Permasalahan :
Saya seorang gadis (28), bekerja di bidang sales yang membuat saya harus bertemu banyak orang. Banyak bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri, kalau kantor mengirim saya mengikuti pameran atau seminar yang dapat menambah wawasan. Kantor tempat saya kerja memang amat mendukung pengembangan karier saya.
Bayangkan, Bu, saya cuma lulusan semacam sekolah kepandaian putri, tetapi karena prestasi dan target selalu tercapai, saya disekolahkan hingga memperoleh gelar S-1. Kalau saya mau, saya juga diizinkan sekolah ke jenjang berikutnya, asalkan target penjualan tetap tercapai. Dibandingkan teman-teman yang masuk bersama saya, apa yang saya peroleh sudah amat lumayan, bahkan teman perempuan sudah drop out semua, karena kawin maupun karena tak bisa mencapai target.
Pacar serius saya adalah teman seangkatan yang kini sudah keluar dan membuka usaha sendiri di luar pulau Jawa. Memang sih kota besar, tetapi, kan tidak seperti di Jawa. Saya sudah beberapa kali liburan ke sana, tapi setelah 3 hari, saya pusing tujuh keliling, apa yang harus saya kerjakan? Tak bisa saya bayangkan, apa yang terjadi kalau saya juga harus tinggal di sana karena menikah dengan PS ini (pacar serius). Padahal, usahanya sudah mapan dan selama 7 tahun pacaran, sudah 3 tahun kami berpisah, tetapi tetap berhubungan.
Ia sudah mulai bicara tentang perkawinan, Bu, tetapi saya masih asyik dengan pekerjaan dan, yang satu ini, Bu, yaitu pacar iseng-iseng saya (PI).
Kalau PS adalah pekerja keras dan tukang jualan seperti saya, maka PI adalah pegawai kantoran (jangan ditulis ya, Bu aktivitas spesifiknya). Bukankah Ibu sepakat dengan saya kalau pekerjaannya tidak seperti saya yang kadang harus menjelajahi pertokoan, maupun pasar tradisional untuk berjualan?
Dengan PI, saya sudah dekat sejak 2 tahun terakhir, sehingga jujur hanya setahun saya "setia" sejak berpisah dengan PS. Di tahun kedua ia pindah, saya sudah akrab dengan PI. Dunianya sungguh berbeda dengan dunia saya. Ia serius, terpelajar, hobi membaca, mendengarkan musik klasik dan menonton pameran lukisan.
Kalau saya diajak makan malam dengan teman-temannya, tidak di restoran cepat saji seperti yang selalu saya lakukan dengan PS yang serba praktis, sekalian mengunjungi outlet penjualannya. Kami pergi ke hotel bintang lima, makan sambil mendengar musik hidup. Pokoknya romantis dan intelek sekali rasanya.
Setelah pacaran dengan PI, saya jadi senang berdandan rapi, pandai membeli buku bagus, berdiskusi tentang topik yang sedang in, dan rasanya kebutuhan menambah wawasan juga bertambah. Kenapa saya tidak melepaskan PS? Karena, dalam memenuhi kebutuhan sebagai perempuan, saya merasa PS lebih mampu membuat saya merasa aman, terlindungi dan punya seseorang yang membimbing saya. Kekurangannya adalah ‘kurang keren’ dan tak se-intelek PI. Cemburunya juga membuat saya ge-er, gede rasa bahwa saya ini benar-benar dijaganya dengan baik. Pendeknya, saya tidak deg-degan dan bertanya-tanya dalam hati, apakah ia serius menganggap saya berarti baginya. Mungkin, ini juga yang membuat saya cenderung menggampangkan, PS ya, Bu. Kalau meremehkan, sih, saya rasa tidak.
Sementara PI, karena berjiwa modern, ingin agar saya benar-benar bisa merasa sejajar dengan dirinya. Berusaha demokratis dan tak pernah mencoba mengetahui sisi pribadi saya, kalau saya tidak memulainya. Misalnya, ia tak minta saya perkenalkan pada orang tua, tetapi tidak menolak ketika saya kenalkan. Ia selalu menjaga agar hidup pribadi saya, privasi saya, tidak terganggu olehnya. Juga tak bertanya mengenai masa lalu saya, karena ia juga tidak senang kalau saya mencoba menggali lebih dalam tentang masa lalunya.
Ia beranggapan, yang penting adalah masa kini dan yang akan datang. Karena kedua orang tuanya sudah meninggal dan saya tak tahu ia bersaudara berapa, saya praktis belum mengenal saudara PI sama sekali. Beda benar dengan PS yang sudah saya kenal seluruh keluarganya, bahkan juga kakek dan neneknya serta tetangganya di masa kecil, di kota kelahirannya dulu.
Tentu saja PI lebih pandai membuat saya melambung ke langit dengan kiriman bunganya, kunjungan, dan hadiah yang penuh surprise dan kata-kata yang jelas mengekspresikan rasa cintanya pada saya. Yang ini, tak pernah terucapkan oleh PS. Kami lebih banyak bicara tentang bagaimana strategi penjualan yang dapat kami terapkan dalam pekerjaan, agar beroleh komisi tinggi dan cepat punya uang untuk bekal menikah. Tentang menikah, PI memberi ‘tanda’ secara tak langsung bahwa ia belum ingin terikat, karena ia keras sekali menganjurkan agar saya bersekolah lagi.
Bukankah saya jadi punya tiga pilihan, Bu? Menikah dengan PS, yang juga berarti karier saya selesai sampai di sini. Saya juga tidak suka membayangkan kalau setelah menikah masih harus berjauhan dengan PS. Kalau toh saya bekerja lagi, tampaknya ini berarti saya membantu bisnisnya. Dan saya pun harus tinggal di kota tempat PS sekarang berbisnis.
Melanjutkan sekolah, bisa mengandung konsekuensi kehilangan PS, karena ia sudah berkali-kali mengatakan sudah lelah berpacaran dan ingin cepat mapan berkeluarga. Walaupun kalau saya sekolah lagi, saya yakin wawasan saya akan bertambah baik dan bukan tidak mungkin, karier pun akan makin melejit. Di kantor saya belum ada perempuan berpendidikan S-2 di jalur sales ini.
Memilih tetap berpacaran dengan PI tetap saja membuat saya gamang, karena tidak merasa 100 persen yakin bahwa saya ini bukan teman isengnya, melainkan ia punya niat serius pada saya. Mudah-mudahan, saya bukan tipe perempuan yang takut dikejar usia, Bu, tetapi kalau harus begini-begini terus untuk 3 atau 4 tahun mendatang, sementara ada pria yang mapan dan jelas-jelas mencintai saya dan mengajak kawin, bukankah tolol namanya kalau saya memilih berada dalam ketidakpastian?
Ternyata, makin lama saya makin merasa bahwa beban ini berat, Bu, sehingga akhir-akhir ini di pekerjaan juga mulai tidak fokus. Saat bersama PS pun terkadang ada rasa bersalah, sementara sewaktu bersama PI juga bertanya-tanya, dia ini sebenarnya siapa? Karena upaya saya untuk mengenali lebih jauh dirinya selama ini tak membuahkan hasil apa-apa.
Bu Rieny bantu saya, ya? Terimakasih.
****************
Jawaban :
Orang yang masih punya peluang untuk memilih biasanya adalah orang yang berbahagia, karena ada banyak perempuan yang merasa tak punya pilihan dan kemudian menjalani hidupnya dengan penuh keterpaksaan. Ternyata, punya banyak pilihan juga memberi peluang untuk bingung, ya Linda? Bingung karena tampaknya di semua alternatif pilihan yang tersedia, Linda tetap saja punya unsur ketidakpastian. Namanya juga bicara soal manusia, memang tak mungkin ada yang 100 persen pasti.
Tetapi, adalah juga sebuah kenyataan bahwa lebih banyak manusia yang memilih dan kemudian tidak menyesali pilihannya, dibanding mereka yang dapat dikatakan ‘salah pilih’. Kenapa? Coba, deh Linda cermati, bukankah Linda akan mendapati bahwa mereka yang tergesa-gesa membuat keputusan, artinya tidak disertai keinginan untuk mencari informasi terkait sebanyak mungkin, sekaligus jujur terhadap diri sendiri, biasanya akan merasa salah pilih. Kenapa? Karena sewaktu menetapkan pilihan itu ia tak menelaah secara baik, kebutuhan apa di dalam dirinya yang akan terpenuhi dengan menjatuhkan pilihan tadi. Kalau memilih atau memutuskan sesuatu lebih karena desakan hal-hal di luar diri, besar pula kemungkinan untuk salah pilih. Dan lebih parah lagi kalau ternyata malah orang lain yang memilihkan untuk kita!
Dalam kaitan dengan pilihan yang menyangkut keputusan penting dalam hidup, yang paling dulu harus Anda pahami dengan benar adalah diri Anda sendiri. Kalau kita menyebut L dan I dan N dan D dan A yang jago jualan itu, sebenarnya kita sedang bicara tentang sosok yang seperti apa? Apa yang ia jadikan tujuan hidupnya, apa yang ia inginkan untuk masa depannya, bagaimana cara ia ingin mencapainya? Lebih penting lagi, apa yang menjadi kelebihan dan apa pula kelemahan dan kekurangannya sebagai manusia?
Kemudian, untuk yang namanya perkawinan, bagaimana ‘seorang Linda’ menghayati dan memberi makna pada ikatan itu? Makin jelas jawabannya, makin tahulah Linda menempatkan dirinya dalam kancah pilihan-pilihan hidup yang harus diambil. Linda akan dikatakan memilih dengan benar dan bijaksana, kalau ternyata lebih banyak sisi positif yang menyertai keputusan atau pilihan yang akhirnya Linda ambil.
Bagaimana agar pilihan itu tidak meleset jauh dari apa yang Linda pikirkan dan harapkan di masa depan? Jawabannya kembali ke diri Linda lagi. Makin tahu apa yang akan Linda peroleh dengan memilih salah satu itu, makin mantap Linda kelak menjalaninya. Titik paling rawan sebenarnya ada di sini, karena manusia (terutama perempuan) banyak sekali membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya atas dasar keyakinan dan pemahaman yang tidak realistis tentang kenyataan yang tersaji di hadapannya.
Tentang memilih pasangan, misalnya. Kalau Linda pada dasarnya adalah perempuan romantis yang mengharapkan akan terpenuhi kebutuhan romantismenya melalui perkawinan, salah besar bila memilih PS yang tampaknya (seperti kebanyakan pria) adalah sosok yang praktis-praktis saja dalam memandang hidup dan perkawinan.
Tetapi, kalau Linda yakin bahwa dengan sebuah perkawinan akan memperoleh kebutuhan menjalin kebersamaan dengan seseorang, sekaligus memenuhi kebutuhan untuk sandang, pangan, papan dan lebih jauh lagi kepastian bahwa suaminya tak mudah jatuh cinta pada perempuan lain, kurang bijak bila memilih pria yang lancar sekali mulutnya mengeluarkan rayuan-rayuan yang membuai perempuan ke langit. Biasanya, pria begini mudah pula mengulang hal yang sama pada perempuan lain yang sedang digandrunginya!
Bagaimana dengan faktor-faktor di diri pasangan atau calon teman hidup? Perlu jelas kita ketahui bagaimana ia memaknai sebuah perkawinan. Apa arti menikah untuk pacar kita? Kalau kita punya banyak kesamaan di sini, akan lebih mudah untuk memproses rasa saling memahami antara keduanya, ketimbang kalau pemahaman tentang sebuah perkawinan itu berbeda jauh antara keduanya.
Lalu, karena ini akan menjadi kontrak berjangka panjang, bahkan seumur hidup (bukankah harapan kita bila menikah adalah sekali untuk sepanjang hidup), ingat-ingat pula bahwa manusia selalu berubah dan berkembang. Akankah kita, suami dan istri, berkembang bersama hingga 10 atau 15 tahun lagi, tidak tercipta kesenjangan akibat tingkat pendidikan, latar belakang, minat maupun keterampilan mencari uang yang berbeda?
Di usia Anda, mestinya aspek-aspek yang saling terkait juga sudah makin kompleks. Ada karier di sana, ada pula kebutuhan untuk menambah gelar, sementara dalam pekerjaan sendiri, kalau gelar bertambah, Anda pasti memperoleh peluang yang lebih besar. Bagaimana lalu Anda mengompensasikan peluang-peluang ini, sekiranya ini lalu hilang karena Anda harus ikut suami?
Anda tidak bertanya pada saya, bagaimana kalau saya menjadi Linda, apa keputusan yang akan saya ambil? Tetapi, saya ingin berbagi, bagaimana kalau saya menjadi Linda. Yang pertama, saya akan mengatakan pada diri saya, ‘’Kayaknya saya belum punya cukup kadar kesetiaan pada pacar saya. Buktinya, aku pacaran lagi begitu si PS jauh." Lalu, saya juga akan putuskan hubungan dengan PI, karena toh saya juga tidak kunjung merasa mantap berjalan beriringan dengannya. Buktinya, saya tetap saja mempertahankan PS-ku nun jauh di luar pulau. Tidakkah ini berarti bahwa ia juga punya arti yang sebanding dengan PI yang tampak intelek ini?
Kalau saya jadi Linda, saya juga akan berpikir keras, jangan-jangan saya bukannya suka dan jatuh cinta, tetapi karena PI bisa menyajikan pengalaman yang sama sekali berbeda dengan apa yang saya jalani selama ini dengan PS, maka saya terkagum-kagum sekaligus tersanjung. Dekat dengannya lalu menimbulkan rasa nyaman, tetapi mungkiiiiin, ini bukan cinta, lho. Cuma sesuatu yang berbeda saja dari apa yang dialami dan dijalani selama ini.
Nah, bukankah ini lalu akan membawa Linda ke pemikiran tentang apa CINTA itu sebenarnya? Buat deh daftarnya, perasaan yang menyertainya, dan seberapa PI maupun PS bisa memenuhinya. Kalau semuanya ternyata tidak memberi keyakinan yang cukup memadai, tak apa juga, kan kalau tidak memilih dua-duanya dan sekolah lagi? Wah, kalau tentang yang ini, jangan ikut-ikut kata saya, ya Linda, karena kata akhir harus tetap Linda yang menentukan.
Dengan demikian, apapun risiko yang kelak ditimbulkan oleh pilihan ini, Linda tak akan menyalahkan siapa-siapa, melainkan diri Linda sendiri. Bagaimana kalau kali ini "ilmu sales"nya dipakai? Satu pertanyaan saja yang dijawab Linda sayang, kenapa orang memutuskan untuk membeli? Bukankah mestinya bukan hanya karena SUKA? Nah, mudah-mudahan Linda juga teliti sebelum membeli, eh salah, sebelum membuat pilihan. Salam sayang.
Rieny
Sumber : Nova
Saya seorang gadis (28), bekerja di bidang sales yang membuat saya harus bertemu banyak orang. Banyak bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri, kalau kantor mengirim saya mengikuti pameran atau seminar yang dapat menambah wawasan. Kantor tempat saya kerja memang amat mendukung pengembangan karier saya.
Bayangkan, Bu, saya cuma lulusan semacam sekolah kepandaian putri, tetapi karena prestasi dan target selalu tercapai, saya disekolahkan hingga memperoleh gelar S-1. Kalau saya mau, saya juga diizinkan sekolah ke jenjang berikutnya, asalkan target penjualan tetap tercapai. Dibandingkan teman-teman yang masuk bersama saya, apa yang saya peroleh sudah amat lumayan, bahkan teman perempuan sudah drop out semua, karena kawin maupun karena tak bisa mencapai target.
Pacar serius saya adalah teman seangkatan yang kini sudah keluar dan membuka usaha sendiri di luar pulau Jawa. Memang sih kota besar, tetapi, kan tidak seperti di Jawa. Saya sudah beberapa kali liburan ke sana, tapi setelah 3 hari, saya pusing tujuh keliling, apa yang harus saya kerjakan? Tak bisa saya bayangkan, apa yang terjadi kalau saya juga harus tinggal di sana karena menikah dengan PS ini (pacar serius). Padahal, usahanya sudah mapan dan selama 7 tahun pacaran, sudah 3 tahun kami berpisah, tetapi tetap berhubungan.
Ia sudah mulai bicara tentang perkawinan, Bu, tetapi saya masih asyik dengan pekerjaan dan, yang satu ini, Bu, yaitu pacar iseng-iseng saya (PI).
Kalau PS adalah pekerja keras dan tukang jualan seperti saya, maka PI adalah pegawai kantoran (jangan ditulis ya, Bu aktivitas spesifiknya). Bukankah Ibu sepakat dengan saya kalau pekerjaannya tidak seperti saya yang kadang harus menjelajahi pertokoan, maupun pasar tradisional untuk berjualan?
Dengan PI, saya sudah dekat sejak 2 tahun terakhir, sehingga jujur hanya setahun saya "setia" sejak berpisah dengan PS. Di tahun kedua ia pindah, saya sudah akrab dengan PI. Dunianya sungguh berbeda dengan dunia saya. Ia serius, terpelajar, hobi membaca, mendengarkan musik klasik dan menonton pameran lukisan.
Kalau saya diajak makan malam dengan teman-temannya, tidak di restoran cepat saji seperti yang selalu saya lakukan dengan PS yang serba praktis, sekalian mengunjungi outlet penjualannya. Kami pergi ke hotel bintang lima, makan sambil mendengar musik hidup. Pokoknya romantis dan intelek sekali rasanya.
Setelah pacaran dengan PI, saya jadi senang berdandan rapi, pandai membeli buku bagus, berdiskusi tentang topik yang sedang in, dan rasanya kebutuhan menambah wawasan juga bertambah. Kenapa saya tidak melepaskan PS? Karena, dalam memenuhi kebutuhan sebagai perempuan, saya merasa PS lebih mampu membuat saya merasa aman, terlindungi dan punya seseorang yang membimbing saya. Kekurangannya adalah ‘kurang keren’ dan tak se-intelek PI. Cemburunya juga membuat saya ge-er, gede rasa bahwa saya ini benar-benar dijaganya dengan baik. Pendeknya, saya tidak deg-degan dan bertanya-tanya dalam hati, apakah ia serius menganggap saya berarti baginya. Mungkin, ini juga yang membuat saya cenderung menggampangkan, PS ya, Bu. Kalau meremehkan, sih, saya rasa tidak.
Sementara PI, karena berjiwa modern, ingin agar saya benar-benar bisa merasa sejajar dengan dirinya. Berusaha demokratis dan tak pernah mencoba mengetahui sisi pribadi saya, kalau saya tidak memulainya. Misalnya, ia tak minta saya perkenalkan pada orang tua, tetapi tidak menolak ketika saya kenalkan. Ia selalu menjaga agar hidup pribadi saya, privasi saya, tidak terganggu olehnya. Juga tak bertanya mengenai masa lalu saya, karena ia juga tidak senang kalau saya mencoba menggali lebih dalam tentang masa lalunya.
Ia beranggapan, yang penting adalah masa kini dan yang akan datang. Karena kedua orang tuanya sudah meninggal dan saya tak tahu ia bersaudara berapa, saya praktis belum mengenal saudara PI sama sekali. Beda benar dengan PS yang sudah saya kenal seluruh keluarganya, bahkan juga kakek dan neneknya serta tetangganya di masa kecil, di kota kelahirannya dulu.
Tentu saja PI lebih pandai membuat saya melambung ke langit dengan kiriman bunganya, kunjungan, dan hadiah yang penuh surprise dan kata-kata yang jelas mengekspresikan rasa cintanya pada saya. Yang ini, tak pernah terucapkan oleh PS. Kami lebih banyak bicara tentang bagaimana strategi penjualan yang dapat kami terapkan dalam pekerjaan, agar beroleh komisi tinggi dan cepat punya uang untuk bekal menikah. Tentang menikah, PI memberi ‘tanda’ secara tak langsung bahwa ia belum ingin terikat, karena ia keras sekali menganjurkan agar saya bersekolah lagi.
Bukankah saya jadi punya tiga pilihan, Bu? Menikah dengan PS, yang juga berarti karier saya selesai sampai di sini. Saya juga tidak suka membayangkan kalau setelah menikah masih harus berjauhan dengan PS. Kalau toh saya bekerja lagi, tampaknya ini berarti saya membantu bisnisnya. Dan saya pun harus tinggal di kota tempat PS sekarang berbisnis.
Melanjutkan sekolah, bisa mengandung konsekuensi kehilangan PS, karena ia sudah berkali-kali mengatakan sudah lelah berpacaran dan ingin cepat mapan berkeluarga. Walaupun kalau saya sekolah lagi, saya yakin wawasan saya akan bertambah baik dan bukan tidak mungkin, karier pun akan makin melejit. Di kantor saya belum ada perempuan berpendidikan S-2 di jalur sales ini.
Memilih tetap berpacaran dengan PI tetap saja membuat saya gamang, karena tidak merasa 100 persen yakin bahwa saya ini bukan teman isengnya, melainkan ia punya niat serius pada saya. Mudah-mudahan, saya bukan tipe perempuan yang takut dikejar usia, Bu, tetapi kalau harus begini-begini terus untuk 3 atau 4 tahun mendatang, sementara ada pria yang mapan dan jelas-jelas mencintai saya dan mengajak kawin, bukankah tolol namanya kalau saya memilih berada dalam ketidakpastian?
Ternyata, makin lama saya makin merasa bahwa beban ini berat, Bu, sehingga akhir-akhir ini di pekerjaan juga mulai tidak fokus. Saat bersama PS pun terkadang ada rasa bersalah, sementara sewaktu bersama PI juga bertanya-tanya, dia ini sebenarnya siapa? Karena upaya saya untuk mengenali lebih jauh dirinya selama ini tak membuahkan hasil apa-apa.
Bu Rieny bantu saya, ya? Terimakasih.
****************
Jawaban :
Orang yang masih punya peluang untuk memilih biasanya adalah orang yang berbahagia, karena ada banyak perempuan yang merasa tak punya pilihan dan kemudian menjalani hidupnya dengan penuh keterpaksaan. Ternyata, punya banyak pilihan juga memberi peluang untuk bingung, ya Linda? Bingung karena tampaknya di semua alternatif pilihan yang tersedia, Linda tetap saja punya unsur ketidakpastian. Namanya juga bicara soal manusia, memang tak mungkin ada yang 100 persen pasti.
Tetapi, adalah juga sebuah kenyataan bahwa lebih banyak manusia yang memilih dan kemudian tidak menyesali pilihannya, dibanding mereka yang dapat dikatakan ‘salah pilih’. Kenapa? Coba, deh Linda cermati, bukankah Linda akan mendapati bahwa mereka yang tergesa-gesa membuat keputusan, artinya tidak disertai keinginan untuk mencari informasi terkait sebanyak mungkin, sekaligus jujur terhadap diri sendiri, biasanya akan merasa salah pilih. Kenapa? Karena sewaktu menetapkan pilihan itu ia tak menelaah secara baik, kebutuhan apa di dalam dirinya yang akan terpenuhi dengan menjatuhkan pilihan tadi. Kalau memilih atau memutuskan sesuatu lebih karena desakan hal-hal di luar diri, besar pula kemungkinan untuk salah pilih. Dan lebih parah lagi kalau ternyata malah orang lain yang memilihkan untuk kita!
Dalam kaitan dengan pilihan yang menyangkut keputusan penting dalam hidup, yang paling dulu harus Anda pahami dengan benar adalah diri Anda sendiri. Kalau kita menyebut L dan I dan N dan D dan A yang jago jualan itu, sebenarnya kita sedang bicara tentang sosok yang seperti apa? Apa yang ia jadikan tujuan hidupnya, apa yang ia inginkan untuk masa depannya, bagaimana cara ia ingin mencapainya? Lebih penting lagi, apa yang menjadi kelebihan dan apa pula kelemahan dan kekurangannya sebagai manusia?
Kemudian, untuk yang namanya perkawinan, bagaimana ‘seorang Linda’ menghayati dan memberi makna pada ikatan itu? Makin jelas jawabannya, makin tahulah Linda menempatkan dirinya dalam kancah pilihan-pilihan hidup yang harus diambil. Linda akan dikatakan memilih dengan benar dan bijaksana, kalau ternyata lebih banyak sisi positif yang menyertai keputusan atau pilihan yang akhirnya Linda ambil.
Bagaimana agar pilihan itu tidak meleset jauh dari apa yang Linda pikirkan dan harapkan di masa depan? Jawabannya kembali ke diri Linda lagi. Makin tahu apa yang akan Linda peroleh dengan memilih salah satu itu, makin mantap Linda kelak menjalaninya. Titik paling rawan sebenarnya ada di sini, karena manusia (terutama perempuan) banyak sekali membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya atas dasar keyakinan dan pemahaman yang tidak realistis tentang kenyataan yang tersaji di hadapannya.
Tentang memilih pasangan, misalnya. Kalau Linda pada dasarnya adalah perempuan romantis yang mengharapkan akan terpenuhi kebutuhan romantismenya melalui perkawinan, salah besar bila memilih PS yang tampaknya (seperti kebanyakan pria) adalah sosok yang praktis-praktis saja dalam memandang hidup dan perkawinan.
Tetapi, kalau Linda yakin bahwa dengan sebuah perkawinan akan memperoleh kebutuhan menjalin kebersamaan dengan seseorang, sekaligus memenuhi kebutuhan untuk sandang, pangan, papan dan lebih jauh lagi kepastian bahwa suaminya tak mudah jatuh cinta pada perempuan lain, kurang bijak bila memilih pria yang lancar sekali mulutnya mengeluarkan rayuan-rayuan yang membuai perempuan ke langit. Biasanya, pria begini mudah pula mengulang hal yang sama pada perempuan lain yang sedang digandrunginya!
Bagaimana dengan faktor-faktor di diri pasangan atau calon teman hidup? Perlu jelas kita ketahui bagaimana ia memaknai sebuah perkawinan. Apa arti menikah untuk pacar kita? Kalau kita punya banyak kesamaan di sini, akan lebih mudah untuk memproses rasa saling memahami antara keduanya, ketimbang kalau pemahaman tentang sebuah perkawinan itu berbeda jauh antara keduanya.
Lalu, karena ini akan menjadi kontrak berjangka panjang, bahkan seumur hidup (bukankah harapan kita bila menikah adalah sekali untuk sepanjang hidup), ingat-ingat pula bahwa manusia selalu berubah dan berkembang. Akankah kita, suami dan istri, berkembang bersama hingga 10 atau 15 tahun lagi, tidak tercipta kesenjangan akibat tingkat pendidikan, latar belakang, minat maupun keterampilan mencari uang yang berbeda?
Di usia Anda, mestinya aspek-aspek yang saling terkait juga sudah makin kompleks. Ada karier di sana, ada pula kebutuhan untuk menambah gelar, sementara dalam pekerjaan sendiri, kalau gelar bertambah, Anda pasti memperoleh peluang yang lebih besar. Bagaimana lalu Anda mengompensasikan peluang-peluang ini, sekiranya ini lalu hilang karena Anda harus ikut suami?
Anda tidak bertanya pada saya, bagaimana kalau saya menjadi Linda, apa keputusan yang akan saya ambil? Tetapi, saya ingin berbagi, bagaimana kalau saya menjadi Linda. Yang pertama, saya akan mengatakan pada diri saya, ‘’Kayaknya saya belum punya cukup kadar kesetiaan pada pacar saya. Buktinya, aku pacaran lagi begitu si PS jauh." Lalu, saya juga akan putuskan hubungan dengan PI, karena toh saya juga tidak kunjung merasa mantap berjalan beriringan dengannya. Buktinya, saya tetap saja mempertahankan PS-ku nun jauh di luar pulau. Tidakkah ini berarti bahwa ia juga punya arti yang sebanding dengan PI yang tampak intelek ini?
Kalau saya jadi Linda, saya juga akan berpikir keras, jangan-jangan saya bukannya suka dan jatuh cinta, tetapi karena PI bisa menyajikan pengalaman yang sama sekali berbeda dengan apa yang saya jalani selama ini dengan PS, maka saya terkagum-kagum sekaligus tersanjung. Dekat dengannya lalu menimbulkan rasa nyaman, tetapi mungkiiiiin, ini bukan cinta, lho. Cuma sesuatu yang berbeda saja dari apa yang dialami dan dijalani selama ini.
Nah, bukankah ini lalu akan membawa Linda ke pemikiran tentang apa CINTA itu sebenarnya? Buat deh daftarnya, perasaan yang menyertainya, dan seberapa PI maupun PS bisa memenuhinya. Kalau semuanya ternyata tidak memberi keyakinan yang cukup memadai, tak apa juga, kan kalau tidak memilih dua-duanya dan sekolah lagi? Wah, kalau tentang yang ini, jangan ikut-ikut kata saya, ya Linda, karena kata akhir harus tetap Linda yang menentukan.
Dengan demikian, apapun risiko yang kelak ditimbulkan oleh pilihan ini, Linda tak akan menyalahkan siapa-siapa, melainkan diri Linda sendiri. Bagaimana kalau kali ini "ilmu sales"nya dipakai? Satu pertanyaan saja yang dijawab Linda sayang, kenapa orang memutuskan untuk membeli? Bukankah mestinya bukan hanya karena SUKA? Nah, mudah-mudahan Linda juga teliti sebelum membeli, eh salah, sebelum membuat pilihan. Salam sayang.
Rieny
Sumber : Nova
Tidak ada komentar:
Posting Komentar