbaiki dulu pernikahan ini semaksimal mungkin dan tidak dibutakan nafsu sesaat. Cobalah mengawali dengan membuka komunikasi yang lebih baik kepada suami dan mengkomunikasikan ketidakpuasan ibuatas pernikahan ini. Mungkin saja suami sendiri tidak tahu sedalam apa rasa tertekan yang ibu alami sehingga iapun menganggap segalanya masih dapat diatasi.

Jika masalahnya adalah dengan bagaimana ibu mengkomunikasikan hal tersebut kepada suami maka hadirkan orang ketiga. Misalnya datangi konselor pernikahan atau siapapun yang ibu serta suami percayai yang dapat menjadi jembatan antara ibu dengan suami dan membantu memandang masalah secara objektif.

Saya sendiri tak tahu sejauh mana ibu sudah berusaha memperbaiki pernikahan ini, namun yang jelas mengambil jalan instant dengan berselingkuh tidak menyelesaikan masalah bahkan bisa jadi menambah masalah baru. Akhirnya ibupun tak pernah tenang hidupnya berputar dalam masalah yang tak kunjung selesai.

Jika ibu merasa bertahan dalam pernikahan adalah untuk anak-anak, maka apakah menurut ibu bertahan namun berselingkuh tidak akan menyakiti mereka? Padahal demikian banyak anak-anak yang hancur ketika tahu ada orangtuanya yang berselingkuh dan dampaknya bisa jadi lebih merusak dibandingkan dari perpisahan yang dilakukan dengan baik.

Akhirnya semua pilihan akan kembali kepada diri kita sendiri .Dekatkanlah terus diri ibu kepada Allah dan bertobatlah. Bersabar, berusaha dan berdoa semoga membawa pada jalan keluar yang Allah ridho, meski tak selalu indah di mata manusia. Wallahu'alambishawab
Wassalammu'alaikum wr. wb.



Rr. Anita W.

Anak Tantrum

Permasalahan :

Assalamualaikum
Saya mau bertanya : anak saya ( perempuan ) umur 10 th, kelas 4 SD, anak pertama, memiliki sifat yang sangat sesitif . Kalau ada yang tidak berkenan di hatinya, dia mudah sekali ngambek dan kalau menangis susah sekali berhenti, bisa berjam – jam.

Biasanya kalau ada kata – kata saya baik itu becanda atau teguran (walaupun disampaikan dengan baik atau tidak dengan membentak / marah) selama itu tidak sesuai dengan hatinya, maka dia akan ngambek dan bisa menjadi masalah yang lebih besar karena ujung – ujungnya dia akan mengangis lama, dan baru berhenti kalau kita peluk erat -erat dan meminta maaf, telah salah ucap. Saya sebagai ibunya, kadang jadi takut bicara dengannya karena takut salah. Tapi kalau dia dicuekin juga bisa ngambek. Saya jadi serba salah.

Pertanyaan saya, bagaimana sebaiknya saya bersikap? Mohon bantuannya. Terima kasih atas waktu dan jawabannya.


***************



Jawaban:

Dari apa yang dituliskan dalam surat Anda, dimungkinkan sang anak mengalami tantrum. Perilaku tersebut biasanya muncul sebagai strategi anak untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Faktanya, sebagian orangtua selalu mengalah dan memenuhi apa yang diminta anak, akibatnya perilaku tantrum itu diperkuat (dalam sudut pandang anak, berperilaku tantrum = keinginan dipenuhi, atau tantrum = puas). Oleh karena itu, tidak mengherankan perilaku tersebut terus menerus dilakukan anak. Sayangnya, orangtua kadang memang tidak sanggup untuk tidak memenuhi apa yang diminta anak karena sangat terganggu (malu pada orang lain, pusing, tidak tahu apa lagi yang harus diperbuat, dan lainnya).

Salah satu strategi yang diketahui cukup berhasil menangani tantrum adalah “time out”. Setiap kali anak melakukan tantrum, maka orangtua membiarkannya, meskipun anak menangis berjam-jam. Dalam hal ini konsistensi diperlukan. Dalam kurun waktu “time out”, Anda tidak boleh menunjukkan keprihatinan atau perhatian. Anak harus mutlak diabaikan. Tentu saja langkah ini akan memerlukan ketegaran Anda. Strategi ini biasanya gagal karena orangtua tidak tahan mengabaikan anak.

Sebaiknya, pada saat anak tidak tantrum (jauh setelah tantrum anak berakhir), barulah Anda memberikan apa yang diminta (jika bisa dipenuhi Anda). Dengan demikian anak belajar bahwa tantrum tidak menghasilkan apa-apa bagi dirinya.

Perlu diketahui, perilaku anak mencari perhatian melalui perilaku tantrum biasanya merupakan akibat dari tidak terpenuhinya perhatian yang diinginkannya, seperti misalnya merasa disaingi saudara yang lain, Anda terlalu sibuk, atau yang lainnya.
Selamat mencoba. Apabila memerlukan info lebih lanjut, silakan untuk terus menghubungi kami. Tim kami akan mengawal langkah-langkah Anda.
Salam




Sumber : Tim psikologi-online.com

Berbicara Sendiri atau dengan Bayangan di Kaca

Permasalahan :

Saya berusia 27 tahun dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka berbicara sendiri atau berbicara dengan bayangan saya di kaca seolah-olah saya tidak sendirian di kamar itu. Kadang-kadang saya berkhayal sedang mengobrol dengan orang lain, misalnya dengan sepupu atau teman-teman saya, atau orang lain, atau kadang-kadang saya berkhayal mempunyai saudara kembar. Kebiasaan ini mulai tahun 1988.

Terus terang, sebenarnya saya mempunyai lumayan banyak teman untuk mengobrol tetapi kadang-kadang saya berpikir, mereka pasti memiliki urusan masing-masing, jadi lebih baik saya berbicara sendiri, seolah-olah sedang mengobrol dengan hatinurani saya. Ini saya lakukan tidak di dalam hati, saya ungkapkan sehingga seolah-olah saya sedang berbicara dengan orang lain.

Biasanya setelah berbicara sendiri, kadang-kadang saya menemukan penyelesaian dari masalah yang sedang saya hadapi. Yang ingin saya tanyakan, apakah jiwa saya tergangu, apakah kebiasaan ini membahayakan? Bagaimana mengatasinya?


***************



Jawaban:

Kebiasaan berbicara sendiri merupakan jalan keluar yang tidak wajar untuk memperoleh jawaban-jawaban tentang kehidupan, karena berlawanan dengan hukum alam bahwa manusia adalah mahluk sosial. Jadi kebutuhan Anda untuk bersosialisasi sebaiknya dilakukan dalam berhubungan dengan orang lain. Setidaknya bicaralah dengan siapapun yang ada di rumah, kalalu perlu dengan pembantu untuk mendapatkan masukan dari permasalahan-permasalahan.
Yang membuat keputusan Anda sendiri. Dikahwatirkan kebiasaan ini sulit untuk di atasi karena sangat mudah dilakukan, tidak perlu ada usaha untuk mencari-cari dan menjalin hubungan dengan orang lain. Hukum alam lainnya adalah ada kalanya kita menerima perhatian, saran dan kasih dari orang lain tetapi kita juga perlu memberi perhatian, kasih dan waktu untuk orang lain.
Kalau bicara sendiri Anda hanya putar-putar di situ dan lama-lama tidak akan memuaskan lagi, sehingga akan meningkat lagi menjadi penarikkan diri secara total. Mantapkan diri, dekatilah seseorang atau beberapa untuk curhat (curahan hati), belajarlah dari pengalaman hidup mereka. Nanti dengan pendewasaan dan penambahan perbekalan melalui pengalaman pribadi serta orang lain, dan bacaan yang mengandung kearifan, Anda akan dapat membuat keputusan hidup yang lebih baik untuk evolusi diri dalam kehidupan ini. Selamat berinteraksi!



Pamugari Widyastuti
Sumber : Kompas Cybers Media

Rendah Diri Akibat Trauma Masa Lalu

Permasalahan :

Ibu Rieny yang terhormat,
Saya (24) mahasiswi tingkat akhir sebuah PTS di Yogya, sulung dari 5 bersaudara. Selama ini, saya mencoba menyenangkan hati orang tua dan orang lain, tetapi tidak bisa menyenangkan diri sendiri. Ada yang selalu membayang-bayangi langkah saya. Saya trauma pada masa kecil saya, Bu.

Saya hidup jauh dari orangtua, dan tinggal di rumah nenek dan adik-adik ibu di Purwokerto. Orangtua tidak mampu membiayai sekolah saya. Mungkin karena didikan adik-adik Ibu yang keras dan disiplinnya bagus (salah sedikit saja dimarahi atau dipukul dengan sapu), akibatnya mental saya jadi lemah, Bu. Terkadang muncul rasa takut, cemas dan minder. Apalagi, sejak kecil, saya tidak punya teman curhat.
Namun, pelan-pelan, saya mencoba menghilangkan ketakutan, rasa cemas dan minder itu. Setelah masalah yang satu itu tidak begitu mengganggu, muncul masalah lainnya. Kalau sakit hati, saya tidak bisa memaafkan dan melupakan.

Ini bermula menjelang saya masuk universitas. Waktu itu, saya butuh banyak uang, dan karena itu saya ikut bantu-bantu di rumah adik ibu di Jakarta. Saya butuh uangnya, dia butuh tenaga saya. Saya menjaga rumah kalau adik Ibu pulang kampung, memandikan anaknya yang masih kecil, dan bersih-bersih rumah. Saya lakukan ini untuk menyenangkan hati orang tua saya, agar biaya kuliah saya bisa dibantu.

Dari 5 bersaudara, 4 orang masuk universitas di Yogya. Semuanya berkat bantuan adik ibu yang di Jakarta, tapi keluarga kami selalu makan hati. Adik ibu selalu menekan, menindas harga diri keluarga saya, sehingga saya merasa keluarga saya terkurung dalam sangkar emas. Kalau ke Jakarta, saya tidak bisa keluar rumah dengan teman sebaya. Semua serba diatur, harus begini-lah, begitu-lah, gaul dengan si A-lah, atau si B-lah. Saya selalu dibedakan dari keponakannya yang kaya. Kalau mengingat itu, saya menangis tersedu-sedu seorang diri di kamar.

Terakhir kali, gara-gara masalah sepele, adik ibu mencemooh dan mengusir saya dari rumahnya. Dan yang paling menyakitkan, dia memutuskan hubungan keluarga dengan ibu saya lewat telepon. Saya sedih bercampur senang. Sedih karena putus hubungan keluarga, senang karena bebas dari tekanannya selama ini. Walaupun saya juga tahu, ibu sayalah yang paling menderita karena masalah ini. Sekarang, saya berusaha menyenangkan hati orangtua dengan menyelesaikan studi dan kerja sambilan.

Bu, apa yang harus saya lakukan untuk melupakan masalah-masalah lalu yang membuat saya sedih? Apa yang harus saya upayakan agar mental saya tidak down pada saat-saat ini? Saya tidak mau masa depan saya dihantui masa lalu. Cita-cita saya hanya ingin membahagiakan orang tua dan menyekolahkan adik bungsu ke universitas tahun depan. Terima kasih.


***************



Jawaban :

Pepatah mengatakan: "There is no free lunch in this world," yang mengiaskan bahwa tak ada satupun bantuan atau sumbangan yang benar-benar diberikan secara gratis, dalam arti memang diberikan dengan betul-betul tanpa pamrih. Bukankah menantikan ucapan terimakasih dari orang yang kita beri sesuatu juga sudah merupakan pamrih?

Apalagi kalau judulnya adalah membantu biaya kuliah seorang keponakan. Tanpa bermaksud membela adik Tante Anda, bukankah sah-sah saja kalau misalnya ia lalu berharap Anda punya prestasi bagus di sekolah? Dan saat ada waktu luang, melakukan sesuatu untuk keluarganya, sebagai imbal budi?

Masalahnya kemudian, Anda sudah telanjur tumbuh sebagai sosok yang halus perasaannya, sensitif atau mudah tersinggung, tetapi pada sisi lain juga kurang mampu mengekspresikan perasaan secara tepat. Dalam bahasa psikologinya, Anda mengembangkan perilaku yang pasif agresif. Sekilas, tampaknya tidak meledak-ledak, padahal seperti gunung Papandayan yang baru meletus itu, di dalam hatinya menggelegak, penuh perasaan tidak nyaman yang selalu siap ditumpahkan manakala ada peluang.

Gambaran kepribadian Anda khas ditampilkan oleh seseorang yang punya pengalaman dititipkan ke kerabat atau kenalan, dan mendapat perlakuan yang kurang memberi peluang bagi tumbuhnya harga diri yang positif. Ngenger, kalau dalam bahasa Jawanya, memang kerap berdampak kurang baik karena sering membuat individu yang melakoninya jadi minder.

Ada seorang yang saya kenal, ganteng, tinggi besar dan cerdas (ia bisa berbahasa Inggris, Jerman dan Belanda secara lancar), tetapi karier tertingginya hanya penjaga gudang di salah satu ekspedisi laut di Tanjung Priok. Beliau ini sebenarnya putra seorang petinggi tempo dulu, berdarah bangsawan tentu saja. Ibunya meninggal saat melahirkannya dan ayahnya menikah dengan adik ibunya. Mestinya ini "menjamin” bahwa ia berada di tangan ibu tiri yang oke, kan? Nyatanya, si Bibi ini lebih kejam dari ibu tiri!

Sejak kecil, ia hanya mendapat kamar di luar rumah utama, berdampingan dengan para pembantu. Ia tak pernah mendapat baju baru, selalu saja hanya bekas pakai saudara-saudara lainnya, dan satu-satunya kemewahan yang bisa ia nikmati di rumahnya sendiri hanyalah izin untuk membaca buku-buku koleksi perpustakaan kakeknya dan bersekolah di sekolah Belanda. Inipun ia jalan kaki, sementara adik-adik perempuan tirinya, diantar oleh pembantu dengan kendaraan. Sang ibu tiri selalu berdalih bahwa sebagai anak laki-laki, ia harus dididik spartan alias keras. Tetapi, ternyata ini menghancurkan harga dirinya, dan ia tumbuh menjadi sosok yang sangat tertutup, pemalu dan tidak punya PD.

Untungnya (selalu ya, masih saja ada untungnya), setelah sama-sama dewasa, para adik tirinya dapat mengenali penyebab sang kakak menjadi begitu minder, yang tak lain adalah ibu mereka sendiri, dan mereka “menyirami” kakak ini dengan kasih sayang dan perhatian yang besar. Terutama, setelah sang "monster" (ibu kandung mereka) meninggal dunia.

Tetapi, nasi sudah menjadi bubur, dan sang kakak sudah telanjur cuma jadi penjaga gudang. Profesi yang menurut penuturan beliau pada saya tidak membutuhkan basa-basi dengan banyak orang, dapat dikerjakan sendirian, dan dapat dilakoninya sambil menjalani hobi satu-satunya, yakni membaca.

Setiap kali saya memunculkan ingatan saya tentang beliau ini, hati saya selalu terasa ngilu, campuran sedih dan gemas. Sedih, kok ada orang yang setega itu “membunuh karakter” seseorang. Gemas, karena sebetulnya sebagai “ibu sambungan” ia berada dalam posisi sangat mulia untuk berbuat sesuatu. Merawat anak piatu yang tak sempat menikmati kasih sayang ibunya sendiri!

Darimana asalnya perasaan serba rendah ini? Pada saat seseorang membutuhkan perasaan bahwa ia diterima, diinginkan dan disayang, yaitu di masa kecilnya, kebutuhan psikologis yang mendasar ini tidak diperolehnya. Akibatnya, ia merasa diri tak cukup pantas untuk dihargai orang, diterima dan disayangi. Untuk mengimbangi perasaan yang tidak nyaman ini, biasanya seseorang lalu mengembangkan serangkaian perilaku yang dilandasi keinginan untuk menutupi yang dirasakan sebagai kekurangan tadi. Bahasa kerennya, melakukan over kompensasi. Ada yang lalu berlebih-lebihan menampilkan dirinya, yang kita kenal dengan over acting, ada pula yang minder abis, kata anak remaja masa kini.

Yang over acting selalu mencoba menarik perhatian orang lain dengan berperilaku yang lebih sering berakhir dengan rasa sebal dari lingkungannya. Membual, banyak bicara tapi ngawur, merasa mampu tetapi sebenarnya tidak kompeten. Sekilas mereka tampak aktif, tetapi sesungguhnya cuma untuk terlihat sibuk saja.

Sedangkan yang minder abis adalah kebalikannya. Ia hampir-hampir tak berani menampilkan diri. Kelebihan-kelebihannya sebagai individu tak pernah mau ia akui sebagai kenyataan, karena ia yakin sekali bahwa ia tak bisa apa-apa, tak punya apa-apa, dan karenanya tak mungkin disukai orang lain. Mereka biasanya takut menjalin hubungan dengan orang lain, penyendiri, mudah tersinggung, tetapi cuma dipendam sendiri, dan akhirnya tampak misterius untuk lingkungannya.

Pada Ana, masa kecil, yaitu masa dimana landasan bagi terbentuknya harga diri yang positif sedang dibentuk, diingat sebagai masa penuh tekanan dari para tante di rumah nenek. Rupanya, mereka menggunakan dirinya sebagai standar untuk apa yang harus dilakukan oleh si kecil Ana, sehingga ada harapan yang tinggi bahwa Ana bisa melakukan apa-apa yang mereka inginkan. Akibatnya, kesalahan kecil pun mengakibatkan sapu mendarat di badan.

Rangkaian peristiwa ini hanyalah menggarisbawahi perasaan ketidak mampuan Ana, dan biasanya tidak pula diimbangi dengan cukup pujian atau elusan penuh kasih yang menyatakan persetujuan bila Ana melakukan hal-hal yang baik dan benar (biasanya ini dianggap memang sudah seharusnya, jadi tak usah lagi dipuji). Jadilah Ana tumbuh menjadi sosok yang “sibuk” dengan kekurangan-kekurangan dirinya saja.

Kesemua ini menumbuhkan sebuah keyakinan yang kuat bahwa ia memang tak bisa apa-apa, bukan siapa-siapa, dan karenanya tak pantas kalau punya keinginan untuk menampilkan diri ataupun untuk mengambil keputusan-keputusan penting untuk dirinya sendiri.
Nah, kalau Ana ingin melepaskan diri dari perasaan-perasaan tidak nyaman ini, yang pertama harus dilakukan adalah mengumpulkan pengalaman keberhasilan dalam hidup selama ini. Hampir jadi sarjana, punya pekerjaan (sambilan juga tak apa-apa), jelas adalah bukti dari kemampuan Ana. Lalu, kualitas kemanusiaan Ana juga banyak yang positif. Rasa cinta pada ibu dan adik-adik, keinginan untuk mengangkat keluarga dari jerat kemiskinan, ini adalah kelebihan dari seorang Ana yang tak boleh diabaikan.

Langkah berikutnya, tumbuhkan rasa suka dan menyayangi diri sendiri. Hampir semua orang yang menderita kompleks rendah diri atau minder ini tidak menyukai dirinya, karena mereka hanya sibuk dengan kelemahannya atau apa yang tak ia miliki atau yang tak bisa ia capai. Rasa ini akan cepat tumbuh kalau Ana mau “berdamai” dengan masa lalu, memaafkan orang-orang yang pernah mencerca, menghina dan malah memutuskan hubungan persaudaraan dengan Ana.

Kalau orang bilang bahwa memaafkan itu susah, sebenarnya tidak juga, lho Ana. Ini menjadi susah kalau kita tidak memberi peluang untuk melihat dan kemudian memahami bagaimana sudut pandang seseorang tentang masalah yang sedang ia dan Ana hadapi. Masing-masing merasa paling berhak berlaku seperti yang ia tampilkan. Begitu Ana bisa memahami kenapa Bibi, misalnya, berlaku demikian, pasti Ana akan mengatakan: ”Oh, untungnya saya tidak sesempit itu melihat masalah!” Karena, hati ini akan terasa lapang kalau di relung-relungnya kita sediakan banyak toleransi untuk perbedaan-perbedaan yang selalu mungkin akan muncul saat kita berinteraksi dengan orang lain.

Pokoknya, rasanya derajat kita sebagai manusia langsung zyuuuuut melesat naik waktu kita mampu memaafkan, deh Ana. Bila dua langkah besar ini sudah dapat Ana atasi, yang terakhir adalah meningkatkan intensitas pergaulan dengan lebih banyak orang dari beragam latar belakang. Orang-orang ini akan mengajarkan pada Ana bahwa berbeda itu tak selalu harus berakhir dengan pertikaian atau rasa tidak suka. Justru kalau kita pandai menelisik, kenapa kita berbeda dengan orang lain, kita akan tahu bahwa Tuhan memang Maha Besar, karena mampu menciptakan manusia dengan berbagai ragam perilaku dan watak, yang kesemuanya memungkinkan kita bergaul, bersahabat dan bahkan akhirnya menikah dengan orang yang kita cintai, walaupun orang itu jelas-jelas berbeda dalam banyak hal dengan kita.

Dan ketika kita bisa tetap menyelaraskan hubungan dalam perbedaan yang ada, itulah yang namanya proses pendewasaan. Mudah-mudahan, Ana akan sampai ke proses ini, karena sayangnya, banyak sekali orang yang sampai menutup matapun tetap saja hanya mau hidup sesuai dengan apa yang ia anggap baik, benar, dan lebih penting lagi sesuai dengan keinginannya! Mudah-mudahan, saya, Ana dan pembaca tidak termasuk ke dalam golongan ini, karena mereka biasanya adalah sosok yang menyebalkan. Mau enak sendiri tetapi tidak peka pada kebutuhan orang lain. Jangan jadi yang seperti ini, ya Ana? Salam sayang.



Rieny
Sumber : Nova
Blog Widget by LinkWithin