Permasalahan:
Saya saat ini punya masalah yang sangat rumit. Saya (25) janda dengan dua orang anak, saat ini sedang mengandung satu bulan, hasil hubungan dengan laki-laki yang sangat saya sayangi (sebut saja D). Ia juga menyayangi saya. Tadinya, D bilang akan bertanggungjawab dan menikahi saya secepatnya, tapi ternyata ia punya kekasih lain yang sudah dipacarinya selama setahun (namanya R dan masih gadis). D tidak bisa memberi keputusan dan kepastian.
Hancur hati saya, Bu. Ternyata, R mengancam akan bunuh diri bila saya tetap menikah dengan D. Ia pun selalu meracuni pikiran D dengan perkataan yang tidak-tidak tentang diri saya. Ingin rasanya saya mati saja, atau saya gugurkan saja kandungan ini agar tidak menjadi masalah. Tapi saya tidak tega dan takut dosa saya bertambah banyak. Akhirnya, setelah kami bicara, R mengajukan syarat yang sangat menyesakkan dada saya. Katanya, saya boleh menikah dengan D, tetapi setelah anak saya lahir, saya harus bercerai dengan D, dan D menikah dengan R, sementara anak saya harus ia asuh.
Adilkah itu, Bu? Apa saya mampu memberikan darah daging saya pada orang lain? Dan apa kata keluarga saya dan orang yang mengenal (tetangga) saya nanti?
Bu, saya tidak mau bercerai dua kali. Tolonglah, jalan mana yang harus saya tempuh? Pikiran saya kacau, kalut dan sakit hati. Apakah sebaiknya saya gugurkan saja anak ini daripada diberikan pada orang lain? Sekali lagi, tolonglah saya, Bu. R bilang, kalau saya yang mengasuh anak saya kelak, maka D (calon suaminya kelak) akan selalu bertemu saya dan berhubungan lagi dengan saya.
Sekali lagi, jawaban Ibu sangat saya nantikan. Pikiran saya sudah gelap. Ingin mati saja rasanya. Mana yang harus saya pilih, Bu, menggugurkan kandungan atau kelak memberikan anak saya pada R? Terima kasih.
***************
Jawaban :
Masalah yang paling butuh penyelesaian adalah anak dalam kandungan Anda ini butuh suasana hati ibu yang aman dan tenteram, sehingga ia menjadi janin yang kelak akan menjadi bayi yang sehat. Perasaan tertekan, tak tentu arah tujuan dan serba tak pasti, akan membuat janin Anda tumbuh tidak optimal, dan bukan tidak mungkin setelah besar lalu juga banyak masalah dengan kesehatan fisik maupun psikologisnya.
Nah, saya ingiiiin sekali Anda berhenti sejenak memikirkan diri Anda dan pria tercinta Anda yang bernama D itu, untuk memikirkan bagaimana anak ini dapat membesar di kandungan Anda dengan baik, lahir selamat dan sehat! Lalu, bagaimana hubungan dengan D? Bukankah sejak awal itu sebenarnya cuma kesia-siaan? hamil di luar perkawinan adalah sebuah bentuk “bikin susah diri sendiri,” dan dengan pria yang jelas-jelas sudah punya pacar yang memang ia niatkan untuk dikawini, ini sudah merupakan (maaf) kebodohan. Maka, jangan buat kebodohan kedua dan yang berikutnya, N.
Artinya, anak di kandungan Anda itu tak seharusnya turut menanggung ”beban” dari perilaku serta buah dari ketidakcermatan Anda menjaga diri. Kalau Anda bisa membulatkan tekad untuk melakukan yang terbaik untuk anak Anda di situasi serta waktu yang buruk ini, maka saya yakin Anda akan mampu pula melihat masalah ini dengan lebih jernih dan obyektif. Secara obyektif, D bukanlah laki-laki yang dapat Anda harapkan bisa memberi rasa aman dan kepastian pada Anda. Buktinya? Ia tak bisa memutuskan untuk menikahi Anda atau terus dengan rencananya untuk memacari dan akhirnya menikahi R.
Janji untuk menikahi Anda? Aduh, N, mestinya dengan 2 anak dan status janda Anda, Anda lebih bijak berpikir dari mereka yang masih belum menikah dan punya anak, apakah benar pria ini mau menerima diriku dan 2 anakku atau hanya ingin berhappy-happy saja denganku. Apakah Anda bisa hidup hanya dengan janji? Pula, bagaimana Anda mengharap ada kepastian dari seorang pria yang langkah-langkahnya dalam hidup saja sudah serba tidak pasti apa tujuannya, seperti yang ditampilkan oleh D itu.
Syarat yang diajukan R akan meletakkan anak Anda pada posisi yang sangat tidak menguntungkan baginya. Bukankah ia akan menjadi unwanted child atau anak yang tidak diinginkan di keluarga mereka (D dan R), bila anak ini kelak diasuh oleh R?
Bayangkan, bagaimana kejengkelan yang akan selalu muncul manakala R melihat anak Anda, karena pastilah setiap kali ia akan juga melihat bayangan Anda di wajah abak Anda, lengkap dengan ketidaksetiaan D sebagai penyebab semua ini. Apa tidak lalu anak itu dicubiti terus? Dan, anak yang tidak diinginkan pastilah tidak akan memperoleh kadar kasih sayang dan penerimaan yang memadai, untuk membuatnya tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang sehat jasmani dan rohani.
Apakah Anda rela anak Anda harus memikul beban emosional yang demikian beratnya? Seumur hidupnya? Apa dosanya, sehingga ia harus menjalani semua ini? Apakah ia yang harus “membayar” perilaku Anda dan D yang berakibat pada kehamilan itu? Kasihan sekali si jabang bayi. Sementara, menikah dengan D pun tidak menjamin bahwa suatu saat kelak, ia juga akan mengawini R, yang memang dipacarinya lebih dulu dari saat ia bertemu Anda.
Kalau saya menjadi Anda, saya akan memilih untuk melahirkan anak ini, membesarkannya dengan penuh kasih sayang (juga perasaan yang lebih bertanggung jawab, karena ia adalah “buah” dari keputusan yang sesaat saja, yaitu berhubungan intim demi untuk kesenangan saja). Lupakan saja D! Anggap ia mimpi buruk, karena menikah pun hanya memberi Anda STATUS SEMU saja. Menjadi istrinya sampai anak lahir? Saya yakin, akan berakhir makin ruwet, kelak.
Menjauhlah dari D, ceritakan masalah Anda pada orang tua, kalau masih ada, dan saudara-saudara Anda. Mudah-mudahan Anda memiliki keluarga yang memang mencintai Anda TANPA SYARAT. Artinya, apapun kesalahan yang Anda buat, mereka tetap bisa menghargai dan mencintai Anda seperti apa adanya. Dari pengalaman, banyak saudara, bahkan saudara kandung sekalipun, yang “hanya mau” bersaudara sepanjang seseorang berperilaku sesuai harapan mereka. Manakala saudaranya ada yang telanjur salah melangkah, atau bahkan juga memilih dengan sadar untuk melakukan hal-hal yang tak satu selera dengan saudaranya yang lain, ia lalu dianggap “anak hilang” atau dibuang dari percaturan keluarga.
Kalau saudara dan keluarga Anda dari tipe seperti ini, berbesar hatilah untuk menerima konsekuensi dari perbuatan Anda, dan cari dukungan moril dari lingkungan. Siapa saja, teman, sahabat atau pendeta di gereja, yang penting Anda tidak merasa sendirian menghadapi semua ini. Mudah-mudahan secara ekonomi ANDA punya kemandirian, karena kalau tidak, wah…makin ruwet lagi.
Kalau masalah ini sudah lebih terlihat “ujung”nya, hiduplah lebih tertib dan sesuai ajaran agama yang Anda anut. Saya sepakat bahwa tidak seharusnya Anda bercerai dua kali, tetapi yang sekarang Anda lakukan ini rasa-rasanya akan lebih buruk daripada bercerai, lho! Karena sudah telanjur hamil, sekali lagi, pikirkan nasib janin Anda. Berikan ia yang terbaik yang bisa Anda berikan dan untuk saat ini, tata hati Anda.
Jangan mencari kepastian dari orang yang tak punya kepastian, maupun hubungan yang serba tidak pasti. Sendiri memang tidak menyenangkan, tetapi kalau kita terikat dalam hubungan dengan pria yang cuma memberi kita masalah, ini tak hanya tak menyenangkan, tapi sudah jadi menakutkan! Kalau demikian, kenapa diteruskan? Semoga Anda cepat bisa membuat keputusan dan tetap tegar menjalani hidup. Salam.
Rieny
Sumber : Nova
Saya saat ini punya masalah yang sangat rumit. Saya (25) janda dengan dua orang anak, saat ini sedang mengandung satu bulan, hasil hubungan dengan laki-laki yang sangat saya sayangi (sebut saja D). Ia juga menyayangi saya. Tadinya, D bilang akan bertanggungjawab dan menikahi saya secepatnya, tapi ternyata ia punya kekasih lain yang sudah dipacarinya selama setahun (namanya R dan masih gadis). D tidak bisa memberi keputusan dan kepastian.
Hancur hati saya, Bu. Ternyata, R mengancam akan bunuh diri bila saya tetap menikah dengan D. Ia pun selalu meracuni pikiran D dengan perkataan yang tidak-tidak tentang diri saya. Ingin rasanya saya mati saja, atau saya gugurkan saja kandungan ini agar tidak menjadi masalah. Tapi saya tidak tega dan takut dosa saya bertambah banyak. Akhirnya, setelah kami bicara, R mengajukan syarat yang sangat menyesakkan dada saya. Katanya, saya boleh menikah dengan D, tetapi setelah anak saya lahir, saya harus bercerai dengan D, dan D menikah dengan R, sementara anak saya harus ia asuh.
Adilkah itu, Bu? Apa saya mampu memberikan darah daging saya pada orang lain? Dan apa kata keluarga saya dan orang yang mengenal (tetangga) saya nanti?
Bu, saya tidak mau bercerai dua kali. Tolonglah, jalan mana yang harus saya tempuh? Pikiran saya kacau, kalut dan sakit hati. Apakah sebaiknya saya gugurkan saja anak ini daripada diberikan pada orang lain? Sekali lagi, tolonglah saya, Bu. R bilang, kalau saya yang mengasuh anak saya kelak, maka D (calon suaminya kelak) akan selalu bertemu saya dan berhubungan lagi dengan saya.
Sekali lagi, jawaban Ibu sangat saya nantikan. Pikiran saya sudah gelap. Ingin mati saja rasanya. Mana yang harus saya pilih, Bu, menggugurkan kandungan atau kelak memberikan anak saya pada R? Terima kasih.
***************
Jawaban :
Masalah yang paling butuh penyelesaian adalah anak dalam kandungan Anda ini butuh suasana hati ibu yang aman dan tenteram, sehingga ia menjadi janin yang kelak akan menjadi bayi yang sehat. Perasaan tertekan, tak tentu arah tujuan dan serba tak pasti, akan membuat janin Anda tumbuh tidak optimal, dan bukan tidak mungkin setelah besar lalu juga banyak masalah dengan kesehatan fisik maupun psikologisnya.
Nah, saya ingiiiin sekali Anda berhenti sejenak memikirkan diri Anda dan pria tercinta Anda yang bernama D itu, untuk memikirkan bagaimana anak ini dapat membesar di kandungan Anda dengan baik, lahir selamat dan sehat! Lalu, bagaimana hubungan dengan D? Bukankah sejak awal itu sebenarnya cuma kesia-siaan? hamil di luar perkawinan adalah sebuah bentuk “bikin susah diri sendiri,” dan dengan pria yang jelas-jelas sudah punya pacar yang memang ia niatkan untuk dikawini, ini sudah merupakan (maaf) kebodohan. Maka, jangan buat kebodohan kedua dan yang berikutnya, N.
Artinya, anak di kandungan Anda itu tak seharusnya turut menanggung ”beban” dari perilaku serta buah dari ketidakcermatan Anda menjaga diri. Kalau Anda bisa membulatkan tekad untuk melakukan yang terbaik untuk anak Anda di situasi serta waktu yang buruk ini, maka saya yakin Anda akan mampu pula melihat masalah ini dengan lebih jernih dan obyektif. Secara obyektif, D bukanlah laki-laki yang dapat Anda harapkan bisa memberi rasa aman dan kepastian pada Anda. Buktinya? Ia tak bisa memutuskan untuk menikahi Anda atau terus dengan rencananya untuk memacari dan akhirnya menikahi R.
Janji untuk menikahi Anda? Aduh, N, mestinya dengan 2 anak dan status janda Anda, Anda lebih bijak berpikir dari mereka yang masih belum menikah dan punya anak, apakah benar pria ini mau menerima diriku dan 2 anakku atau hanya ingin berhappy-happy saja denganku. Apakah Anda bisa hidup hanya dengan janji? Pula, bagaimana Anda mengharap ada kepastian dari seorang pria yang langkah-langkahnya dalam hidup saja sudah serba tidak pasti apa tujuannya, seperti yang ditampilkan oleh D itu.
Syarat yang diajukan R akan meletakkan anak Anda pada posisi yang sangat tidak menguntungkan baginya. Bukankah ia akan menjadi unwanted child atau anak yang tidak diinginkan di keluarga mereka (D dan R), bila anak ini kelak diasuh oleh R?
Bayangkan, bagaimana kejengkelan yang akan selalu muncul manakala R melihat anak Anda, karena pastilah setiap kali ia akan juga melihat bayangan Anda di wajah abak Anda, lengkap dengan ketidaksetiaan D sebagai penyebab semua ini. Apa tidak lalu anak itu dicubiti terus? Dan, anak yang tidak diinginkan pastilah tidak akan memperoleh kadar kasih sayang dan penerimaan yang memadai, untuk membuatnya tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang sehat jasmani dan rohani.
Apakah Anda rela anak Anda harus memikul beban emosional yang demikian beratnya? Seumur hidupnya? Apa dosanya, sehingga ia harus menjalani semua ini? Apakah ia yang harus “membayar” perilaku Anda dan D yang berakibat pada kehamilan itu? Kasihan sekali si jabang bayi. Sementara, menikah dengan D pun tidak menjamin bahwa suatu saat kelak, ia juga akan mengawini R, yang memang dipacarinya lebih dulu dari saat ia bertemu Anda.
Kalau saya menjadi Anda, saya akan memilih untuk melahirkan anak ini, membesarkannya dengan penuh kasih sayang (juga perasaan yang lebih bertanggung jawab, karena ia adalah “buah” dari keputusan yang sesaat saja, yaitu berhubungan intim demi untuk kesenangan saja). Lupakan saja D! Anggap ia mimpi buruk, karena menikah pun hanya memberi Anda STATUS SEMU saja. Menjadi istrinya sampai anak lahir? Saya yakin, akan berakhir makin ruwet, kelak.
Menjauhlah dari D, ceritakan masalah Anda pada orang tua, kalau masih ada, dan saudara-saudara Anda. Mudah-mudahan Anda memiliki keluarga yang memang mencintai Anda TANPA SYARAT. Artinya, apapun kesalahan yang Anda buat, mereka tetap bisa menghargai dan mencintai Anda seperti apa adanya. Dari pengalaman, banyak saudara, bahkan saudara kandung sekalipun, yang “hanya mau” bersaudara sepanjang seseorang berperilaku sesuai harapan mereka. Manakala saudaranya ada yang telanjur salah melangkah, atau bahkan juga memilih dengan sadar untuk melakukan hal-hal yang tak satu selera dengan saudaranya yang lain, ia lalu dianggap “anak hilang” atau dibuang dari percaturan keluarga.
Kalau saudara dan keluarga Anda dari tipe seperti ini, berbesar hatilah untuk menerima konsekuensi dari perbuatan Anda, dan cari dukungan moril dari lingkungan. Siapa saja, teman, sahabat atau pendeta di gereja, yang penting Anda tidak merasa sendirian menghadapi semua ini. Mudah-mudahan secara ekonomi ANDA punya kemandirian, karena kalau tidak, wah…makin ruwet lagi.
Kalau masalah ini sudah lebih terlihat “ujung”nya, hiduplah lebih tertib dan sesuai ajaran agama yang Anda anut. Saya sepakat bahwa tidak seharusnya Anda bercerai dua kali, tetapi yang sekarang Anda lakukan ini rasa-rasanya akan lebih buruk daripada bercerai, lho! Karena sudah telanjur hamil, sekali lagi, pikirkan nasib janin Anda. Berikan ia yang terbaik yang bisa Anda berikan dan untuk saat ini, tata hati Anda.
Jangan mencari kepastian dari orang yang tak punya kepastian, maupun hubungan yang serba tidak pasti. Sendiri memang tidak menyenangkan, tetapi kalau kita terikat dalam hubungan dengan pria yang cuma memberi kita masalah, ini tak hanya tak menyenangkan, tapi sudah jadi menakutkan! Kalau demikian, kenapa diteruskan? Semoga Anda cepat bisa membuat keputusan dan tetap tegar menjalani hidup. Salam.
Rieny
Sumber : Nova
Tidak ada komentar:
Posting Komentar