Permasalahan :
Saya sudah menikah delapan tahun, punya dua putri.Usia saya dan suami sama, 28 tahun. Selama ini, saya dan anak-anak tinggal di Jawa Tengah bersama dengan orang tua saya.
Mulai Juli 2001 ini, saya dan anak-anak diboyong ke Jakarta. Masalahnya, saya merasa bingung dengan kehidupan saya di Jakarta ini, saya selalu merasa kekurangan (karena setelah dianggarkan, gaji suami tidak mencukupi keperluan sehari-hari; untuk bayar sekolah anak-anak, pembantu dan lain-lain).
Saya sebelumnya selalu merasa kecukupan karena di rumah orangtua, saya tidak memikirkan kebutuhan makan sehari-hari, rekening-rekening, sehingga uang dari suami terasa lebih dari cukup. Suami sendiri kelihatan santai-santai saja walaupun sudah berhutang ke sana ke mari. Saya takut dengan kelangsungan hidup saya. Rumah ortu selalu terbuka untuk saya dan anak-anak (toh mereka juga sangat kesepian ditinggal cucu-cucunya).
Saya sekarang sedang hamil tiga bulan, kehamilan yang direncanakan satu tahun yang lalu justru didapat saat kami merasa kurang siap. Kadang-kadang saya sangat ingin berlari pulang ke Jawa tapi saya kasihan pada suami. Sementara fihak keluarga suami yang memang kaya, tidak mau tahu dengan keadaan kami (di rumah mertua yang besar dan hanya ada adik bungsunya, ada tiga buah tv, sementara di rumah kami tidak ada dan anak-anak merengek minta tv, suamipun masih malu untuk bilang pinjam tv bahkan untuk ke sana (sama-sama di Cempaka Putih), mengantar anak-anak melihat tv pun suami malu. Tolong saya harus bagaimana menghadapi hari-hari yang terasa berat ini.
***************
Jawaban:
Dari penuturan Anda dapat dirasakan suami Anda kurang mendukung memanfaatkan hubungan kekeluargaan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi seperti TV. Agaknya pendekatan kekeluargaan untuk pemenuhaan kebutuhan pribadi merupakan kebiasaan Anda waktu di Jawa.
Kemungkinan besar cara itu bukan kebiasaan fihak suami (dan tidak harus menjadi kebiasaan mereka). Sekarang yang utama adalah hubungan ke dalam, yaitu hubungan antara suami-isteri dan anak-anak, jadilah satu kesatuan untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan keluarga inti ini karena merupakan tanggung jawab pertama.
Pengalaman Anda di Jawa kelihatannya harus diubah dengan kedekatan kepada suami dan bila lebih utuh hubungannya maka niscaya semua kebutuhan akan terpenuhi. Pemikiran-pemikiran lama, karena kebiasaan lama itulah yang cenderung membelenggu dan membatasi kemampuan manusia untuk memperoleh segala yang dibutuhkan. Tentu sikap ini harus didukung oleh kekuatan keiimanan (faith) yaitu selain pada Maha Pencipta juga pada kemampuan pribadi untuk dapat mengatasi segala kekurangan dan rintangan. Keraplah berdoa bersama dan juga ajak anak-anak (meski masih kecil) untuk turut berdoa dan membayangkan keluarga yang mandiri dan sejahtera.
Kekuatan pribadi itulah yang harus dibangun di dalam setiap keluarga agar tidak perlu bersandar pada siapapun atau apapun selain yang Maha Kuasa dan kekuatan keluarga sendiri. Doa kami, agar tidak lama lagi Anda sekeluarga dalam keadaan kesejahteraan yang membawa berkah. Amien.
Pamugari Widyastuti
Sumber : Kompas Cybers Media
Saya sudah menikah delapan tahun, punya dua putri.Usia saya dan suami sama, 28 tahun. Selama ini, saya dan anak-anak tinggal di Jawa Tengah bersama dengan orang tua saya.
Mulai Juli 2001 ini, saya dan anak-anak diboyong ke Jakarta. Masalahnya, saya merasa bingung dengan kehidupan saya di Jakarta ini, saya selalu merasa kekurangan (karena setelah dianggarkan, gaji suami tidak mencukupi keperluan sehari-hari; untuk bayar sekolah anak-anak, pembantu dan lain-lain).
Saya sebelumnya selalu merasa kecukupan karena di rumah orangtua, saya tidak memikirkan kebutuhan makan sehari-hari, rekening-rekening, sehingga uang dari suami terasa lebih dari cukup. Suami sendiri kelihatan santai-santai saja walaupun sudah berhutang ke sana ke mari. Saya takut dengan kelangsungan hidup saya. Rumah ortu selalu terbuka untuk saya dan anak-anak (toh mereka juga sangat kesepian ditinggal cucu-cucunya).
Saya sekarang sedang hamil tiga bulan, kehamilan yang direncanakan satu tahun yang lalu justru didapat saat kami merasa kurang siap. Kadang-kadang saya sangat ingin berlari pulang ke Jawa tapi saya kasihan pada suami. Sementara fihak keluarga suami yang memang kaya, tidak mau tahu dengan keadaan kami (di rumah mertua yang besar dan hanya ada adik bungsunya, ada tiga buah tv, sementara di rumah kami tidak ada dan anak-anak merengek minta tv, suamipun masih malu untuk bilang pinjam tv bahkan untuk ke sana (sama-sama di Cempaka Putih), mengantar anak-anak melihat tv pun suami malu. Tolong saya harus bagaimana menghadapi hari-hari yang terasa berat ini.
***************
Jawaban:
Dari penuturan Anda dapat dirasakan suami Anda kurang mendukung memanfaatkan hubungan kekeluargaan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi seperti TV. Agaknya pendekatan kekeluargaan untuk pemenuhaan kebutuhan pribadi merupakan kebiasaan Anda waktu di Jawa.
Kemungkinan besar cara itu bukan kebiasaan fihak suami (dan tidak harus menjadi kebiasaan mereka). Sekarang yang utama adalah hubungan ke dalam, yaitu hubungan antara suami-isteri dan anak-anak, jadilah satu kesatuan untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan keluarga inti ini karena merupakan tanggung jawab pertama.
Pengalaman Anda di Jawa kelihatannya harus diubah dengan kedekatan kepada suami dan bila lebih utuh hubungannya maka niscaya semua kebutuhan akan terpenuhi. Pemikiran-pemikiran lama, karena kebiasaan lama itulah yang cenderung membelenggu dan membatasi kemampuan manusia untuk memperoleh segala yang dibutuhkan. Tentu sikap ini harus didukung oleh kekuatan keiimanan (faith) yaitu selain pada Maha Pencipta juga pada kemampuan pribadi untuk dapat mengatasi segala kekurangan dan rintangan. Keraplah berdoa bersama dan juga ajak anak-anak (meski masih kecil) untuk turut berdoa dan membayangkan keluarga yang mandiri dan sejahtera.
Kekuatan pribadi itulah yang harus dibangun di dalam setiap keluarga agar tidak perlu bersandar pada siapapun atau apapun selain yang Maha Kuasa dan kekuatan keluarga sendiri. Doa kami, agar tidak lama lagi Anda sekeluarga dalam keadaan kesejahteraan yang membawa berkah. Amien.
Pamugari Widyastuti
Sumber : Kompas Cybers Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar