Permasalahan:
Saya seorang gadis dengan usia siap menikah, tetapi kini bingung mengambil keputusan. Saya takut salah mengambil sikap. Pacar saya seorang pria yang pekerjaannya menuntutnya harus berpindah-pindah tempat tugas. Sebelumnya, kami telah sepakat akan menikah, dan orang tua juga sudah setuju. Namun, rencana itu tertunda, karena ayah saya meninggal.
Sebagai anak sulung, saya berkewajiban mendampingi Ibu membimbing adik-adik yang masih kuliah. Sementara jika saya menikah, saya harus turut mendampingi suami yang berdomisili sangat jauh dari keluarga saya. Di samping itu, tanpa alasan jelas, keluarga pacar mendadak menarik dukungannya pada saya, sehingga rencana pernikahan pun tertunda. Padahal, sebelumnya mereka pernah mendesak saya untuk segera menikah.
Keluarga saya masih dalam keadaan labil, karena baru ditinggal Ayah, Bu. Belum lagi, ada seorang adik yang amat menyiksa Ibu dengan sikapnya yang labil dan tempramental (dia korban narkoba, yang katanya sudah berhenti memakai tapi masih paranoidnya). Saya amat bingung dan mohon bantuan Ibu, karena saya harus memutuskan dalam waktu sebulan ini.
Sekarang, pacar mengatakan bahwa keluarganya sudah bisa menerima saya (walaupun mungkin sebagian belum), dan mulai mengajak saya merencanakan pernikahan ini secepatnya. Sementara keluarga saya yang tadinya setuju, sekarang juga meragukan pilihan saya, dengan alasan jika saya menikah, saya akan jauh dari keluarga. Padahal, ibu saya memerlukan teman, dan adik juga butuh bimbingan. Mereka menyarankan saya menikah saja dengan mantan pacar saya yang sampai sekarang masih menunggu (tentu saja tidak bisa terlalu lama), karena satu kota. Keluarganya pun amat perhatian dengan keluarga saya, sehingga bisa mendukung saya dalam membimbing adik-adik.
Sungguh, saya bingung, Bu. Saya amat mencintai pacar saya. Kami sudah cocok dan bisa saling mengerti. Tapi saya takut, jika saya menikah dengannya, akan terjadi sesuatu dengan ibu saya karena dirongrong terus oleh adik saya yang tempremental itu. Sementara saya jauh dan tidak dapat berbuat banyak. Di samping itu, saya juga khawatir akan terjadi konflik dengan keluarga pacar, mengingat mereka pernah tidak setuju.
Di pihak lain, jika saya menikah dengan mantan saya, berarti saya harus membohongi diri sendiri, karena saya tidak mencintainya lagi. Saya juga tidak yakin, apakah saya bisa belajar mencintainya lagi jika jadi menikah. Dia memang amat mencintai saya, baik, dan perhatian pada keluarga.
Saya sering berandai-andai, alangkah indahnya hidup ini jika keluarga saya stabil, sehingga saya bisa menikah dengan pacar, ikut suami ke mana pun bertugas. Tapi mungkin inilah hidup, harus ada yang dikorbankan. Saya sangat bingung, mana yang harus dikorbankan atau dipilih? Keluarga atau hati saya? Sementara pilihan untuk tidak menikah pun bukan keputusan tepat, karena saya sering merasa sendiri dan butuh teman untuk berbagi rasa. Jika menunda-nunda, saya akan telat menikah, padahal keluarga mengharapkan saya segera menikah. Mohon bantuan Ibu, terima kasih.
***************
Jawaban :
Masalah Anda dialami juga oleh Nidya (Surabaya) yang anak tunggal dan ayahnya sudah meninggal, sementara sang ibu tak mau ditinggal Nidya pindah ke rumah suaminya. Akibatnya, perkawinan tertunda-tunda terus. Juga Mita (Palembang) yang punya tiga adik, dan sejak ibunya meninggal ketika melahirkan adik bungsunya, sudah terbiasa menggantikan peran sebagai penyelenggara rumah tangga. Ia berat meninggalkan keluarganya, karena calon suami meminta ia bisa “pensiun” dari keluarga besarnya untuk membina rumah tangga. Mita gundah, karena ini adalah pacar serius yang ketiga. Dua pacar sebelumnya putus, karena tak tahan harus menunggu keputusan Mita.
Saya percaya, masalah ini sangat berat untuk gadis-gadis seperti Anda, apalagi Anda bertiga juga sudah berada di penghujung usia untuk kemudian akan mulai dicap sebagai “perawan tua.” Seorang rekan muda yang sangat saya kagumi keuletannya menjalani hidup, mirip juga kisahnya dengan Anda. Ia anak tertua juga, ayahnya sudah tiada, dan bingung bagaimana nasib adik-adiknya kalau ia menikah, karena calon suami tak mau “ikut repot” menangani masalah keluarganya.
Dalam usianya yang 27 tahun, ia tampak begitu tangguh menyelesaikan masalah kantor, menemani ibunya yang stres berat jika beliau kambuh, dan di sela-sela kesibukan kantor yang padat, tetap saja bisa menyusun menu makanan keluarganya selama sebulan!
Rasa-rasanya, Anda bertiga punya tipikal gambaran kepribadian yang sama, deh, dengan rekan saya ini. Mandiri, tampak bisa menyelesaikan segala masalah yang datang, sehingga akhirnya, pelan tetapi pasti, di benaknya maupun di benak anggota keluarganya tertanam keyakinan bahwa tanpa dia, keluarga ini tak bisa berjalan. Dan karena hubungan yang tercipta dengan sesama anggota keluarga adalah hubungan yang interdependen atau saling tergantung sifatnya, maka bukan hanya para anggota keluarga yang percaya bahwa Andalah satu-satunya yang bisa menjadi “penyelamat” keluarga. Tanpa Anda, bagaimana mungkin mereka bisa tetap menjalankan hidup mereka!
Ini diperparah lagi oleh munculnya perasaan berdosa, karena beranggapan bahwa kawin adalah kebutuhan pribadi, sementara dengan tetap membujang, saya bisa memberi lebih banyak manfaat untuk ayah atau ibu dan adik-adik. Dengan demikian, kalau saya menikah, kok saya egois sekali, sih?
Sebenarnya, kasus seperti Anda ini hampir mirip dengan anak yang disapih. Tadinya menetek pada ibunya, lalu sudah waktunya untuk berhenti. Harus berhenti, karena ASI-nya sudah tak mencukupi kebutuhan gizi lagi. Tetapi, melihat anak rewel, menangis sedih, dan kadang malah demam, ibu sering mengalami konflik yang benar-benar membuat sesak napas. Tetapi, proses ini biasanya terlalui, karena toh akhirnya akan terlihat bahwa si anak tidak jadi makin buruk kondisinya.
Ia akan belajar bahwa ada banyak kebebasan yang ia miliki, karena tak tergantung pada buah dada ibunya. Si ibu juga sudah mulai bisa menjalankan program dietnya, misalnya, atau pergi lebih lama tanpa risau diburu waktu menetek bagi anaknya.
Bagaimana kalau X juga belajar “menyapih” ibu dan adik? Tentu saja, urusannya bukan di seputar payudara, ya X, tetapi membiasakan untuk menyelesaikan masalah tanpa harus menunggu apa kata Anda. Dan lebih penting lagi sebenarnya adalah menjaga supaya tak terjadi masalah-masalah yang tak perlu. Bukankah mencegah selalu lebih menguntungkan daripada harus membereskan masalah yang sudah terjadi?
Menggantung masalah, jelas tak mengurangi konflik di dalam benak Anda. Dan karena Anda memiliki cukup alasan untuk menikah, sebaiknya ini tak ditunda. Lakukan persiapan untuk para anggota keluarga, sehingga bukan hanya Anda yang “belajar” untuk meninggalkan mereka, dalam arti ikut suami, tetapi mereka juga mau membiasakan diri untuk belajar hidup tanpa Anda harus lekat-erat di sekitar mereka.
Buat daftar dari masalah yang selama ini muncul dalam keluarga, dan bagi ke dalam tiga kategori. Yang pertama, yang mutlak membutuhkan Anda. Kedua, yang akan lebih cepat selesai kalau ada Anda, tetapi bisa selesai juga tanpa Anda (walau waktunya lama). Dan ketiga, yang tak memerlukan kehadiran Andapun sebenarnya bisa diselesaikan.
Lantas, kategori ketiga segera bisa Anda drop dari campur tangan Anda.
Contoh konkretnya, membayar PLN. Menyediakan uang, mungkin masuk katagori satu, harus dari Anda. Tetapi, menyetor ke loket PLN atau ke bank, masuk ke-3, bukan? Tak perlu Anda dong yang melakukannya? Dalam kasus adik X, bila ada terapi yang harus dijalani, tuntaskan dengan jadwal yang diikuti, tetapi kali ini kontrolnya dari ibu, bukan dari Anda lagi.
Kemudian, lihat daftar pertama. Bila ini menyangkut keahlian, misalnya memasak untuk keluarga, carilah pembantu yang kompeten. Di sini, mereka harus belajar untuk mau makan, walaupun bukan masakan Mbakyunya. Seringkali, pernyataan seperti, ”Nggak mau makan kalau yang masak bukan Ayu Mita!” harus diartikan sebagai kemanjaan dan bukan kondisi mutlak yang harus selalu dipenuhi.
Jangan terlalu drastis, karena pada dasarnya yang sedang dilakukan utamanya bukan terkait dengan perilaku, tetapi lebih kepada kesiapan mental. Jadi, orang-orang yang Anda cintai juga harus Anda yakinkan bahwa perkawinan Anda tidak akan menyebabkan Anda mengurangi atau menghilangkan kasih sayang dan perhatian pada mereka. Hanya saja, kini prioritasnya yang sudah harus bergeser. Kalau ada adik yang bisa menerima “tongkat estafet” dari Anda, lakukanlah. Ajari anggota keluarga lain untuk menerima kenyataan bahwa kalau apa yang ia lakukan belum sebaik Anda, namanya juga baru saja melakukannya.
Dengan berlalunya waktu, ini bisa diatasi. Nah, kalau secara pelan tetapi pasti, tugas-tugas di kategori satu bisa bergeser ke dua dan lalu ke tiga, akan terlihat bahwa kemandirian mereka akan seiring dengan berkurangnya keharusan Anda terlibat dalam masalah yang ada. Saya bukan ingin menganjurkan Anda untuk bersikap egois, membiarkan keluarga dan menikah. Tetapi, saya berpendapat bahwa setiap orang punya HAK untuk menentukan apa yang ia inginkan dari hidup ini, termasuk untuk menikah. Dan kalau waktunya sudah datang, anggota keluarga juga punya kewajiban untuk mau mengurangi tingkat kenyamanan yang ia peroleh, karena “pengorbanan” Anda, bukan?
Apakah X harus menikah dengan mantan pacar yang tidak dicintai, tentu saja jawabannya TIDAK. Untuk apa kita harus menikah kalau sejak awal kita sudah tahu bahwa kita tidak cinta pada suami kita? Ironis sekali kalau X harus menikah dengan pria yang tak Anda cintai, hanya untuk tetap bisa dekat dengan ibu dan adik. Lalu, kapan adik akan belajar dewasa dan mengurus ibu?
Tentunya, X harus mantap dan berkeyakinan tinggi dulu tentang keputusan yang kelak X akan ambil. Keputusan yang dibuat dengan perasaan ragu biasanya berbuah pada tindakan menyalahkan diri kalau terjadi hal-hal yang penyebabnya bukan diri kita. Anda perlu meyakini bahwa keputusan yang Anda ambil adalah yang terbaik. Dan setelah itu, jalani dengan niat lurus, tanpa mengurangi kasih sayang dan perhatian pada ibu dan adik. Bedanya, kalau dulu Anda lakukan ini dari jarak dekat, setelah menikah, dari jarak jauh. Mudah-mudahan Anda bertiga lebih yakin melangkah ke perkawinan kini. Jangan lupa mengundang saya, ya? Salam sayang!
Rieny
Sumber : Nova
Saya seorang gadis dengan usia siap menikah, tetapi kini bingung mengambil keputusan. Saya takut salah mengambil sikap. Pacar saya seorang pria yang pekerjaannya menuntutnya harus berpindah-pindah tempat tugas. Sebelumnya, kami telah sepakat akan menikah, dan orang tua juga sudah setuju. Namun, rencana itu tertunda, karena ayah saya meninggal.
Sebagai anak sulung, saya berkewajiban mendampingi Ibu membimbing adik-adik yang masih kuliah. Sementara jika saya menikah, saya harus turut mendampingi suami yang berdomisili sangat jauh dari keluarga saya. Di samping itu, tanpa alasan jelas, keluarga pacar mendadak menarik dukungannya pada saya, sehingga rencana pernikahan pun tertunda. Padahal, sebelumnya mereka pernah mendesak saya untuk segera menikah.
Keluarga saya masih dalam keadaan labil, karena baru ditinggal Ayah, Bu. Belum lagi, ada seorang adik yang amat menyiksa Ibu dengan sikapnya yang labil dan tempramental (dia korban narkoba, yang katanya sudah berhenti memakai tapi masih paranoidnya). Saya amat bingung dan mohon bantuan Ibu, karena saya harus memutuskan dalam waktu sebulan ini.
Sekarang, pacar mengatakan bahwa keluarganya sudah bisa menerima saya (walaupun mungkin sebagian belum), dan mulai mengajak saya merencanakan pernikahan ini secepatnya. Sementara keluarga saya yang tadinya setuju, sekarang juga meragukan pilihan saya, dengan alasan jika saya menikah, saya akan jauh dari keluarga. Padahal, ibu saya memerlukan teman, dan adik juga butuh bimbingan. Mereka menyarankan saya menikah saja dengan mantan pacar saya yang sampai sekarang masih menunggu (tentu saja tidak bisa terlalu lama), karena satu kota. Keluarganya pun amat perhatian dengan keluarga saya, sehingga bisa mendukung saya dalam membimbing adik-adik.
Sungguh, saya bingung, Bu. Saya amat mencintai pacar saya. Kami sudah cocok dan bisa saling mengerti. Tapi saya takut, jika saya menikah dengannya, akan terjadi sesuatu dengan ibu saya karena dirongrong terus oleh adik saya yang tempremental itu. Sementara saya jauh dan tidak dapat berbuat banyak. Di samping itu, saya juga khawatir akan terjadi konflik dengan keluarga pacar, mengingat mereka pernah tidak setuju.
Di pihak lain, jika saya menikah dengan mantan saya, berarti saya harus membohongi diri sendiri, karena saya tidak mencintainya lagi. Saya juga tidak yakin, apakah saya bisa belajar mencintainya lagi jika jadi menikah. Dia memang amat mencintai saya, baik, dan perhatian pada keluarga.
Saya sering berandai-andai, alangkah indahnya hidup ini jika keluarga saya stabil, sehingga saya bisa menikah dengan pacar, ikut suami ke mana pun bertugas. Tapi mungkin inilah hidup, harus ada yang dikorbankan. Saya sangat bingung, mana yang harus dikorbankan atau dipilih? Keluarga atau hati saya? Sementara pilihan untuk tidak menikah pun bukan keputusan tepat, karena saya sering merasa sendiri dan butuh teman untuk berbagi rasa. Jika menunda-nunda, saya akan telat menikah, padahal keluarga mengharapkan saya segera menikah. Mohon bantuan Ibu, terima kasih.
***************
Jawaban :
Masalah Anda dialami juga oleh Nidya (Surabaya) yang anak tunggal dan ayahnya sudah meninggal, sementara sang ibu tak mau ditinggal Nidya pindah ke rumah suaminya. Akibatnya, perkawinan tertunda-tunda terus. Juga Mita (Palembang) yang punya tiga adik, dan sejak ibunya meninggal ketika melahirkan adik bungsunya, sudah terbiasa menggantikan peran sebagai penyelenggara rumah tangga. Ia berat meninggalkan keluarganya, karena calon suami meminta ia bisa “pensiun” dari keluarga besarnya untuk membina rumah tangga. Mita gundah, karena ini adalah pacar serius yang ketiga. Dua pacar sebelumnya putus, karena tak tahan harus menunggu keputusan Mita.
Saya percaya, masalah ini sangat berat untuk gadis-gadis seperti Anda, apalagi Anda bertiga juga sudah berada di penghujung usia untuk kemudian akan mulai dicap sebagai “perawan tua.” Seorang rekan muda yang sangat saya kagumi keuletannya menjalani hidup, mirip juga kisahnya dengan Anda. Ia anak tertua juga, ayahnya sudah tiada, dan bingung bagaimana nasib adik-adiknya kalau ia menikah, karena calon suami tak mau “ikut repot” menangani masalah keluarganya.
Dalam usianya yang 27 tahun, ia tampak begitu tangguh menyelesaikan masalah kantor, menemani ibunya yang stres berat jika beliau kambuh, dan di sela-sela kesibukan kantor yang padat, tetap saja bisa menyusun menu makanan keluarganya selama sebulan!
Rasa-rasanya, Anda bertiga punya tipikal gambaran kepribadian yang sama, deh, dengan rekan saya ini. Mandiri, tampak bisa menyelesaikan segala masalah yang datang, sehingga akhirnya, pelan tetapi pasti, di benaknya maupun di benak anggota keluarganya tertanam keyakinan bahwa tanpa dia, keluarga ini tak bisa berjalan. Dan karena hubungan yang tercipta dengan sesama anggota keluarga adalah hubungan yang interdependen atau saling tergantung sifatnya, maka bukan hanya para anggota keluarga yang percaya bahwa Andalah satu-satunya yang bisa menjadi “penyelamat” keluarga. Tanpa Anda, bagaimana mungkin mereka bisa tetap menjalankan hidup mereka!
Ini diperparah lagi oleh munculnya perasaan berdosa, karena beranggapan bahwa kawin adalah kebutuhan pribadi, sementara dengan tetap membujang, saya bisa memberi lebih banyak manfaat untuk ayah atau ibu dan adik-adik. Dengan demikian, kalau saya menikah, kok saya egois sekali, sih?
Sebenarnya, kasus seperti Anda ini hampir mirip dengan anak yang disapih. Tadinya menetek pada ibunya, lalu sudah waktunya untuk berhenti. Harus berhenti, karena ASI-nya sudah tak mencukupi kebutuhan gizi lagi. Tetapi, melihat anak rewel, menangis sedih, dan kadang malah demam, ibu sering mengalami konflik yang benar-benar membuat sesak napas. Tetapi, proses ini biasanya terlalui, karena toh akhirnya akan terlihat bahwa si anak tidak jadi makin buruk kondisinya.
Ia akan belajar bahwa ada banyak kebebasan yang ia miliki, karena tak tergantung pada buah dada ibunya. Si ibu juga sudah mulai bisa menjalankan program dietnya, misalnya, atau pergi lebih lama tanpa risau diburu waktu menetek bagi anaknya.
Bagaimana kalau X juga belajar “menyapih” ibu dan adik? Tentu saja, urusannya bukan di seputar payudara, ya X, tetapi membiasakan untuk menyelesaikan masalah tanpa harus menunggu apa kata Anda. Dan lebih penting lagi sebenarnya adalah menjaga supaya tak terjadi masalah-masalah yang tak perlu. Bukankah mencegah selalu lebih menguntungkan daripada harus membereskan masalah yang sudah terjadi?
Menggantung masalah, jelas tak mengurangi konflik di dalam benak Anda. Dan karena Anda memiliki cukup alasan untuk menikah, sebaiknya ini tak ditunda. Lakukan persiapan untuk para anggota keluarga, sehingga bukan hanya Anda yang “belajar” untuk meninggalkan mereka, dalam arti ikut suami, tetapi mereka juga mau membiasakan diri untuk belajar hidup tanpa Anda harus lekat-erat di sekitar mereka.
Buat daftar dari masalah yang selama ini muncul dalam keluarga, dan bagi ke dalam tiga kategori. Yang pertama, yang mutlak membutuhkan Anda. Kedua, yang akan lebih cepat selesai kalau ada Anda, tetapi bisa selesai juga tanpa Anda (walau waktunya lama). Dan ketiga, yang tak memerlukan kehadiran Andapun sebenarnya bisa diselesaikan.
Lantas, kategori ketiga segera bisa Anda drop dari campur tangan Anda.
Contoh konkretnya, membayar PLN. Menyediakan uang, mungkin masuk katagori satu, harus dari Anda. Tetapi, menyetor ke loket PLN atau ke bank, masuk ke-3, bukan? Tak perlu Anda dong yang melakukannya? Dalam kasus adik X, bila ada terapi yang harus dijalani, tuntaskan dengan jadwal yang diikuti, tetapi kali ini kontrolnya dari ibu, bukan dari Anda lagi.
Kemudian, lihat daftar pertama. Bila ini menyangkut keahlian, misalnya memasak untuk keluarga, carilah pembantu yang kompeten. Di sini, mereka harus belajar untuk mau makan, walaupun bukan masakan Mbakyunya. Seringkali, pernyataan seperti, ”Nggak mau makan kalau yang masak bukan Ayu Mita!” harus diartikan sebagai kemanjaan dan bukan kondisi mutlak yang harus selalu dipenuhi.
Jangan terlalu drastis, karena pada dasarnya yang sedang dilakukan utamanya bukan terkait dengan perilaku, tetapi lebih kepada kesiapan mental. Jadi, orang-orang yang Anda cintai juga harus Anda yakinkan bahwa perkawinan Anda tidak akan menyebabkan Anda mengurangi atau menghilangkan kasih sayang dan perhatian pada mereka. Hanya saja, kini prioritasnya yang sudah harus bergeser. Kalau ada adik yang bisa menerima “tongkat estafet” dari Anda, lakukanlah. Ajari anggota keluarga lain untuk menerima kenyataan bahwa kalau apa yang ia lakukan belum sebaik Anda, namanya juga baru saja melakukannya.
Dengan berlalunya waktu, ini bisa diatasi. Nah, kalau secara pelan tetapi pasti, tugas-tugas di kategori satu bisa bergeser ke dua dan lalu ke tiga, akan terlihat bahwa kemandirian mereka akan seiring dengan berkurangnya keharusan Anda terlibat dalam masalah yang ada. Saya bukan ingin menganjurkan Anda untuk bersikap egois, membiarkan keluarga dan menikah. Tetapi, saya berpendapat bahwa setiap orang punya HAK untuk menentukan apa yang ia inginkan dari hidup ini, termasuk untuk menikah. Dan kalau waktunya sudah datang, anggota keluarga juga punya kewajiban untuk mau mengurangi tingkat kenyamanan yang ia peroleh, karena “pengorbanan” Anda, bukan?
Apakah X harus menikah dengan mantan pacar yang tidak dicintai, tentu saja jawabannya TIDAK. Untuk apa kita harus menikah kalau sejak awal kita sudah tahu bahwa kita tidak cinta pada suami kita? Ironis sekali kalau X harus menikah dengan pria yang tak Anda cintai, hanya untuk tetap bisa dekat dengan ibu dan adik. Lalu, kapan adik akan belajar dewasa dan mengurus ibu?
Tentunya, X harus mantap dan berkeyakinan tinggi dulu tentang keputusan yang kelak X akan ambil. Keputusan yang dibuat dengan perasaan ragu biasanya berbuah pada tindakan menyalahkan diri kalau terjadi hal-hal yang penyebabnya bukan diri kita. Anda perlu meyakini bahwa keputusan yang Anda ambil adalah yang terbaik. Dan setelah itu, jalani dengan niat lurus, tanpa mengurangi kasih sayang dan perhatian pada ibu dan adik. Bedanya, kalau dulu Anda lakukan ini dari jarak dekat, setelah menikah, dari jarak jauh. Mudah-mudahan Anda bertiga lebih yakin melangkah ke perkawinan kini. Jangan lupa mengundang saya, ya? Salam sayang!
Rieny
Sumber : Nova
artikel menarik
BalasHapus