twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Setiap saat disadari atau tidak, disengaja atau tidak, berbagai permasalahan datang dan tersimpan dalam hati. Terkadang membuat dada sesak dan kepala penat. Mungkin permasalahan yang Anda hadapi mirip atau pernah dialami rekan yang lain. Melalui blog konsultasi psikologi ini diharapkan Anda menemukan jawaban yang menjadi solusi atau pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang Anda hadapi.

Konsultasi Psikologi Update:

Tulis Topik Permasalahan Anda

Ragu Menikah Karena Memikirkan Ibu dan Adik

Permasalahan:

Saya seorang gadis dengan usia siap menikah, tetapi kini bingung mengambil keputusan. Saya takut salah mengambil sikap. Pacar saya seorang pria yang pekerjaannya menuntutnya harus berpindah-pindah tempat tugas. Sebelumnya, kami telah sepakat akan menikah, dan orang tua juga sudah setuju. Namun, rencana itu tertunda, karena ayah saya meninggal.

Sebagai anak sulung, saya berkewajiban mendampingi Ibu membimbing adik-adik yang masih kuliah. Sementara jika saya menikah, saya harus turut mendampingi suami yang berdomisili sangat jauh dari keluarga saya. Di samping itu, tanpa alasan jelas, keluarga pacar mendadak menarik dukungannya pada saya, sehingga rencana pernikahan pun tertunda. Padahal, sebelumnya mereka pernah mendesak saya untuk segera menikah.

Keluarga saya masih dalam keadaan labil, karena baru ditinggal Ayah, Bu. Belum lagi, ada seorang adik yang amat menyiksa Ibu dengan sikapnya yang labil dan tempramental (dia korban narkoba, yang katanya sudah berhenti memakai tapi masih paranoidnya). Saya amat bingung dan mohon bantuan Ibu, karena saya harus memutuskan dalam waktu sebulan ini.
Sekarang, pacar mengatakan bahwa keluarganya sudah bisa menerima saya (walaupun mungkin sebagian belum), dan mulai mengajak saya merencanakan pernikahan ini secepatnya. Sementara keluarga saya yang tadinya setuju, sekarang juga meragukan pilihan saya, dengan alasan jika saya menikah, saya akan jauh dari keluarga. Padahal, ibu saya memerlukan teman, dan adik juga butuh bimbingan. Mereka menyarankan saya menikah saja dengan mantan pacar saya yang sampai sekarang masih menunggu (tentu saja tidak bisa terlalu lama), karena satu kota. Keluarganya pun amat perhatian dengan keluarga saya, sehingga bisa mendukung saya dalam membimbing adik-adik.

Sungguh, saya bingung, Bu. Saya amat mencintai pacar saya. Kami sudah cocok dan bisa saling mengerti. Tapi saya takut, jika saya menikah dengannya, akan terjadi sesuatu dengan ibu saya karena dirongrong terus oleh adik saya yang tempremental itu. Sementara saya jauh dan tidak dapat berbuat banyak. Di samping itu, saya juga khawatir akan terjadi konflik dengan keluarga pacar, mengingat mereka pernah tidak setuju.

Di pihak lain, jika saya menikah dengan mantan saya, berarti saya harus membohongi diri sendiri, karena saya tidak mencintainya lagi. Saya juga tidak yakin, apakah saya bisa belajar mencintainya lagi jika jadi menikah. Dia memang amat mencintai saya, baik, dan perhatian pada keluarga.

Saya sering berandai-andai, alangkah indahnya hidup ini jika keluarga saya stabil, sehingga saya bisa menikah dengan pacar, ikut suami ke mana pun bertugas. Tapi mungkin inilah hidup, harus ada yang dikorbankan. Saya sangat bingung, mana yang harus dikorbankan atau dipilih? Keluarga atau hati saya? Sementara pilihan untuk tidak menikah pun bukan keputusan tepat, karena saya sering merasa sendiri dan butuh teman untuk berbagi rasa. Jika menunda-nunda, saya akan telat menikah, padahal keluarga mengharapkan saya segera menikah. Mohon bantuan Ibu, terima kasih.


***************



Jawaban :

Masalah Anda dialami juga oleh Nidya (Surabaya) yang anak tunggal dan ayahnya sudah meninggal, sementara sang ibu tak mau ditinggal Nidya pindah ke rumah suaminya. Akibatnya, perkawinan tertunda-tunda terus. Juga Mita (Palembang) yang punya tiga adik, dan sejak ibunya meninggal ketika melahirkan adik bungsunya, sudah terbiasa menggantikan peran sebagai penyelenggara rumah tangga. Ia berat meninggalkan keluarganya, karena calon suami meminta ia bisa “pensiun” dari keluarga besarnya untuk membina rumah tangga. Mita gundah, karena ini adalah pacar serius yang ketiga. Dua pacar sebelumnya putus, karena tak tahan harus menunggu keputusan Mita.

Saya percaya, masalah ini sangat berat untuk gadis-gadis seperti Anda, apalagi Anda bertiga juga sudah berada di penghujung usia untuk kemudian akan mulai dicap sebagai “perawan tua.” Seorang rekan muda yang sangat saya kagumi keuletannya menjalani hidup, mirip juga kisahnya dengan Anda. Ia anak tertua juga, ayahnya sudah tiada, dan bingung bagaimana nasib adik-adiknya kalau ia menikah, karena calon suami tak mau “ikut repot” menangani masalah keluarganya.

Dalam usianya yang 27 tahun, ia tampak begitu tangguh menyelesaikan masalah kantor, menemani ibunya yang stres berat jika beliau kambuh, dan di sela-sela kesibukan kantor yang padat, tetap saja bisa menyusun menu makanan keluarganya selama sebulan!

Rasa-rasanya, Anda bertiga punya tipikal gambaran kepribadian yang sama, deh, dengan rekan saya ini. Mandiri, tampak bisa menyelesaikan segala masalah yang datang, sehingga akhirnya, pelan tetapi pasti, di benaknya maupun di benak anggota keluarganya tertanam keyakinan bahwa tanpa dia, keluarga ini tak bisa berjalan. Dan karena hubungan yang tercipta dengan sesama anggota keluarga adalah hubungan yang interdependen atau saling tergantung sifatnya, maka bukan hanya para anggota keluarga yang percaya bahwa Andalah satu-satunya yang bisa menjadi “penyelamat” keluarga. Tanpa Anda, bagaimana mungkin mereka bisa tetap menjalankan hidup mereka!

Ini diperparah lagi oleh munculnya perasaan berdosa, karena beranggapan bahwa kawin adalah kebutuhan pribadi, sementara dengan tetap membujang, saya bisa memberi lebih banyak manfaat untuk ayah atau ibu dan adik-adik. Dengan demikian, kalau saya menikah, kok saya egois sekali, sih?

Sebenarnya, kasus seperti Anda ini hampir mirip dengan anak yang disapih. Tadinya menetek pada ibunya, lalu sudah waktunya untuk berhenti. Harus berhenti, karena ASI-nya sudah tak mencukupi kebutuhan gizi lagi. Tetapi, melihat anak rewel, menangis sedih, dan kadang malah demam, ibu sering mengalami konflik yang benar-benar membuat sesak napas. Tetapi, proses ini biasanya terlalui, karena toh akhirnya akan terlihat bahwa si anak tidak jadi makin buruk kondisinya.

Ia akan belajar bahwa ada banyak kebebasan yang ia miliki, karena tak tergantung pada buah dada ibunya. Si ibu juga sudah mulai bisa menjalankan program dietnya, misalnya, atau pergi lebih lama tanpa risau diburu waktu menetek bagi anaknya.

Bagaimana kalau X juga belajar “menyapih” ibu dan adik? Tentu saja, urusannya bukan di seputar payudara, ya X, tetapi membiasakan untuk menyelesaikan masalah tanpa harus menunggu apa kata Anda. Dan lebih penting lagi sebenarnya adalah menjaga supaya tak terjadi masalah-masalah yang tak perlu. Bukankah mencegah selalu lebih menguntungkan daripada harus membereskan masalah yang sudah terjadi?

Menggantung masalah, jelas tak mengurangi konflik di dalam benak Anda. Dan karena Anda memiliki cukup alasan untuk menikah, sebaiknya ini tak ditunda. Lakukan persiapan untuk para anggota keluarga, sehingga bukan hanya Anda yang “belajar” untuk meninggalkan mereka, dalam arti ikut suami, tetapi mereka juga mau membiasakan diri untuk belajar hidup tanpa Anda harus lekat-erat di sekitar mereka.

Buat daftar dari masalah yang selama ini muncul dalam keluarga, dan bagi ke dalam tiga kategori. Yang pertama, yang mutlak membutuhkan Anda. Kedua, yang akan lebih cepat selesai kalau ada Anda, tetapi bisa selesai juga tanpa Anda (walau waktunya lama). Dan ketiga, yang tak memerlukan kehadiran Andapun sebenarnya bisa diselesaikan.

Lantas, kategori ketiga segera bisa Anda drop dari campur tangan Anda.
Contoh konkretnya, membayar PLN. Menyediakan uang, mungkin masuk katagori satu, harus dari Anda. Tetapi, menyetor ke loket PLN atau ke bank, masuk ke-3, bukan? Tak perlu Anda dong yang melakukannya? Dalam kasus adik X, bila ada terapi yang harus dijalani, tuntaskan dengan jadwal yang diikuti, tetapi kali ini kontrolnya dari ibu, bukan dari Anda lagi.
Kemudian, lihat daftar pertama. Bila ini menyangkut keahlian, misalnya memasak untuk keluarga, carilah pembantu yang kompeten. Di sini, mereka harus belajar untuk mau makan, walaupun bukan masakan Mbakyunya. Seringkali, pernyataan seperti, ”Nggak mau makan kalau yang masak bukan Ayu Mita!” harus diartikan sebagai kemanjaan dan bukan kondisi mutlak yang harus selalu dipenuhi.

Jangan terlalu drastis, karena pada dasarnya yang sedang dilakukan utamanya bukan terkait dengan perilaku, tetapi lebih kepada kesiapan mental. Jadi, orang-orang yang Anda cintai juga harus Anda yakinkan bahwa perkawinan Anda tidak akan menyebabkan Anda mengurangi atau menghilangkan kasih sayang dan perhatian pada mereka. Hanya saja, kini prioritasnya yang sudah harus bergeser. Kalau ada adik yang bisa menerima “tongkat estafet” dari Anda, lakukanlah. Ajari anggota keluarga lain untuk menerima kenyataan bahwa kalau apa yang ia lakukan belum sebaik Anda, namanya juga baru saja melakukannya.

Dengan berlalunya waktu, ini bisa diatasi. Nah, kalau secara pelan tetapi pasti, tugas-tugas di kategori satu bisa bergeser ke dua dan lalu ke tiga, akan terlihat bahwa kemandirian mereka akan seiring dengan berkurangnya keharusan Anda terlibat dalam masalah yang ada. Saya bukan ingin menganjurkan Anda untuk bersikap egois, membiarkan keluarga dan menikah. Tetapi, saya berpendapat bahwa setiap orang punya HAK untuk menentukan apa yang ia inginkan dari hidup ini, termasuk untuk menikah. Dan kalau waktunya sudah datang, anggota keluarga juga punya kewajiban untuk mau mengurangi tingkat kenyamanan yang ia peroleh, karena “pengorbanan” Anda, bukan?

Apakah X harus menikah dengan mantan pacar yang tidak dicintai, tentu saja jawabannya TIDAK. Untuk apa kita harus menikah kalau sejak awal kita sudah tahu bahwa kita tidak cinta pada suami kita? Ironis sekali kalau X harus menikah dengan pria yang tak Anda cintai, hanya untuk tetap bisa dekat dengan ibu dan adik. Lalu, kapan adik akan belajar dewasa dan mengurus ibu?

Tentunya, X harus mantap dan berkeyakinan tinggi dulu tentang keputusan yang kelak X akan ambil. Keputusan yang dibuat dengan perasaan ragu biasanya berbuah pada tindakan menyalahkan diri kalau terjadi hal-hal yang penyebabnya bukan diri kita. Anda perlu meyakini bahwa keputusan yang Anda ambil adalah yang terbaik. Dan setelah itu, jalani dengan niat lurus, tanpa mengurangi kasih sayang dan perhatian pada ibu dan adik. Bedanya, kalau dulu Anda lakukan ini dari jarak dekat, setelah menikah, dari jarak jauh. Mudah-mudahan Anda bertiga lebih yakin melangkah ke perkawinan kini. Jangan lupa mengundang saya, ya? Salam sayang!



Rieny

Sumber : Nova

Rasa Cemburu yang Mengganggu

Permasalahan:

Saya berusia 30 tahun, istri saya 30 tahun. Kami menikah tiga tahun lalu, kini dikaruniai satu anak. Saya selalu penasaran perihal masa lalunya dengan para mantan pacarnya. Awalnya dari sisi psikologis saja tetapi akhirnya saya ingin tahu juga apa yang mereka lakukan.

Kejadiannya bermula ketika saya melihat foto-fotonya sewaktu kuliah bersama orang-orang yang menjadi pacarnya dan halaman persembahan skripsinya yang membikin saya cemburu dan tidak enak hati.

Dia dua kali pacaran. Dengan si A, dia sangat mencintainya dan pacaran berlangsung selama 1.5 tahun. Keduanya putus gara-gara orang tua si A melarang anaknya pacaran (kuliah dulu baru pacaran). Tak lama kemudian ketemu si B saat KKN. Saya adalah pendatang baru dan kenal dengan istri saat dia masih pacaran dengan si B.

Saya kenal dengan istri saat kami menjadi karyawan baru di perusahaan dan departemen yang sama. Istri saya masih pacaran dengan si B dan saya menjadi tempat curhat kalau dia sedang bermasalah dengan si B. Dia lalu merasa lebih cocok dengan saya dan memutus B kalau saya mau jadi pacarnya. Si B dinilai tingkat IQ-nya rendah.

Semua informasi itu telah saya dengar saat pacaran dan saya memakluminya, tidak mempermasalahkan. Tetapi setelah melihat foto-foto yang begitu mesra (yang tidak pernah kulihat selama ini), dan surat persembahan skripsi dari si B yang mengandung makna yang sangat dalam, saya sangat penasaran untuk mengatahui apa saja yang pernah mereka lakukan pada saat pacaran. Saya ingin tahu detil-deteilnya dan semakin detil semakin saya sangat sakit.
Saya sadar hal itu sebenarnya nggak boleh dilakukan, tetapi saya nggak bisa mengelak rasa ingin tahu saya. Ini sangat menguras energi, dan istri merasa sangat dipojokkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memang menyudutkan dia.

Bagaimana cara menghilangkan rasa ingin tahu saya tentang masa lalunya. Istri selalu menjawab dengan jujur dan justru membuat saya sangat sakit (misalnya dia pernah dipeluk dan dicium si A di tempat parkir dsb…dsb..). Bagaimana saya bisa menganggap bahwa hal itu adalah sesuatu yang biasa pada saat pacaran, sehingga saya bisa menerima dengan jiwa besar.

***************



Jawaban:
Sepertinya sikap Anda berkaitan dengan perasaan bersalah yang Anda tidak sadari. Saya simpulkan dari kalimat Anda yang mengatakan, "..saat itu istri masih pacaran dengan si B…..dan akan memutuskan B kalau saya mau jadi pacaranya…." Perasaan negatif seperti cemburu, was-was, ragu-ragu, dan sebagainya memang akan menguras energi Anda karena hanya cinta bebas syarat (unconditional love) yang dapat menambahkan energi.

Foto-foto yang Anda lihat dan persembahan dalam skripsi sebenarnya fakta-fakta yang bersifat "netral" tetapi karena kekhawatiran Anda sendiri terhadap kemampuan Anda untuk tetap mempertahankan cinta istri, itulah yang membuat Anda mempunyai persepsi bahwa istri lebih mesra dan nikmat dengan pacar-pacar yang terdahulu. Mungkin juga dalam hubungan suami istri, Anda menangkap , tetapi tidak pernah menanyakan secara langsung, bahwa istri Anda kurang menikmatinya. Hal ini dapat mempengaruhi rasa PD (percaya diri) laki-laki, sehingga curiga bahwa istri pernah lebih enjoy di masa lalu.

Saya anjurkan, Anda tidak lagi mendedes atau mengincar karena dapat BENAR - BENAR MENGGANGGU KENIKMATAN istri (frustrasi) dan dapat menjauhkan istri dari Anda (meski fisik dekat tetapi secara batin tertekan. (Istri sudah usaha apa adanya…koq masih kurang dipercaya). Apalagi yang Anda permasalahkan adalah masa lalu, Anda tidak meng-inden istri dari lahir…tidak adil mempertanyakan sesuatu yang terjadi sebelum kenal dengan Anda.

Caranya, dengan menyadari bahwa bila kita melihat kesalahan pada orang lain (istri) , sebenarnya semua itu adalah cerminan dari kekurangan yang tidak disadari, dirasakan ada pada diri kita, jadi jangan-jangan Anda yang kurang puas karena membanding-bandingkan dengan pengalaman pribadi di masa lalu. Silahkan simak dan utarakan secara terbuka keraguan Anda, tentu dengan sikap santun. Jalinlah kedekatan berdasarkan sikap saling percaya, sayang 'kan, anak baru satu koq sudah amblas rumah tangganya!


Pamugari Widyastuti

Sumber : Kompas Cybers Media

Menjaga Hati

Permasalah :

Dulu sebelum memutuskan untuk berhijab, mayoritas teman-teman saya adalah laki-laki. Dan rupanya kebiasaan itu masih sulit untuk sepenuhnya saya tinggalkan. Meski tidak sedekat dulu, tetap saja dibanding teman-teman akhwat saya yang lain, teman-teman saya yang laki-laki termasuk paling banyak.

Mereka memang tidak pernah macam-macam, dan cukup menghargai jilbab saya. Malah saya justru seringkali mereka jadikan tempat curhat, tempat bertanya berbagai macam masalah. Tetapi bagaimanapun antara laki-laki dan perempuan, meskipun saya berusaha untuk tidak memberi harapan apa-apa, tetap saja ada di antara mereka yang akhirnya mengatakan kalau mereka suka pada saya.

Alhamdulillah saya sudah berprinsip tidak akan berpacaran sebelum menikah dan Insya Allah prinsip itu masih saya pegang hingga saat ini. Namun saya takut jika godaan itu terus datang, ketika saya sedang futur di saat itu setan akan mampu mengalahkan saya. Saya bingung harus bagaimana. Di satu sisi saya tidak ingin memutus pertemanan dengan mereka, namun di sisi lain saya khawatir jika pertemanan itu justru merobohkan iman saya. Mohon diberikan solusi.

***************



Jawaban :

Ananda Tri, berinteraksi dengan berlainan jenis apalagi dengan frekuensi yang sering lambat laun biasanya akan ada hal-hal yang mengikutinya. Seperti rasa suka bahkan perubahan fisk dan penampilan.

Oleh karena itu Islam membatasi interaksi lawan jenis karena seperti yang Anda katakan bahwa nantinya hawa nafsulah yang bermain. Mungkin Anda masih dapat bertahan tetapi teman Anda? Dan seberapa lama Anda dapat bertahan?

Mulailah Anda merubah lingkungan. Sibukkan diri Anda dalam lingkungan yang banyak muslimahnya. Dengan demikian di samping terhindar dari pontensi kemaksiatan, hal ini pula Anda menambah semangat Anda dalam beramal sholeh.

Berproseslah untuk membatasi pergaulan dengan laki-laki. Dan Anda juga dapat mengungkapkan permasalahan ini dengan tema laki-laki Anda dan mereka pasti dapat memahaminya.

Menikahlah. Dengan menikah Anda telah memberikan batasan kepada teman-teman Anda dan dapat pula melindungi Anda dari robohnya iman Anda dan tetap memperkokoh pertemanan Anda.

Semoga bermanfaat


Satria Hadi Lubis

Sumber : EraMuslim

Restu Terganjal Adat

Permasalah :

Saya seorang Pemuda 24 tahun, saya ini saya diberikan amanah Allah untuk bekerja disalah satu departemen di negeri ini. Dalam usia saya sekarang saya merasa bahwa keinginan untuk menggenapkan dien (menikah) adalah hal yang wajar.

Hanya saja keinginan tersebut belum bisa direalisasikan karena belum mendapatkan restu dari orang tua. Alasan belum diberikannya restu tersebut adalah karena saya adalah anak no. 2 sedangkan saudara tertua saya yang pertama belum menikah. Orang tua berpegang teguh pada adat bahwa urutan pernikahan adalah yang tertua dulu baru kemudian adiknya.

Saya merasa alasan tersebut kurang tepat karena keinginan orang tentang pernikahan tentunya berbeda dan tidak bisa disamakan, ada yang menginginkan cepat dan ada tidak.
Terus terang saya belum menemukan jalan keluar yang terbaik untuk masalah ini, mohon bantuan ustadz untuk bisa memberikan pencerahan.


***************



Jawaban:

Ananda Yd, rasa gundah yang Anda alami ini sangat saya pahami dan banyak kisah yang kurang lebih sama dengan yang Anda rasakan juga dialami oleh orang lain. Dan orang tua tetaplah orang tua yang harus kita hormati sebagai orang yang telah banyak berjasa hingga kita seperti sekarang ini.

Tentulah setiap orang tua menginginkan anaknya hidup bahagia. Sebagai wujud peran orang tua yang bertanggung jawab membesarkan anaknya, dan tentulah ingin melepasnya pun tentunya dengan rasa tanggung jawab pula.

Setiap orang tua pada umumnya juga dapat menerima masukan-masukan dari anak-anaknya — walaupun terkadang tidak ditunjukkan secara langsung — dengan syarat (yang kadang terlupakan), Berbahasa santun, sabar, serta tidak menggurui. Tiga hal tersebut harus selalu ada ketika Anda berkomunikasi dengan orang tua. Misalkan, berilah pemahaman kepada orang tua bahwa Anda telah siap baik mental maupun ekonomi untuk menikah. Tunjukkan dalam dalam keseharian Anda bahwa Anda telah dewasa baik dalam bersikap, berperilaku dan sebagainya. Serta lakukan bahasa sindiran atau guyonan ketika ada kesempatan. Misalkan ketika keluarga sedang bercengkerama dengan mengatakan "kenapa kalo nikah harus berurutan sedangkan kalo meninggal tidak ya"? Dan sebagainya.

Dari Usia Anda juga Ananda Yd, belumlah terlalu tua untuk sekedar bersabar 1-2 tahun kemudian untuk menikah. Mungkin pula orang tua Anda belum melihat sifat kedewasaan Anda untuk dapat mandiri membangun rumah tangga. Atau orang tua masih sayang dan membutuhkan Anda serta belum rela bila harus hidup berjauhan.
Intinya adalah, Komunikasi yang baik dengan orang tua dengan memenuhi tiga syarat di atas. Upayakan agar pernikahan yang nantinya Anda lakukan benar-benar mendapat restu dari orang tua sehingga Allah pun ridha dengan Anda.



Satria Hadi Lubis

Sumber : EraMuslim

Belajar Menerima Kenyataan Pahit

Permasalahan:

Saya seorang Ibu muda yang baru saja melahirkan anak pertama, perempuan, melalui proses melahirkan yang sulit dan melelahkan. Sulit rasanya percaya pada kata-kata dokter yang membantu proses kelahiran anakku. Dia lahir normal dan sehat secara fisik, namun ada masalah dengan perkembangan mentalnya. Ya, anakku menderita keterbelakangan mental alias cacat mental. Hati ini menjerit, tak ingin mendengar apapun lagi. Rasanya tak mungkin hal ini terjadi pada diri saya. Mengapa harus saya? Semuanya seolah mimpi buruk, namun tak terelakkan. Saya harus menerima kenyataan pahit ini. Anak yang kukandung dan kulahirkan dengan susah payah, ternyata lahir cacat. Rasa sedih bercampur takut dan bingung memikirkan apa yang harus saya lakukan terhadapnya. Bagaimana saya harus menghadapi hal ini mbak?

Dengan kondisi anakku ini, saya harus berhenti bekerja. Saya yang semula seorang wanita karir dengan masa depan cerah, mendadak harus melepaskan ambisi itu. Berat sekali rasanya mbak. Terus terang, saya takut menghadapi hari-hari esok dengan beban seberat ini, harus tinggal di rumah sepanjang hari dan terikat mengurus anak yang cacat. Bukannya saya tak sayang anak, bagaimanapun ia darah daging kami sendiri. Saya cuma takut tak bisa melaksanakan tugas-tugas saya sebagai seorang ibu dengan baik. Tolong saya mbak, beri saran tentang apa yang harus saya lakukan. Bagaimana saya harus menghadapi hari esok?

***************



Jawaban :

Memang berat menghadapi kenyataan yang sangat bertentangan dengan harapan semula. Saya membayangkan Anda menikah, lalu mengandung dan menjalani masa-masa kehamilan dengan penuh kebahagiaan, menantikan kehadiran buah cinta dengan berbagai harapan dan rencana-rencana indah yang Anda persiapkan berdua dengan suami. Namun apa mau dikata, buah hati yang dinanti-nanti ternyata lahir dengan kondisi tak sesuai harapan, bahkan tak terbayangkan sama sekali sebelumnya. Reaksi Anda ketika pertama kali mendengar keterangan dokter merupakan reaksi yang wajar dan umum diperlihatkan oleh orang-orang yang mengalami kejadian serupa. Setelah sebelumnya baru saja melewati proses melahirkan yang sulit, melelahkan, menguras tenaga fisik maupun mental, lalu kemudian mendapati kenyataan bahwa ada yang tak beres dengan bayi yang sangat Anda nanti-nantikan. Siapapun yang mengalaminya, wajar jika menampilkan reaksi seperti Anda: berusaha menolak kenyataan, tidak mau mempercayai kata-kata dokter, ingin lari dari kenyataan pahit itu, serta kehilangan kendali terhadap emosi-emosi marah, sedih, kecewa, putus asa, dsb.

Namun, bagaimanapun itulah kenyataan yang harus Anda terima. Kenyataan yang mengubah hidup Anda dan mau tak mau Anda harus menyesuaikan diri dengannya. Rasanya berat ya? Memang, seringkali suatu peristiwa atau situasi yang menimpa terasa sangat berat dan seolah menenggelamkan diri kita ketika peristiwa itu baru saja terjadi. Dunia seolah kiamat, diri serasa demikian tak berdayanya dan entah sampai kapan bahkan tak mungkin rasanya bisa bangkit kembali. Tentunya, Anda mebutuhkan waktu untuk bisa menerima kenyataan. Untuk sejenak, boleh saja jika Anda ingin menyendiri. Hayati saja dan biarkan semua emosi negatif mengalir ke luar dari diri Anda. Setelah itu, cobalah berpikir dan tanyakan kepada diri sendiri, ”bagaimana saya akan merasakan situasi ini seminggu dari sekarang? Setahun? Sepuluh tahun lagi?”

Jawabannya seringkali akan menempatkan situasi yang Anda alami ke dalam perspektif yang berbeda. Anda akan menyadari bahwa kehadiran putri Anda yang terlahir tak sempurna, bukanlah akhir dunia. Ini yang dinamakan menempatkan suatu peristiwa ke dalam perspektif, sehingga peristiwa tersebut terasa lebih ringan dan dapat kita sikapi dengan tepat, obyektif, tidak terlalu emosional lagi.

Kedengarannya sulit bahkan mustahil? Kadang kita memang harus memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang terasa berat dan mustahil. Bagaimanapun Anda harus mencobanya. Anda harus bangkit, mengalahkan dan mengatasi rasa kecewa, sedih, marah, takut serta kebingungan Anda, sebab sebuah tanggung jawab besar yang dipercayakan Tuhan kepada Anda telah menanti. Putri kecil Anda yang tak berdaya saat ini sangat membutuhkan Anda, Ibunya.

Yang harus segera Anda lakukan adalah belajar menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan saat ini. Anda harus mulai membiasakan diri dan hidup dengan kenyataan bahwa putri Anda lahir dengan kelainan bawaan. Ini adalah kenyataan yang tak bisa dihindari atau diubah dan merupakan bagian dari hal-hal yang tak bisa kita kontrol sepenuhnya. Terhadap hal-hal demikian, mau tak mau Anda harus mengubah kebiasaan-kebiasaan, sikap-sikap, ambisi, harapan, serta keinginan-keinginan Anda agar lebih sesuai dengan keadaan dan mempermudah Anda menjalani hidup selanjutnya. Atasi rasa kecewa dan kesedihan Anda. Jangan biarkan perasaan-perasaan negatif itu menguasai hidup Anda. Terima kenyataan, namun teruslah hidup secara produktif.


Beberapa saran yang bisa Anda coba lakukan:
Putri Anda membutuhkan Anda, Ibunya, lebih daripada bayi-bayi lain yang lahir dengan kondisi lebih beruntung. Jadi, persiapkan diri Anda menjadi Ibu yang mampu memenuhi kebutuhannya.

Cari dukungan dan bantuan serta informasi tentang cara membesarkan anak dengan kebutuhan khusus, misalnya dengan bergabung di perkumpulan orang tua yang senasib seperti Anda, atau dengan mencari informasi di internet tentang pola asuh, fasilitas dan sekolah khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Jangan terpaku pada kekurangannya, namun fokuslah pada apa yang masih dapat Anda lakukan untuk memaksimalkan potensi anak Anda untuk tumbuh dan berkembang.

Jangan menghadapi hal ini seorang diri atau berdua saja dengan suami. Dukungan sosial dari orang-orang terdekat amat Anda butuhkan. Perkuatlah hubungan Anda dan suami agar senantiasa kompak dalam menghadapi segala sesuatu dan bersama-sama membesarkan sang buah hati, serta binalah hubungan interpersonal yang dekat dengan keluarga dan sanak saudara. Mereka semua adalah sumber bantuan, penghibur, pemberi semangat dan tempat berbagi yang akan menjadikan Anda merasa tidak sendirian, sehingga lebih kuat dalam menjalani hidup ini.

Berkarir atau melepaskannya dan menjadi Ibu rumah tangga adalah sebuah pilihan. Dasarkan keputusan Anda pada kesadaran tentang prioritas terpenting dalam hidup Anda saat ini: apakah membesarkan putri yang sangat Anda cintai dan membutuhkan Anda, atau terus mengaktualisasikan diri di dalam pekerjaan Anda sebagai profesional. Semuanya terpulang kepada diri Anda sendiri, sebab segala sesuatu yang dipaksakan tak akan mendatangkan keikhlasan dan kebahagiaan. Pilihan menjadi Ibu seutuhnya bagi putri Anda, bisa jadi akan menjadi sebuah keputusan penting yang akan mengubah hidup putri Anda selanjutnya.

Coba berdamai dengan diri sendiri dan pasrah untuk menerima kenyataan yang tak dapat Anda tolak bahwa putri Anda mengalami keterbelakangan mental, dan persiapkan diri Anda secara fisik, emosional maupun mental untuk menerimanya, sebab kunci penyesuaian diri yang efektif mencakup penerimaan diri terhadap hal-hal yang tak dapat diubah, sambil secara aktif berusaha mengubah hal-hal yang masih dapat diubah. Jika hidup terasa berat, katakan ini pada diri sendiri:
”Tuhan memberiku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tak dapat kuubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah, dan kebijaksanaan untuk mengerti perbedaan di antara keduanya” (God grant me the serenity to accept the things I cannot change, the courage to change the things I can, anda the wisdom to know the difference).


Maya Harry,Psi

Sumber : Tabloid Wanita Indonesia

Halusinasi Pada Anak

Permasalahan:

Saya mempunyai anak berusia 4 tahun. Saya khawatir dengan tingkah lakunya yang suka berbicara sendiri dan ketika saya tanya dia selalu bilang berbicara dengan temannya. Ketika bermain pun dia selalu menyebutkan barang-barang yang tidak ada di depannya dan selalu asyik sendiri dengan permainannya. Saya takut dia punya kelainan karena punya halusinasi seperti itu.

***************



Jawaban:

Bermain khayal dan berbicara sendiri (seperti halusinasi pada orang dewasa) normal terjadi pada anak berumur 3-8 tahun. Pada umur demikian anak sudah dapat menggunakan berbagai benda sebagai simbol benda lain, akan tetapi mereka belum bisa membedakan antara khayalan dan realitas.

Jadi ibu tidak perlu bingung ataupun khawatir pada anak ibu yang berusia empat tahun, jika dia senang bermain khayal, berbicara sendiri ataupun berpura-pura melakukan sesuatu yang tidak ada di depannya seperti minum tetapi tidak ada gelas yang dipegangnya. Karena dengan melakukan kegiatan bermain seperti ini, mereka melakukan latihan berpikir serta dapat mengarahkan anak untuk menyesuaikan diri pada lingkungannya, serta belajar peran-peran tertentu.

Pada anak perempuan, mereka suka pura-pura bermain masak-masakan, ibu-ibuan, atau pada anak laki-laki pura-pura menjadi polisi atau dokter dan lain-lain. Pada kegiatan bermain ini membantu anak mencoba peran sosial yang diamatinya, memantapkan peran sesuai jenis kelaminnya, melepaskan ketakutan atau kegembiraannya, yang diwujudkan dalam khayalannya.

Khayalan anak seringkali menggambarkan keinginan, perasaan, dan pandangan anak mengenai dunia sekelilingnya. Mereka juga terkadang mengubah identitasnya, namanya, cara bicaranya dan berpakaiannya maupun melakukan tindakan yang sama sekali berbeda dengan perilaku sehari-harinya.

Khayalan anak juga mencerminkan keaslian atau kemampuan menciptakan sesuatu yang baru, karena dengan khayalannya dalam bermain, anak mengemukakan gagasan asli hasil ciptaannya sendiri. Jadi yang terjadi pada anak ibu adalah suatu kewajaran, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, akan tetapi bila berlanjut terus sampai umur 12 tahun, maka anak ibu perlu dibawa ke psikolog atau psikiater.


Yul Iskandar Psikiater

Sumber : Bisnis.Com

Bingung Memilih Jurusan Pendidikan

Permasalahan:

Saya baru saja lulus SMU tahun ini. Saya sedang bingung memilih jurusan yang akan saya masuki di jenjang perguruan tinggi. Saya dari jurusan IPA di sebuah sekolah swasta unggulan terbaik di Jakarta. Sejak SD sampai SMP, peringkat saya selalu satu. Di SMU, karena saingannya ketat, prestasi saya sedikit menurun. Tetapi di kelas I dan II saya masih masuk enam besar. Hanya saja, ketika masuk ke jurusan IPA, nilai saya turun, Bu. Di cawu I dan II, nilai matematika saya 5, tetapi saya berhasil memperbaikinya menjadi 7 di cawu III.

Sebenarnya saya mempunyai minat di beberapa bidang. Sebut saja arsitektur (saya pandai menggambar) dan komunikasi. Saya ingin menjadi seorang arsitek seperti Papa saya. Tetapi melihat nilai matematika dan fisika saya yang pas-pasan, saya menjadi kurang pede, Bu. Di lain pihak, Papa saya ingin saya melanjutkan studi ke Singapura mengingat mutu yang bagus dan jarak yang cukup dekat. Beberapa waktu lalu, saya mendaftar di salah satu Universitas bergengsi di Singapura untuk jurusan arsitektur. Setelah hasil NEM diterima, ternyata nilai saya kurang sedikit untuk memenuhi persyaratan di Universitas itu, yang membuat nilai saya kurang lagi-lagi matematika dan fisika. Sedang mata pelajaran lain di atas 8, bahkan 9.

Tadinya Papa sangat menginginkan saya studi arsitektur, tetapi melihat NEM saya, beliau berubah pikiran dan mengatakan terserah saya. Saat ini saya mulai berpikir untuk studi komunikasi. Kata orang, saya ini pandai berdiplomasi, berbicara dan melobi. Bahkan saya sering menjadi juara debat baik bahasa indonesia maupun bahasa inggris.

Bu, saya bersyukur dan puji Tuhan bahwa saya mempunyai bakat dan Papa saya mempunyai dana untuk membiayai saya studi ke luar negeri. Tetapi ada beberapa hal yang masih mengganjal dan membuat saya bingung. Pertanyaan saya, apa saya harus mengambil studi arsitektur dan belajar lebih keras lagi. Kalau saya tidak diterima tahun ini, apa saya perlu mengulang SMU kelas tiga di Singapura, seperti saran Papa saya?
Dapatkah Ibu jelaskan tentang studi komunikasi, cakupannya dan prospeknya? Jurusan hubungan internasional itu seperti apa, Bu?
Di mana saya bisa melakukan tes bakat? Jawaban Ibu akan sangat membantu saya.

***************



Jawaban:

Hi there someone!
Hi there someone! Sepertinya Anda bingung ya, menetapkan masa depan, apakah berdasarkan saran orang lain (orangtua yang menyarankan memilih Jurusan arsitektur) atau mengikuti bakat yang Anda sudah ketahui yaitu dalam bidang berdiplomasi, berbicara dan melobi (Jurusan Komunikasi).

Pada dasarnya, seseorang akan merasakan keberhasilan hidup apabila ia bahagia dan menyenangi apa yang dikerjakan. Dengan perkataan lain, motivasi sangat penting untuk tercapainya keberhasilan dalam hidup. Anda sudah mencoba untuk mengetahui kemampuan dalam ilmu pasti dengan mengikuti tes di Singapura dan ternyata memang masih belum memenuhi kriteria. Saya kira kriteria di Singapura cukup memenuhi standar sehingga di manapun akan mengalami hasil penilaian yang sama.

Sekarang tanyalah pada diri Anda, apakah Anda ingin menjadi seorang arsitektur karena memang benar-benar senang menggambar dan melihat buku-buku mengenai bangunan rumah dan sebagainya? Ataukah minat Anda jika masuk ke toko buku adalah terhadap buku-buku kepemimpinan dialog antar kelompok, hubungan dengan negara lain dan sebagainya?

Jika Anda menjawab ya untuk pertanyaan yang terakhir, berarti minat/motivasi Anda adalah lebih pada bidang komunikasi atau hubungan intenasional (untuk mengetahui lebih lanjut tentang kedua bidang ini carilah di website). Yang akan menjalankan kehidupan Anda dimasa yang akan datang adalah Anda. Jadi sebaiknya mengikuti selera dan minat Anda dan bukan pilihan orang lain. Bila saudara-saudara sekandung belum ada yang meneruskan bakat ayah, mungkin di generasi cucu (ingat hukum Mendel) akan lahir arsitektur yang lebih hebat lagi. Semoga sukses di masa depan!

Pamugari Widyastuti, Staf Bagian Klinis & Konseling, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Sumber : Kompas Cybers Media

Orang Tua Bermasalah, Anak Ikut Bermasalah

Permasalahan:

Saya punya anak laki-laki baru berusia genap 2 tahun. Semula dia anak yang lucu, periang dan menggemaskan, menyenangkan untuk diajak bercanda. Dia mudah akrab dengan siapa saja, mau digendong oleh semua anggota keluarga besar. Biasanya kan anak kecil suka nggak mau digendong selain oleh papa-mamanya dan akan menangis jika digoda. Anak kami tidak. Dia senang bergaul dan tidak takut sama orang-orang, bahkan orang asing sekalipun bisa langsung dekat dengannya. Waktu makan juga menjadi saat-saat yang menyenangkan dan bebas stres, karena makannya gampang sekali, apa saja masuk mulut tanpa perlu dibujuk. Begitu juga waktu tidurnya sudah terbiasa teratur sejak bayi, sehingga boleh dibilang saya cukup mudah merawat dan mengasuhnya.

Namun beberapa bulan terakhir ini dia berubah menjadi anak bermasalah, jadi cengeng dan sulit. Hal-hal apa saja bisa bikin dia menangis dan berteriak atau meronta-ronta. Makannya susah minta ampun, meski sudah diakali dengan berbagai macam menu makanan bayi. Kalau dipakaikan baju sehabis mandi pasti menangis, tidur juga gelisah dan sering terbangun dan menangis lama, tak jarang harus digendong dulu sebelum akhirnya bisa tidur lagi. Sekarang badannya jadi kurus dan susah diajak bercanda karena sedikit-sedikit nangis.

Selama ini, saya dan suami merasa sudah memberikan perhatian dan kasih sayang kami sepenuhnya untuknya. Kami berusaha memberikan yang terbaik, mulai dari pakaian, makanan, mainan. Sebagai orang tua, kami berusaha membahagiakannya dan mengutamakannya. Tetapi, ada kalanya sebagai orang dewasa saya berselisih pendapat dengan suami, yang berujung dengan perdebatan hingga cekcok mulut. Masalahnya, suami sering mengajak saya bertengkar di depan anak kami tersebut. Masalahnya seringkali sepele, namun suami suka marah-marah dan membentak-bentak saya di depan anak kami itu. Saya sering mengingatkan suami agar jangan marah-marah di depannya, tapi suami bilang dia masih kecil, baru dua tahun, nggak bakalan ngerti. Jadi dia terus saja membentak dan berkata kasar kepada saya, meski anak kami sering kaget dan menangis mendengar suara ayahnya yang keras itu. Sebetulnya, apa efeknya orang tua bertengkar di depan anak? Apakah anak yang masih kecil sudah bisa mengerti dan bisa stres atau jadi bermasalah bila sering melihat orang tuanya bertengkar meskipun belum mengerti penyebabnya? Mudah-mudahan dengan jawaban mbak Maya saya bisa menyadarkan suami saya agar dia tidak marah-marah di depan anak lagi.

***************



Jawaban:

Tentu saja ada pengaruhnya bila orang tua sering bertengkar di depan anak, meski ia masih kecil, baru berusia 2 tahun, bahkan bagi bayi yang baru lahir atau pun janin yang masih di dalam kandungan sekalipun. Mereka sangat peka. Kondisi emosional Ibu akan langsung berpengaruh terhadap janin, sehingga jika Ibu stres, sedih, marah atau ketakutan, maka janin juga akan ikut stres. Jika berlangsung terus-menerus atau sering, maka dampaknya akan lebih nyata pada sifat dan kondisi emosional bayi ketika ia lahir dan bertambah besar. Bayi atau anak-anak yang sering mendengar atau menyaksikan orang tuanya bertengkar akan tumbuh menjadi anak yang tidak bahagia dan kekurangan rasa aman di dalam dirinya. Kondisi kejiwaan atau emosionalnya seringkali labil dan mereka cenderung terhambat dalam mengembangkan kepercayaan dirinya atau mengekpresikan emosinya secara spontan. Bisa jadi, anak menjadi pemurung, kurang ceria, enggan mengeksplorasi lingkungannya serta kurang menunjukkan rasa ingin tahu yang besar.

Jadi, jangan buru-buru mengatakan bahwa anak Anda bermasalah karena berubah dari yang semula merupakan anak yang bahagia menjadi anak yang sulit dan cengeng. Telusuri dulu apa penyebabnya, yang jika Anda dan suami mau bersikap terbuka dalam melakukan introspeksi diri, seringkali bersumber dari masalah pada orang tua.

Meski terlahir dengan membawa sifat atau karakter kepribadian dasar, namun pembentukan kepribadian seorang anak selanjutnya akan sangat dipengaruhi oleh sikap orang tua dalam mengasuh (pola asuh) serta pengalaman hidupnya sehari-hari. Sifat dan kebiasaan Ayah maupun Ibu, tentu akan turut membentuk diri anak. Bagaimana ia bersikap dan bereaksi, merupakan hasil perpaduan dari dua kepribadian, sikap, karakter dan pola asuh Ayah dan Ibunya. Tanpa sadar, anak seringkali belajar dan meniru sikap-sikap dan kebiasaan orang tuanya, termasuk berteriak-teriak jika marah atau jika keinginannya tak terpenuhi. Jadi, ketika Anda kebingungan mempertanyakan: “kenapa sih anakku kok begitu?” maka yang pertama kali harus dilakukan adalah bercermin pada diri sendiri dan melakukan introspeksi bagaimana sikap dan perlakukan Anda dan suami sebagai sepasang suami-istri dan sebagai orang tua terhadap anak-anak Anda.

Menyikapi problem emosional (cengeng, gelisah, murung dsb.) yang tengah terjadi pada buah hati Anda, jangan lantas menyimpulkan bahwa ia “bermasalah” dan perlu penanganan profesional atau terapi khusus.

* Sudah jelas, anak memiliki kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Jika hal itu terpenuhi, ia akan tumbuh dan berkembang lebih positif, dimana ia akan merasa aman, diterima dan menjadi tidak mudah cemas. Namun, bentuk perhatian dan kasih sayang orang tua tak cukup hanya ditunjukkan melalui limpahan hadiah, mainan, pakaian bagus dan makanan bergizi. Jangan salah dengan pendapat bahwa bayi atau anak kecil tidak mengerti apa-apa. Justru pada masa bayi dan balita (bawah tiga tahun) anak paling peka terhadap perubahan-perubahan kondisi emosional orang tuanya.

* Ajak suami untuk sama-sama memeriksa diri sendiri, menelaah hubungan suami-istri serta hubungan orang tua dan anak. Seringkali tanpa sadar, orang tualah yang mengarahkan anak untuk mengembangkan sifat, karakter, kebiasaan dan perilaku tertentu. Jadi, lakukan evaluasi apa yang sebetulnya tengah terjadi di dalam keluarga, serta bagaimana pola komunikasi dan gaya kebiasaan Anda berdua dalam menyelesaikan konflik atau masalah yang timbul. Jika memang ada masalah dalam pola komunikasi dan hubungan antar orang tua, maka Anda dan suamilah yang harus terlebih dahulu melakukan koreksi dan perbaikan diri.

* Hindari berkata-kata kasar atau bertengkar di depan anak, sekalipun mereka sedang tidur. Pertengkaran orang tua menjadikan anak cemas dan stres, sehingga perilakunya pun akan terpengaruh, misalnya dari yang semula periang dan menyenangkan menjadi murung dan mudah menangis. Sebaiknya, pelajari keterampilan memecahkan masalah dan ‘bertengkar secara sehat’, agar anda dan suami dapat menemukan jawaban dari setiap persoalan atau perbedaan pendapat yang muncul tanpa harus saling menyakiti dengan kata-kata kasar yang sekaligus bisa melukai jiwa si kecil yang turut menjadi penonton/pendengar.

* Mengembangkan kebiasaan dan pola hidup teratur (makan-tidur-mandi-bermain) pada anak memang perlu dilakukan sejak sedini mungkin. Lakukan dengan konsisten, namun juga jangan terlalu kaku. Yang terpenting, pahami benar kebutuhan anak dan hal-hal apa yang tengah ia rasakan. Misalnya, jika semula lahap lalu menjadi sulit makan, barangkali ia mulai bosan dengan menunya sehingga perlu divariasikan. Atau jika semula tidurnya gampang lalu menjadi rewel, gelisah dan sering terbangun, bisa jadi karena siangnya kelewat aktif bermain sehingga tubuhnya kecapaian, malamnya jadi sulit tidur nyenyak), dsb.

Demikian saran saya untuk mbak Atien, semoga bermanfaat ya…!

Maya Harry,Psi

Sumber : Tabloid Wanita Indonesia

Menolong Adik yang Bernasib Malang

Permasalahan:

Saya seorang Ibu rumah tangga (39th) mempunyai seorang adik perempuan yang terpaut setahun di bawah saya ( kini tinggal dengan ayah yang sudah tua) yang ‘lain daripada yang lain’. Adik saya ber IQ rendah , ia dulunya sering kabur-kaburan (karena tak betah di rumah, tak ada kegiatan dan rumah pun dalam kondisi tak layak) dan kerap jadi korban pemerkosaan hingga diperkosa beramai-ramai dan dua kali melahirkan anak, yang satu meninggal dan satu lagi saya serahkan ke panti asuhan (namun anak itu kini entah dimana, kalau masih ada usianya sekitar 12 tahun, lelaki).

Saya pernah mencoba melacak anak itu, namun jawaban pengurus panti asuhan mengecewakan saya , katanya dulu sudah meninggal, katanya lagi sudah ada yang ngambil dan tak tahu berada dimana. Malah saya diberi uang biar diam. Apakah boleh menghilangkan identitas anak begitu saja, sedang Ibu kandungnya (adik saya) masih ada? Dulu pengurus panti tersebut janji, bila ada yang mengadopsi, saya akan diberitahu, tapi nyatanya bohong. Saya tak akan menuntut materi atau anak itu lagi, saya Cuma ingin anak itu tahu keberadaan Ibu kandungnya dan saya pun takut bila kelak anak perempuan saya ‘berjodoh’ dengan sepupunya, itu karena tak tahu. Saya takut nantinya melemahkan keturunan.

Lalu mengenai adik saya, suami saya tak mau peduli. Kami hanya 2 bersaudara, saya tak punya tempat berbagi, memikirkan nasib adik saya, bila ditinggal ayah saya, (sementara Ibu sudah tiada) siapa yang akan mengurusnya? Haruskah ia menjadi gelandangan seperti yang pernah ia lakoni beberapa tahun yang lalu, tidur dijalanan dan makan memungut makanan sisa dari tempat sampah. Hati saya miris dan hancur bu.

Bu, saya dan suami suka menolong orang lain, tapi koq tak bisa menolong ayah dan adik sendiri, hati saya sakit bu. Suami saya mungkin malu punya ipar seperti adik saya. Adik saya dulu bersekolah di SD namun ia selalu tertinggal, namun di SLB ia juara, ia juga rajin dan bertanggungjawab. Ia penyuka anak kecil, hatinya mudah tersentuh asal tidak tersinggung, ia sebetulnya baik. Bu, apakah ada Yayasan Sosial yang bisa menampungnya? Mungkin ia bisa menyumbangkan tenaganya di Panti Tuna Grahita, Panti Jompo atau apa, asal ia bisa makan dan numpang tidur. Dan yang terpenting, ia punya kegiatan, tidak seperti sekarang cuma tidur dan bengong di rumah. ia tak punya kawan bu. Sejak kecil ia bernasib malang, saya sedih bila mengingatnya.

Tolonglah saya bu atau mungkin ada pembaca yang bisa menolong saya? Kalau melihat keadaan ayah dan adik saya serta memikirkan nantinya, saya sering menangis sendirian. Saya merasa tak berdaya.

Sekian surat saya dan atas perhatinya saya ucapkan terima kasih.

***************



Jawaban :

Dear Ibu Sarah, saya ikut merasakan kesedihan Ibu memikirkan nasib ayah dan adik yang hidup sendiri serta keponakan yang saat ini entah dimana. Rupanya Ibu menanggung beban itu sendirian, karena suami tak mau ikut peduli memikirkan nasib mereka. Tak heran jika Ibu merasa tak berdaya, terjepit di antara orang-orang yang disayangi. Sementara di satu pihak ingin merengkuh ayah dan adik yang hidup kesepian tak terurus, di sisi lain harus patuh kepada suami yang enggan terbebani dan terganggu privacy-nya. Namun, saya salut dan hormat kepada Anda yang mau terus memikirkan dan memperjuangkan nasib orang-orang tercinta yang malang itu.

Memikirkan begitu banyak anak yang dibuang atau dititipkan di panti asuhan, tak bisa hidup berkecukupan dan berlimpah kasih sayang sebagaimana layaknya anak-anak lain yang lebih beruntung, tentu hati ini pilu dan tersentuh. Upaya Anda untuk terus mencari dan melacak keberadaan keponakan yang dulu dititipkan di panti asuhan memang membutuhkan kesabaran, pengorbanan, kegigihan dan ketabahan. Sikap panti asuhan yang terkesan menutup-nutupi keberadaan sang anak tentu menyusahkan Anda, padahal salah satu tugas panti asuhan seharusnya berusaha mempersatukan kembali anak dengan orang tua kandung atau keluarganya yang masih ada.

Menilik ceritera Ibu, kemungkinan anak itu sudah diadop-si oleh seseorang/keluarga yang kemudian meminta pihak panti asuhan untuk merahasiakan identitas/keberadaan mereka. Memang, biasanya pasangan/keluarga yang mengadopsi anak dari panti asuhan menginginkan agar masa lalu atau latar belakang keluarga si anak dirahasiakan demi kebaikan anak itu sendiri, agar selanjutnya ia benar-benar dapat memulai hidup baru bersama keluarga baru/ orang tua angkatnya. Mereka umumnya takut suatu saat akan didatangi orang tua kandung atau sanak keluarga dari si anak adopsi yang ingin mengambil kembali anak tersebut. Jika alasannya demikian, Anda harus bisa memahaminya.

Namun, jika Anda masih penasaran tentang nasib kepo-nakan Anda itu, coba lakukan kembali pendekatan kepada pihak panti asuhan. Kemukakan alasan Anda yang sebatas ingin mengetahui dan memastikan bahwa keponakan Anda tersebut dalam kondisi baik, aman, terpelihara dan mendapatkan kasih sayang yang layak, sambil sekaligus untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan (mis: ‘berjodoh’ dengan sepupunya sendiri). Sampaikan komitmen Anda yang tidak berniat untuk mengambilnya secara paksa dari keluarga angkatnya, sebab bagaimana pun ia telah diadopsi. Jika memang saat ini ia menjalani kehidupan yang baik bersama orang tua angkatnya, maka hendaknya Anda mengikhlaskan bahkan mensyukurinya.

Mengenai suami yang menolak memberi ‘tumpangan’ tempat tinggal bagi adik Anda, cari waktu yang tepat dan bicarakan kembali hal itu baik-baik. Tanyakan dan pahami alasan suami, lalu berusahalah untuk mencapai kompromi. Bagaimanapun, Anda harus menghormati keinginan dan alasan suami, namun Anda juga punya hak untuk menyampaikan keingingan serta alasan-alasan Anda. Kompromi dengan suami antara lain bisa diupayakan dengan mengusulkan bahwa adik Anda hanya akan menumpang sementara waktu saja (bukan seterusnya atau selamanya), sementara Anda membantu mencarikan pekerjaan, panti atau yayasan yang dapat menampung sekaligus memberinya pekerjaan agar ia bisa hidup secara mandiri.

Meski adik Anda memiliki keterbatasan dalam hal taraf kecerdasannya, namun ia pun masih memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat membuatnya sanggup bertahan hidup, bukan? Nah, saya yakin dengan kegigihan dan sikap pantang menyerah, Anda akhirnya akan menemukan jalan keluar bagi adik Anda tersebut. Bila perlu, tetapkan batas waktunya dan untuk sementara waktu ke depan, mintalah suami untuk bersabar. Lebih baik lagi jika Anda bisa membujuknya untuk mau membantu usaha Anda. Toh jika berhasil mendapatkan tempat tinggal dan pekerjaan bagi adik Anda, maka Anda dan suami jugalah yang akan terbebas dari ‘beban’ menampung adik.

Demikian saran saya bu, teruslah berdoa, bersabar dan berusaha ya….!


Maya Harry Psi

Sumber : Tabloid Wanita Indonesia

Remaja Ingin Mandiri

Permasalahan:

Susahnya punya anak remaja putri berusia 16 tahun, saya tidak lagi bisa mengerti jalan pikirannya. Dulu hubungan kami sangat dekat. Ia sangat manja dan apa-apa maunya sama saya. Saya memang Ibu yang cukup keras dalam mendidik anak-anak saya. Segala sesuatu di rumah ada aturannya, tidak boleh sembarangan. Sebab, suami bekerja di luar kota, di rumah hanya sebulan sekali sehingga saya yang menjadi kepala rumah tangga sehari-hari dengan 3 anak.
Semula, putri saya ini (seperti juga kakak dan adiknya), sangat penurut dan merupakan ‘anak rumahan’, tidak suka keluar rumah, lebih senang membantu menyelesaikan rumah tangga, menonton TV atau membaca di kamar tidurnya. Tetapi sekarang ini kok ia berubah?

Bermula dari urusan sekolah. Ketika lulus SMP, ia ngotot ingin sekolah di sekolah pilihannya, padahal saya sudah memilihkan sekolah lain yang lebih baik dan disiplin. Alasannya, teman-temannya banyak yang sekolah di situ. Ia juga jadi senang pergi bersama teman-temannya, sering tidak bilang-bilang dan langsung sepulang sekolah sehingga sore atau malam hari ia baru sampai di rumah. Belajarnya juga jadi malas dan nilai rapotnya menurun. Terus terang, saya kurang suka dengan teman-temannya yang sekarang.

Menurut saya, mereka membawa pengaruh yang kurang baik, di antaranya menjadikan putri saya berani melawan dan berbohong (pergi tanpa pamit). Itu sebabnya saya ingin ia bersekolah di tempat yang berbeda dengan teman-temannya itu, agar ia tidak terjerumus ke pergaulan yang salah. Karena khawatir dengan pergaulan putri saya, saya menjadi semakin otoriter dan suka marah-marah, tapi rasanya semua itu tak mempan bahkan membuat putri saya semakin membangkang. Mohon saran bagaimana yang terbaik menurut psikolog, sebelumnya saya ucapkan terima kasih.

***************


Jawaban:

Bu Endang, seringkali orang tua lupa bahwa putri kesayangannya bukan bayi lagi. Ia kini sudah beranjak remaja, tentunya kebutuhannya sudah berbeda dengan bayi atau anak balita. Barangkali Anda merasa nyaman dengan adanya si kecil yang manja dan ‘lengket terus’ sama mamanya, sehingga Anda kaget sendiri ketika sekarang tiba-tiba ia ingin menjauh dan seolah tidak membutuhkan mamanya lagi. Sebenarnya, adalah hal yang wajar dan alamiah bahwa seorang anak remaja berusaha melepaskan diri dari ketergantungannya kepada orangtua. Ia sedang mencari jati dirinya. Bahkan, menjadi mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain merupakan kebutuhan psikologis dan menjadi salah satu tugas perkembangan remaja, dimana ia harus belajar merencanakan, memilih alternatif, mengambil keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya.

Keberhasilan mencapai kemandirian akan menjadikan remaja lebih percaya diri dan merasa kompeten dalam menjalani hidupnya. Dengan sendirinya, ia pun akan termotivasi untuk maju dan memiliki keberanian untuk bersaing, serta memiliki kesadaran dari dalam dirinya sendiri untuk berhasil menyelesaikan sekolah demi masa depannya.

Robert Havighurst (1972), seorang ahli psikologi per-kembangan mengemukakan bahwa kemandirian memiliki 4 aspek, yaitu: Emosi (kemampuan mengontrol emosi dan menjadi tidak tergantung kepada orang tua), ekonomi (kemampuan mengatur dan tidak tergantung kepada orang tua dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi), intelektual (kemampuan mengatasi masalah tanpa bantuan orang tua) dan sosial (kemampuan berinteraksi dengan orang lain secara aktif, tidak tergantung atau bersikap pasif menunggu orang lain memulai). Keempat-empatnya perlu dicapai oleh remaja dalam pengembangan kemandiriannya.

Jika saat ini putri anda sepertinya lebih mementingkan teman-temannya dibanding orang tuanya, itu juga hal yang wajar, bu. Di usia remaja, kelompok teman sebaya memang menjadi lingkungan yang paling penting dan menjadi acuan dalam pencarian identitas dirinya. Melalui sosialisasi dan kegiatan bersama teman sebaya, remaja mengembangkan kemandiriannya.

Dengan mempelajari pola perilaku yang diterima di dalam kelompoknya, remaja mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari teman-temannya sehingga tercipta rasa aman. Itu sebabnya, sedikit demi sedikit remaja biasanya akan melepaskan diri dari ikatan psikis dengan orangtuanya dan menjadi lebih dekat ke teman-temannya.


Saran untuk Orangtua

*Untuk bisa mandiri, anak membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya. Ia membutuhkan proses dimana ia memiliki kesempatan mengalami perubahan-perubahan dari keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi mandiri. Jadi, berikan kepercayaan dan kesempatan kepada putri anda agar ia dapat mengembangkan inisiatif, menggali dan mengaktualisasikan kemampuan atau bakat-bakatnya, belajar mengatasi hambatan dan masalah-masalahnya sendiri, serta mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya.

*Sikap terlalu mengatur, membatasi dan melarang, justru bisa menghambat perkembangan kemandirian remaja serta menjadikannya kecewa dan frustrasi. Jadi, Anda perlu mengubah peran orang tua, yang semula sebagai pelindung, penjaga, penolong, menjadi sebagai teman dan pemberi dorongan. Sudah waktunya Anda mengurangi batasan-batasan dan aturan yang sudah tidak sesuai dengan usia dan kebutuhan putri Anda, seperti: jam tidur, jam belajar, tidak boleh berteman atau pergi dengan si A, harus pakai baju ini, jangan yang itu, dsb. Apalagi jika sampai menelepon teman-temannya untuk menanyakan pergi ke mana dan apa yang dilakukan. Hal ini akan menjadikan putri anda malu dan merasa tidak dipercaya.

*Sebaiknya, beri ia kebebasan memilih sekolah dan jurusan yang diinginkan sesuai minatnya, memilih kegiatan pengisi waktu luang, mengatur pembagian waktu antara waktu belajar dan waktu untuk melakukan hobinya. Berikan juga kesempatan untuk memutuskan sendiri dengan siapa ia ingin berteman, jam berapa harus sudah berada di rumah kembali setelah pergi bersama teman. Biarkan putri Anda bertanggungjawab atas segala tindakannya dan berusaha mengatasi sendiri berbagai masalahnya. Orang tua hanya bertindak sebagai pengamat, yang memberikan bantuan hanya jika diminta atau apabila tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak Anda bisa membahayakan dirinya maupun orang lain.

Tentunya, Anda tetap perlu mengimbangi kebebasan yang diberikan dengan pengawasan yang tepat. Jadi, berikan batasan dan ingatkan tentang norma-norma dan aturan misalnya: jangan pergi berdua saja dengan teman lawan jenis, jangan pulang terlalu malam, harus berpakaian yang sopan, dsb. Namun, tetaplah bersikap terbuka dalam mendengarkan argumentasi putri anda. Ciptakan dan peliharalah terus komunikasi dua arah agar orangtua dapat mengetahui pandangan-pandangan, perasaan dan pemikiran anak, dan sebaliknya anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh orangtuanya. posisikan diri anda sebagai teman agar Anda dan putri Anda bebas berdiskusi tentang batasan-batasan yang bisa disepakati bersama.

Demikian bu Endang, terus tunjukkan kasih sayang dan perhatian Anda dengan cara yang tidak mengekang. Bersiaplah selalu untuk menjadi teman dan penghiburnya dikala ia membutuhkan, namun jangan berharap putri Anda akan selalu datang kepada Anda, sebab ia sudah beranjak remaja dan sedang mencari jati dirinya. Dengan sikap-sikap yang tepat dari orang tua, ia akan dapat mengembangkan kepercayaan dirinya, memiliki pendirian sehingga tidak mudah dipengaruhi atau terbawa arus, lebih mampu berpikir objektif dan berani mengambil keputusan sendiri dan menjadi pribadi yang mandiri.


Maya Harry, SPsi

Sumber : Wanita Indonesia

Bermasalah dalam Persahabatan - Tertawan Teman Lama

Permasalahan:

Mbak, saya suka teman SMP waktu kelas 3. Semua berawal karena dia wakil ketua dan saya ketua. Sering becanda dan jalan bareng, tapi saya tolak, karena sibuk belajar. SMA kami berpisah, sejak itu nggak bisa melupakannya meski sudah 4 tahun berlalu. Pintu hati saya nggak bisa terbuka untuk yang lain. Saya berusaha melupakan, tapi tak bisa. Mohon petunjuk Allah, agar bisa melupakan, tetap nggak bisa! Saya nggak pengen pacaran, ingin langsung nikah saja, kalau sudah ketemu jodoh . Apa yang harus saya lakukan untuk melupakannya?


***************



Jawaban

Wah, Dik Dwi, sepertinya cowokmu itu begitu berkesannya, hingga 4 tahun lamanya. Meskipun sekarang realitasnya kita juga nggak tahu keberadaannya, dia lagi ngapain? Tinggal di mana? Lagi mikirin siapa? Mana kita tahu. Lagi pula setiap orang itu kan akan berkembang dan berubah. Selama 4 tahun juga, pasti ada yang berkurang dan bertambah, bertemu lebih banyak orang dengan berjuta kesan. Kita akan lebih matang, karena ada referensi menilai banyak karakter orang. Suatu saat kita begitu terkesan dengan kelebihan seseorang, lain waktu kesan kita akan berbeda.

Imejmu sangat kental pada dirinya (dominan bagus-bagusnya saja), tidak berkembang dan berdeferensiasi, karena tak ketemu lagi. Padahal, bila adik berinteraksi dan mengikuti perjalanannya, adik jangan kecewa, bila kenyataannya dia memiliki kelemahan di antara kelebihan. Rasa kekaguman berubah biasa-biasa saja. Adik rugi dong, mikirin si dia, yang belum tahu kondisi dan keberadaannya. Apakah dia yang sekarang, lebih bagus dari yang dulu? Boleh jadi lupa dan nggak kepikiran kita. Sedangkan siang malam kita sibuk mikirin dia. Membandingkan dengan yang lain, secara tak sadar, memenangkan Pangeran kita sendiri lewat imajinasi.

Pandanglah secara wajar, jangan kelewat kagum! Di luar sana banyak orang punya kelebihan. Realistis, tetap berikan ruang bagi hati dan pikiran terhadap kelebihan orang lain. Pikiran dan hati lebih bebas, tidak terbelenggu.

Akhirnya, kita bisa konsentrasi pada yang prioritas dan membangun. Jangan biarkan pikiranmu habis memikirkannya terus. Bila kumat mikirin dan melamunkannya, segera alihkan ke yang lain. Buat dirimu sibuk dan produktif, ikut organisasi, berpartisipasi dalam kerohanian, les tambahan, membaca buku, dsb. Luaskan pergaulan sosialmu, kamu akan bertemu banyak orang, dan kamu akan terkagum, banyak orang di dunia ini yang unik. Jaga pergaulanmu sesuai norma agama, baik lawan jenis maupun sejenis. Mudah-mudahan makin banyak teman!

Wassalam, wr.wb
Inna Mutmainah

Rata Penuh
Sumber : Annida Online

Kemana Rasa PDku?

Permasalahan:

Saya laki-laki 28 tahun, bekerja di BUMN. Saat ini saya dituntut orang tua untuk secepatnya menikah karena adik saya akan menikah dalam waktu dekat. Saya nomor delapan dari sembilan bersaudara. Saya tidak pernah mempunyai pacar, walaupun kadang ingin juga merasakan bagaimana sih rasanya punya pacar. Sebenarnya teman-teman wanita saya banyak, saya kuliah lagi dan hampir 70 persen teman kuliah wanita.

Saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya. Sudah mencoba mendekati wanita teman saya, tetapi pasti akan terjadi suatu hal yang sama ketika saya mencoba mendekatinya, saya menjadi tidak tertarik. Bu, ini bukan karena fisiknya tidak cantik, ada yang pramugari (pukul rata, mana ada pramugari yg tidak cantik).

Satu hal lagi, saya sangat tertarik pada wanita ketika berkomunikasi tetapi tidak ketika bertatapan langsung. (Pernah ada teman beremail ria saya, mengajak menikah & saya tolak karena belum pernah ketemu, ketika dia mengajak bertemu saya tidak mau, akhirnya dia menikah dengan orang lain. Sepertinya ini tidak menjadi masalah bagi saya ketika dia berniat menikah dengan orang lain).

****************


Jawaban:

MD yang kurang percaya diri,
Kesan saya Anda seseorang yang memiliki rasa rendah diri yang cukup mengganggu. Anda selalu hidup dalam dilema karena di satu sisi senang wanita yang cantik, (yang tampak biasa tidak disebut-sebut), tapi Anda tidak cukup percaya diri untuk mendampingi wanita yang berparas menarik. Camkan apa sebenarnya dasar dari perasaan rendah diri itu, apakah Anda terlalu menuntut kesempurnaan pada diri Anda, seperti halnya pada wanita- wanita yang menarik hati Anda.

Terimalah diri Anda apa adanya. Manusia diciptakan sempurna dan mulia. Terjunlah ke dalam suatu hubungan tanpa berfikir dan menganalisa terlalu mendalam nikmati apa adanya dan siapa tahu jodoh kalau bukan juga tidak jadi apa-apa namanya juga sedang belajar gaul. Selamat menjalankan.


Pamugari Widyastuti
Staf Bagian Klinis & Konseling, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Sumber : Kompas cybermedia
Blog Widget by LinkWithin