twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Setiap saat disadari atau tidak, disengaja atau tidak, berbagai permasalahan datang dan tersimpan dalam hati. Terkadang membuat dada sesak dan kepala penat. Mungkin permasalahan yang Anda hadapi mirip atau pernah dialami rekan yang lain. Melalui blog konsultasi psikologi ini diharapkan Anda menemukan jawaban yang menjadi solusi atau pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang Anda hadapi.

Konsultasi Psikologi Update:

Tulis Topik Permasalahan Anda

Takut Pulang Setelah "Dilangkahi" Adik

Permasalahan :

Saya karyawati perusahaan swasta berusia 28 tahun, sulung dari lima bersaudara. Sudah dua kali saya dilangkahi adik. Buat saya tak masalah, namun bagi Mama dan Papa saya ini masalah serius (kami berasal dari suku Jawa). Namun berkat alasan-alasan yang saya utarakan, akhirnya mereka merestui pernikahan kedua adik saya.

Sebenarnya, saat ini saya bahagia, karena di antara kami sudah ada yang berkeluarga. Bagaimanapun, inilah yang diharapkan oleh Mama dan Papa. Akan tetapi di balik kebahagiaan itu, ada gelisah yang menyelimuti saya akhir-akhir ini. Saya pun jadi pendiam. Sering saya berlama-lama melamun di kantor yang berakibat pekerjaan terganggu.
Semuanya berawal ketika adik saya yang kedua hendak menikah. Papa berharap, setelah itu sayalah yang menyusul berumah tangga. Papa ingin setahun lagi saya sudah bersuami. Saya sanggupi, karena saya tak ingin pernikahan adik jadi batal.

Kini mendadak saya sadari, semua keinginan Papa dan Mama belum dapat saya penuhi. Saya merasa belum siap menikah, entah sampai kapan. Mungkin saya terlalu egois, Bu, terlalu mementingkan diri sendiri. Tapi saya punya alasan kenapa masih ingin sendiri.
Pertama, saya belum dapat menerima kehadiran orang lain dalam kehidupan saya. Masih sulit buat saya melupakan memori pilu yang pernah saya alami. Kedua, saya ingin si bungsu setidak-tidaknya sudah tamat SD. Dan yang terakhir, saya ragu apa sanggup mengelola perkawinan yang menurut saya cukup pelik. Saya lihat bagaimana Mama dan Papa sering berselisih, bahkan untuk persoalan sepele sekalipun. Semua ini membuat saya menangis, karena saya sering menjadi tempat mereka menumpahkan perasaan. Ini yang membuat saya serba salah, mana yang harus saya dukung. Bagaimanapun, keduanya adalah orang tua saya.
Saya juga jadi enggan pulang, karena sepertinya seluruh saudara-saudara Mama menghina dan menyudutkan saya karena belum berkeluarga. Juga karena harus menghadapi pertanyaan yang itu-itu saja. Terkadang saya sangat rindu pulang, tapi terpaksa saya pendam. Padahal, biasanya saya pulang kampung seminggu sekali saat libur.

Bu, bagaimana caranya agar saya tidak tertekan lagi? Bagaimana agar mereka tahu apa yang sebenarnya saya rasakan? Apakah mereka lupa, saya adalah tulang punggung keluarga, karena Papa tidak lagi punya pekerjaan tetap? Menunggu sampai si bungsu tamat SD, kan tidak terlalu lama?

Saya juga enggan menghadiri tiap acara yang diadakan sanak keluarga. Buat saya, yang terpenting saya tidak sedih. Itu sudah cukup. Saya juga jadi jarang berkomunikasi dengan Papa dan Mama. Lebih enak di kamar mendengarkan musik.
Mohon beri saya jalan terbaik, Bu. Terima kasih.


***************



Jawaban :
Di musim-musim pernikahan seperti saat ini, lazimnya saya selalu menerima surat senada di atas dari para gadis yang sudah atau akan "dilangkahi" adik-adiknya. Dan kalau melihat surat-surat itu datang dari Sumatra Utara, Jawa Tengah, Sulawesi, Aceh dan juga Bali, tampaknya di negara kita ini masih kental mitos yang mengatakan bahwa kalau seorang perempuan dilangkahi adiknya, maka hidupnya tidak beruntung alias sial.
Juga, seperti nona di Bali, yang orang tuanya sampai malu mengikuti kegiatan sosial karena sang nona belum kunjung menikah. Namanya saja sudah mitos, tak ada landasan kuat untuk mempercayainya, secara akal sehat maupun dikaitkan dengan agama yang dianut.
Namun, di sisi lain, kalau ini dipercaya maka seakan-akan bisa AMPUH, artinya lalu terbukti benar. Waktu saya kecil, Nenek selalu mengingatkan Ibu saya bahwa "Omongan itu doa, apalagi kalau yang bicara seorang ibu!" Biasanya nenek mengingatkan Ibu saya kalau dalam marahnya terlontar kata-kata yang kurang sedap terdengar di telinga.

Lebih besar lagi, ketika usia sudah bertambah, istilah yang terdengar sudah lebih keren, "Jangan men-sugesti diri," begitu katanya. Karena apa yang kita ucapkan biasanya lalu kita yakini sebagai kebenaran. Walaupun mungkin mulanya hanya untuk menyalah-nyalahkan diri, "Ah, aku ini memang bego", atau malah meratapi diri, "Yah… beginilah nasib kakak sulung yang harus banting tulang untuk adik-adiknya. Sudah disekolahkan, eh… sekarang mendahului kawin lagi."

Kemasan-kemasan pikiran dan ujaran negatif ini dalam bahasa Inggris disebut KILLING WORDS, karena pada akhirnya akan menghunjam ke diri si pembicara sendiri. Di dalam ilmu psikologi, kondisi ini dikenal dengan nama SELF-FULFILLING PROPHECHY. Kira-kira artinya: setiap kata-kata atau keyakinan atau sikap terhadap sesuatu maupun kondisi tertentu yang kita bayangkan dan sekaligus yang kita percaya akan terjadi pada diri kita, biasanya berpeluang amat besar untuk benar- benar terjadi.

Asal atau sumbernya bisa dari diri kita sendiri, bisa juga dari apa yang diyakini atau dikatakan oleh lingkungan. Dalam kasus Anda-Anda misalnya, perkataan orang tua, "Aduh, nanti kamu jadi sial kalau adikmu nikah lebih dahulu" yang diucapkan berulang-ulang, pelan-pelan akan masuk ke alam bawah sadar kita dan kita percayai akan terjadi.

Itu bukan karena kita berbakat untuk jadi paranormal, lho. Ini terjadi karena seluruh pikiran, perbuatan dan ucapan kita, lalu kita pas-paskan untuk membuatnya dapat terjadi.
Nah, kalau sudah demikian, yang semestinya tak terjadi pun bisa jadi kenyataan! Dari sinilah pangkal munculnya nasihat yang sudah sering kita dengar: berpikir positif.

Sederhana, tapi implementasinya sukar. Karena sebagai mahluk sosial, manusia selalu punya harapan dan keinginan yang terkait dengan keberadaan kita bersama orang lain di dunia ini. Maka, muncullah keinginan untuk menyenangkan orang tua kita (yang kita RASA sudah sangat menyayangi kita selama ini). Atau untuk merasa tidak nyaman ketika ada kerabat bertanya, ”Kapan, dong Gadis menyusul? Semua teman sebayamu sudah kawin, lho?" Untuk Gadis, ini jadi terasa tidak nyaman, karena tidak ada orang kawin sendirian.

Yang juga menghambat peluang berpikir positif adalah beban akibat tekanan sosial yang berasal dari lingkungan. Orang boleh bilang sekarang zaman globalisasi. Namun ketika bicara soal usia yang layak untuk menikah bagi perempuan, nilai-nilai tradisional masih dipegang. Jadilah, setelah usia 25 tahun perempuan mulai was-was akan jadi perawan tua. Setelah 30, wah… kadaluwarsa, nih. Setelah 40 tahun, kalau ada masalah dengannya pasti ada saja komentar, "Belum kawin sih. Pantas, aja dia jadi ajaib begitu…"

Jadinya, belum menikah tidak dianggap sebagai belum datangnya jodoh, melainkan AIB bagi keluarga. Padahal, kita semua tahu bahwa jodoh itu di tangan Allah.
Saya punya pengalaman pribadi dengan putri saya yang berusia 20 tahun. Suatu hari, saya singgung soal perutnya yang menurut saya sudah perlu latihan fisik untuk mengecilkannya. Dengan nada marah, ia menjawab, "Aku perhatikan, setelah si X kawin, Mama sibuk sekali dengan penampilanku! Apa supaya aku cepat laku!" X adalah sepupunya yang baru nikah dan usianya cuma berbeda setahun darinya.

Tentu saja saya kaget, karena ini tak pernah terlintas di benak saya. Malahan, mimpi saya adalah ia bisa menyelesaikan pendidikan S-2 dulu baru berpikir tentang nikah. Tapi ini pun tak pernah saya ucapkan, karena saya tahu benar, masalah kapan akan menikah adalah AREA SENSITIF bagi seorang gadis.

Nah, bukankah ini berarti bahwa kenyataan yang terjadi di luar dirinya, pernikahan sepupunya, dirasanya sebagai "lampu merah" yang akan meletakkannya dalam "sasaran tembak" lingkungan? Artinya, sebentar lagi akan ada yang mencecar, "Kapan, dong giliran kamu? Kan X sudah kawin?” Tanpa dibebani pun, ini seakan-akan jadi "duri" dalam dagingnya, karena "beban sosial" tadi.

Jadi, saya bisa paham ada di antara Anda yang enggan pulang kampung. Namun ingin saya ingatkan bahwa untuk masalah apa pun, kalau kita mengambil sikap menghindar, maka masalah itu bukannya selesai melainkan bertimbun-timbun. Karena ketidakjelasan tentang perkembangan diri kita malah bisa menimbulkan prasangka yang tidak-tidak, bukan?

Pada Dara, keinginan untuk menunggu adik tamat SD bukanlah sesuatu yang negatif. Tetapi, pada sisi lain, dapat pula saya sebenarnya bertanya, memangnya kalau sudah menikah Dara lalu tak bisa lagi menyumbang SPP adik? Kedua hal ini, kawin dan membiayai sekolah adik, bukan dua hal yang harus dipilih salah satunya, bukan?

Soal contoh kehidupan rumah tangga orang tua, dapat saya pahami membuat Anda ngeri melangkah. Lagi-lagi, kemampuan berpikir positif akan membantu Anda untuk tidak semata melihat sisi yang "menakutkan", tapi juga memetik pelajaran agar kelak setelah menikah sikap-sikap yang Anda tengarai bisa memicu pertikaian bisa dihindari.

Cobalah Anda-Anda tanamkan keyakinan baru di dalam diri bahwa tidak ada AIB yang Anda lakukan dengan belum menikah. Anda toh tidak melanggar aturan agama ataupun masyarakat. Dengan demikian, perasaan "bersalah" seperti yang dirasakan Gadis hendaknya dibuang jauh-jauh. Ingatlah, menikah butuh dua orang dan karenanya kita tak bisa menargetkan diri kapan akan menikah.

Sekali lagi, jangan malu. Tak ada hal tak senonoh yang Anda lakukan. Juga, jangan percaya Anda akan sial kalau "dilangkahi". Seorang adik saya dilangkahi dua adiknya, tapi nyatanya sekarang dia sangat bahagia dengan suami dan anak-anaknya. Dan antara kami bersaudara juga paling kaya. Daftar ini bisa diperpanjang kalau kita rajin menoleh ke sekeliling kita. Banyak, lho, yang pernah keduluan menikah oleh adiknya tapi happy-happy saja hidupnya.

Satu hal lagi, jangan batasi pergaulan, apalagi cuma mendekam di kamar saja. Bagaimana mau dapat jodoh? Jadi, angkat dagu tinggi-tinggi, jangan mudah down oleh omongan orang. Kalau mereka bertanya, jawablah. Misalnya, "Iya, nih, sebenarnya pingin, tapi belum dapet tuh?" Kalau mau lebih serius, "Iya. Tolong doakan, supaya jodoh saya cepat datang." Beres, kan?

Kalau Anda tampak tenang dan bisa menguasai diri, pastilah sikap dan perlakuan lingkungan akan berubah menghargai Anda. Jangan sedih atau bingung lagi, ya? Salam sayang untuk Anda semua yang menulisi saya untuk masalah ini, maupun yang belum sempat menulisi saya tapi juga punya masalah sama.



Rieny
Sumber : Nova

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Widget by LinkWithin