Permasalahan:
Saya punya anak laki-laki baru berusia genap 2 tahun. Semula dia anak yang lucu, periang dan menggemaskan, menyenangkan untuk diajak bercanda. Dia mudah akrab dengan siapa saja, mau digendong oleh semua anggota keluarga besar. Biasanya kan anak kecil suka nggak mau digendong selain oleh papa-mamanya dan akan menangis jika digoda. Anak kami tidak. Dia senang bergaul dan tidak takut sama orang-orang, bahkan orang asing sekalipun bisa langsung dekat dengannya. Waktu makan juga menjadi saat-saat yang menyenangkan dan bebas stres, karena makannya gampang sekali, apa saja masuk mulut tanpa perlu dibujuk. Begitu juga waktu tidurnya sudah terbiasa teratur sejak bayi, sehingga boleh dibilang saya cukup mudah merawat dan mengasuhnya.
Namun beberapa bulan terakhir ini dia berubah menjadi anak bermasalah, jadi cengeng dan sulit. Hal-hal apa saja bisa bikin dia menangis dan berteriak atau meronta-ronta. Makannya susah minta ampun, meski sudah diakali dengan berbagai macam menu makanan bayi. Kalau dipakaikan baju sehabis mandi pasti menangis, tidur juga gelisah dan sering terbangun dan menangis lama, tak jarang harus digendong dulu sebelum akhirnya bisa tidur lagi. Sekarang badannya jadi kurus dan susah diajak bercanda karena sedikit-sedikit nangis.
Selama ini, saya dan suami merasa sudah memberikan perhatian dan kasih sayang kami sepenuhnya untuknya. Kami berusaha memberikan yang terbaik, mulai dari pakaian, makanan, mainan. Sebagai orang tua, kami berusaha membahagiakannya dan mengutamakannya. Tetapi, ada kalanya sebagai orang dewasa saya berselisih pendapat dengan suami, yang berujung dengan perdebatan hingga cekcok mulut. Masalahnya, suami sering mengajak saya bertengkar di depan anak kami tersebut. Masalahnya seringkali sepele, namun suami suka marah-marah dan membentak-bentak saya di depan anak kami itu. Saya sering mengingatkan suami agar jangan marah-marah di depannya, tapi suami bilang dia masih kecil, baru dua tahun, nggak bakalan ngerti. Jadi dia terus saja membentak dan berkata kasar kepada saya, meski anak kami sering kaget dan menangis mendengar suara ayahnya yang keras itu. Sebetulnya, apa efeknya orang tua bertengkar di depan anak? Apakah anak yang masih kecil sudah bisa mengerti dan bisa stres atau jadi bermasalah bila sering melihat orang tuanya bertengkar meskipun belum mengerti penyebabnya? Mudah-mudahan dengan jawaban mbak Maya saya bisa menyadarkan suami saya agar dia tidak marah-marah di depan anak lagi.
***************
Jawaban:
Tentu saja ada pengaruhnya bila orang tua sering bertengkar di depan anak, meski ia masih kecil, baru berusia 2 tahun, bahkan bagi bayi yang baru lahir atau pun janin yang masih di dalam kandungan sekalipun. Mereka sangat peka. Kondisi emosional Ibu akan langsung berpengaruh terhadap janin, sehingga jika Ibu stres, sedih, marah atau ketakutan, maka janin juga akan ikut stres. Jika berlangsung terus-menerus atau sering, maka dampaknya akan lebih nyata pada sifat dan kondisi emosional bayi ketika ia lahir dan bertambah besar. Bayi atau anak-anak yang sering mendengar atau menyaksikan orang tuanya bertengkar akan tumbuh menjadi anak yang tidak bahagia dan kekurangan rasa aman di dalam dirinya. Kondisi kejiwaan atau emosionalnya seringkali labil dan mereka cenderung terhambat dalam mengembangkan kepercayaan dirinya atau mengekpresikan emosinya secara spontan. Bisa jadi, anak menjadi pemurung, kurang ceria, enggan mengeksplorasi lingkungannya serta kurang menunjukkan rasa ingin tahu yang besar.
Jadi, jangan buru-buru mengatakan bahwa anak Anda bermasalah karena berubah dari yang semula merupakan anak yang bahagia menjadi anak yang sulit dan cengeng. Telusuri dulu apa penyebabnya, yang jika Anda dan suami mau bersikap terbuka dalam melakukan introspeksi diri, seringkali bersumber dari masalah pada orang tua.
Meski terlahir dengan membawa sifat atau karakter kepribadian dasar, namun pembentukan kepribadian seorang anak selanjutnya akan sangat dipengaruhi oleh sikap orang tua dalam mengasuh (pola asuh) serta pengalaman hidupnya sehari-hari. Sifat dan kebiasaan Ayah maupun Ibu, tentu akan turut membentuk diri anak. Bagaimana ia bersikap dan bereaksi, merupakan hasil perpaduan dari dua kepribadian, sikap, karakter dan pola asuh Ayah dan Ibunya. Tanpa sadar, anak seringkali belajar dan meniru sikap-sikap dan kebiasaan orang tuanya, termasuk berteriak-teriak jika marah atau jika keinginannya tak terpenuhi. Jadi, ketika Anda kebingungan mempertanyakan: “kenapa sih anakku kok begitu?” maka yang pertama kali harus dilakukan adalah bercermin pada diri sendiri dan melakukan introspeksi bagaimana sikap dan perlakukan Anda dan suami sebagai sepasang suami-istri dan sebagai orang tua terhadap anak-anak Anda.
Menyikapi problem emosional (cengeng, gelisah, murung dsb.) yang tengah terjadi pada buah hati Anda, jangan lantas menyimpulkan bahwa ia “bermasalah” dan perlu penanganan profesional atau terapi khusus.
* Sudah jelas, anak memiliki kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Jika hal itu terpenuhi, ia akan tumbuh dan berkembang lebih positif, dimana ia akan merasa aman, diterima dan menjadi tidak mudah cemas. Namun, bentuk perhatian dan kasih sayang orang tua tak cukup hanya ditunjukkan melalui limpahan hadiah, mainan, pakaian bagus dan makanan bergizi. Jangan salah dengan pendapat bahwa bayi atau anak kecil tidak mengerti apa-apa. Justru pada masa bayi dan balita (bawah tiga tahun) anak paling peka terhadap perubahan-perubahan kondisi emosional orang tuanya.
* Ajak suami untuk sama-sama memeriksa diri sendiri, menelaah hubungan suami-istri serta hubungan orang tua dan anak. Seringkali tanpa sadar, orang tualah yang mengarahkan anak untuk mengembangkan sifat, karakter, kebiasaan dan perilaku tertentu. Jadi, lakukan evaluasi apa yang sebetulnya tengah terjadi di dalam keluarga, serta bagaimana pola komunikasi dan gaya kebiasaan Anda berdua dalam menyelesaikan konflik atau masalah yang timbul. Jika memang ada masalah dalam pola komunikasi dan hubungan antar orang tua, maka Anda dan suamilah yang harus terlebih dahulu melakukan koreksi dan perbaikan diri.
* Hindari berkata-kata kasar atau bertengkar di depan anak, sekalipun mereka sedang tidur. Pertengkaran orang tua menjadikan anak cemas dan stres, sehingga perilakunya pun akan terpengaruh, misalnya dari yang semula periang dan menyenangkan menjadi murung dan mudah menangis. Sebaiknya, pelajari keterampilan memecahkan masalah dan ‘bertengkar secara sehat’, agar anda dan suami dapat menemukan jawaban dari setiap persoalan atau perbedaan pendapat yang muncul tanpa harus saling menyakiti dengan kata-kata kasar yang sekaligus bisa melukai jiwa si kecil yang turut menjadi penonton/pendengar.
* Mengembangkan kebiasaan dan pola hidup teratur (makan-tidur-mandi-bermain) pada anak memang perlu dilakukan sejak sedini mungkin. Lakukan dengan konsisten, namun juga jangan terlalu kaku. Yang terpenting, pahami benar kebutuhan anak dan hal-hal apa yang tengah ia rasakan. Misalnya, jika semula lahap lalu menjadi sulit makan, barangkali ia mulai bosan dengan menunya sehingga perlu divariasikan. Atau jika semula tidurnya gampang lalu menjadi rewel, gelisah dan sering terbangun, bisa jadi karena siangnya kelewat aktif bermain sehingga tubuhnya kecapaian, malamnya jadi sulit tidur nyenyak), dsb.
Demikian saran saya untuk mbak Atien, semoga bermanfaat ya…!
Maya Harry,Psi
Sumber : Tabloid Wanita Indonesia
Saya punya anak laki-laki baru berusia genap 2 tahun. Semula dia anak yang lucu, periang dan menggemaskan, menyenangkan untuk diajak bercanda. Dia mudah akrab dengan siapa saja, mau digendong oleh semua anggota keluarga besar. Biasanya kan anak kecil suka nggak mau digendong selain oleh papa-mamanya dan akan menangis jika digoda. Anak kami tidak. Dia senang bergaul dan tidak takut sama orang-orang, bahkan orang asing sekalipun bisa langsung dekat dengannya. Waktu makan juga menjadi saat-saat yang menyenangkan dan bebas stres, karena makannya gampang sekali, apa saja masuk mulut tanpa perlu dibujuk. Begitu juga waktu tidurnya sudah terbiasa teratur sejak bayi, sehingga boleh dibilang saya cukup mudah merawat dan mengasuhnya.
Namun beberapa bulan terakhir ini dia berubah menjadi anak bermasalah, jadi cengeng dan sulit. Hal-hal apa saja bisa bikin dia menangis dan berteriak atau meronta-ronta. Makannya susah minta ampun, meski sudah diakali dengan berbagai macam menu makanan bayi. Kalau dipakaikan baju sehabis mandi pasti menangis, tidur juga gelisah dan sering terbangun dan menangis lama, tak jarang harus digendong dulu sebelum akhirnya bisa tidur lagi. Sekarang badannya jadi kurus dan susah diajak bercanda karena sedikit-sedikit nangis.
Selama ini, saya dan suami merasa sudah memberikan perhatian dan kasih sayang kami sepenuhnya untuknya. Kami berusaha memberikan yang terbaik, mulai dari pakaian, makanan, mainan. Sebagai orang tua, kami berusaha membahagiakannya dan mengutamakannya. Tetapi, ada kalanya sebagai orang dewasa saya berselisih pendapat dengan suami, yang berujung dengan perdebatan hingga cekcok mulut. Masalahnya, suami sering mengajak saya bertengkar di depan anak kami tersebut. Masalahnya seringkali sepele, namun suami suka marah-marah dan membentak-bentak saya di depan anak kami itu. Saya sering mengingatkan suami agar jangan marah-marah di depannya, tapi suami bilang dia masih kecil, baru dua tahun, nggak bakalan ngerti. Jadi dia terus saja membentak dan berkata kasar kepada saya, meski anak kami sering kaget dan menangis mendengar suara ayahnya yang keras itu. Sebetulnya, apa efeknya orang tua bertengkar di depan anak? Apakah anak yang masih kecil sudah bisa mengerti dan bisa stres atau jadi bermasalah bila sering melihat orang tuanya bertengkar meskipun belum mengerti penyebabnya? Mudah-mudahan dengan jawaban mbak Maya saya bisa menyadarkan suami saya agar dia tidak marah-marah di depan anak lagi.
***************
Jawaban:
Tentu saja ada pengaruhnya bila orang tua sering bertengkar di depan anak, meski ia masih kecil, baru berusia 2 tahun, bahkan bagi bayi yang baru lahir atau pun janin yang masih di dalam kandungan sekalipun. Mereka sangat peka. Kondisi emosional Ibu akan langsung berpengaruh terhadap janin, sehingga jika Ibu stres, sedih, marah atau ketakutan, maka janin juga akan ikut stres. Jika berlangsung terus-menerus atau sering, maka dampaknya akan lebih nyata pada sifat dan kondisi emosional bayi ketika ia lahir dan bertambah besar. Bayi atau anak-anak yang sering mendengar atau menyaksikan orang tuanya bertengkar akan tumbuh menjadi anak yang tidak bahagia dan kekurangan rasa aman di dalam dirinya. Kondisi kejiwaan atau emosionalnya seringkali labil dan mereka cenderung terhambat dalam mengembangkan kepercayaan dirinya atau mengekpresikan emosinya secara spontan. Bisa jadi, anak menjadi pemurung, kurang ceria, enggan mengeksplorasi lingkungannya serta kurang menunjukkan rasa ingin tahu yang besar.
Jadi, jangan buru-buru mengatakan bahwa anak Anda bermasalah karena berubah dari yang semula merupakan anak yang bahagia menjadi anak yang sulit dan cengeng. Telusuri dulu apa penyebabnya, yang jika Anda dan suami mau bersikap terbuka dalam melakukan introspeksi diri, seringkali bersumber dari masalah pada orang tua.
Meski terlahir dengan membawa sifat atau karakter kepribadian dasar, namun pembentukan kepribadian seorang anak selanjutnya akan sangat dipengaruhi oleh sikap orang tua dalam mengasuh (pola asuh) serta pengalaman hidupnya sehari-hari. Sifat dan kebiasaan Ayah maupun Ibu, tentu akan turut membentuk diri anak. Bagaimana ia bersikap dan bereaksi, merupakan hasil perpaduan dari dua kepribadian, sikap, karakter dan pola asuh Ayah dan Ibunya. Tanpa sadar, anak seringkali belajar dan meniru sikap-sikap dan kebiasaan orang tuanya, termasuk berteriak-teriak jika marah atau jika keinginannya tak terpenuhi. Jadi, ketika Anda kebingungan mempertanyakan: “kenapa sih anakku kok begitu?” maka yang pertama kali harus dilakukan adalah bercermin pada diri sendiri dan melakukan introspeksi bagaimana sikap dan perlakukan Anda dan suami sebagai sepasang suami-istri dan sebagai orang tua terhadap anak-anak Anda.
Menyikapi problem emosional (cengeng, gelisah, murung dsb.) yang tengah terjadi pada buah hati Anda, jangan lantas menyimpulkan bahwa ia “bermasalah” dan perlu penanganan profesional atau terapi khusus.
* Sudah jelas, anak memiliki kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Jika hal itu terpenuhi, ia akan tumbuh dan berkembang lebih positif, dimana ia akan merasa aman, diterima dan menjadi tidak mudah cemas. Namun, bentuk perhatian dan kasih sayang orang tua tak cukup hanya ditunjukkan melalui limpahan hadiah, mainan, pakaian bagus dan makanan bergizi. Jangan salah dengan pendapat bahwa bayi atau anak kecil tidak mengerti apa-apa. Justru pada masa bayi dan balita (bawah tiga tahun) anak paling peka terhadap perubahan-perubahan kondisi emosional orang tuanya.
* Ajak suami untuk sama-sama memeriksa diri sendiri, menelaah hubungan suami-istri serta hubungan orang tua dan anak. Seringkali tanpa sadar, orang tualah yang mengarahkan anak untuk mengembangkan sifat, karakter, kebiasaan dan perilaku tertentu. Jadi, lakukan evaluasi apa yang sebetulnya tengah terjadi di dalam keluarga, serta bagaimana pola komunikasi dan gaya kebiasaan Anda berdua dalam menyelesaikan konflik atau masalah yang timbul. Jika memang ada masalah dalam pola komunikasi dan hubungan antar orang tua, maka Anda dan suamilah yang harus terlebih dahulu melakukan koreksi dan perbaikan diri.
* Hindari berkata-kata kasar atau bertengkar di depan anak, sekalipun mereka sedang tidur. Pertengkaran orang tua menjadikan anak cemas dan stres, sehingga perilakunya pun akan terpengaruh, misalnya dari yang semula periang dan menyenangkan menjadi murung dan mudah menangis. Sebaiknya, pelajari keterampilan memecahkan masalah dan ‘bertengkar secara sehat’, agar anda dan suami dapat menemukan jawaban dari setiap persoalan atau perbedaan pendapat yang muncul tanpa harus saling menyakiti dengan kata-kata kasar yang sekaligus bisa melukai jiwa si kecil yang turut menjadi penonton/pendengar.
* Mengembangkan kebiasaan dan pola hidup teratur (makan-tidur-mandi-bermain) pada anak memang perlu dilakukan sejak sedini mungkin. Lakukan dengan konsisten, namun juga jangan terlalu kaku. Yang terpenting, pahami benar kebutuhan anak dan hal-hal apa yang tengah ia rasakan. Misalnya, jika semula lahap lalu menjadi sulit makan, barangkali ia mulai bosan dengan menunya sehingga perlu divariasikan. Atau jika semula tidurnya gampang lalu menjadi rewel, gelisah dan sering terbangun, bisa jadi karena siangnya kelewat aktif bermain sehingga tubuhnya kecapaian, malamnya jadi sulit tidur nyenyak), dsb.
Demikian saran saya untuk mbak Atien, semoga bermanfaat ya…!
Maya Harry,Psi
Sumber : Tabloid Wanita Indonesia
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBagaimana kalau suami tidak bisa bekerjasama? Saya mengalami hal yang sama dan situasi sekarang semakin buruk. Waktu aku baru memiliki 1 anak, aku selalu mengalah dan minta maaf walau bingung apa salahku. Pada saat anak perempuanku minta papanya utk minta maaf pdku. Suamiku dengan kasar berkata, "tidak akan pernah!"Suamiku selalu berkata bahwa kami tidak cocok lagi didepan anak, Aku dipukul, dicacimaki, didorong dan dilemparkan barang dihadapan anak2. Aku berusaha mengajak dia untuk konsultasi tapi ia malah menyalahkan dan mengatai bahwa aku itu sakit, gila dsb. Aku ngerti dia stress berat krn pekerjaan, dsb. Aku jg ga pernah minta uang dari dia, aku usaha sendiri. Untuk berpisah berat, krn anak perempuanku ingin kami terus bersatu, sedangkan aku sudah tidak kuat dengan keadaan ini. bagaimana yah?
BalasHapusSama nih sist.
BalasHapusSuami kl marah suka dg nada tinggi didepan anak.padahal sdh kuperingatkan.
Rencana mau kabur sj dr rumah.kasihan anak.
Drpd terjadi sswtu yg lebih parah kedepannya mending anak bawa kabur sj.
Soalnya kedepannya kl bertengkar pasti akan lebih parah,dan anak akan jadi korban,