Permasalahan :
Sungguh tidak mudah untuk membuat perkawinan menjadi romantis, terutama apabila berpasangan dengan orang yang suka melecehkan.
"Ibu Leila yang baik, maaf ya, saya akan langsung saja pada persoalan saya yang sudah segunung rasanya. Kami sudah sepuluh tahun menikah, dikaruniai seorang putra yang cerdas. Akhir-akhir ini saya merasa sudah tidak sanggup lagi hidup bersama suami saya, ingin minggat saja rasanya. Sebenarnya soalnya tidak besar, tetapi sungguh membuat saya sakit hati dan ini sering terjadi.
Ada kebiasaannya yang menurut dia tidak buruk adalah sikapnya yang sinis. Suka menertawakan dan omong jelek tentang istrinya dengan tujuan agar orang lain tertawa. Saya sungguh merasa tidak enak, tetapi dia selalu bilang saya tidak punya sense of humor. Lho, sense of humor kok dengan menghina pasangannya, apakah ini yang disebut humor?
Suamiku memang sangat pandai dan teliti melihat kejelekan, tetapi sukar sekali melihat yang baik, apalagi buat mengatakan terima kasih atau maaf. Ah tidak ada di kamusnya. Yang ada adalah ini salah, itu kurang. Misalkan dia undang beberapa orang buat makan di rumah. Saya sudah masak empat atau lima macam makanan, komentarnya, "Kenapa masak banyak? Kenapa enggak satu macam saja?"
Lho, dia mengundang orang untuk makan, kalau tamu cuma disediakan tahu goreng atau cuma disuguhi kerupuk, orang akan bilang apa? Tentu istri lagi yang akan ditertawakan, "Silakan menikmati kebolehan istri saya: goreng kerupuk." Yang malu tentu saya lagi.
Kalau saya sudah mencuci setumpuk pakaian dan kebetulan ada kaus kaki yang tertinggal, langsung komentarnya, "Mengapa ini tidak dicuci, matamu di mana?" Bukan tumpukan besar yang sudah dikerjakan yang dikomentari, tetapi justru yang kecil, yang kebetulan tidak terbawa. Oya, kami tidak mempunyai pembantu.
Kalau kebetulan kami sedang berkendaraan pergi ke suatu tempat baru dan kesasar, dia akan menyalahkan saya. Katanya, "Mama sih diam-diam saja." Kalau saya beri arahnya, dia juga akan menyalahkan saya, "Mama sih yang kasih arah jalan, jadi salah." Rasanya jadi serba salah.
Akan tetapi, masih ada kebaikannya. Dia seorang pekerja keras dan cukup bertanggung jawab. Kalau saya sakit, dia akan memerhatikan dan membelikan obat. Tetapi, apakah saya harus sakit dulu buat mendapatkan perhatiannya? Bu Leila, tolonglah kami."
***************
Jawaban:
Ny D yang baik,
Tentu saja sukar hidup bersama orang yang hobi melecehkan dan jeli melihat kejelekan kita melulu, sambil mengabaikan yang baik-baik. Rasanya bagai dicekoki makanan pahit terus-menerus, siapa tahan?
Kalau ingin suasana lebih mesra, gantilah menu hubungan dengan yang lebih sedap dan bergizi agar dapat menyuburkan sifat yang baik-baik dari pasangan kita. Cobalah kita lihat reaksi dua suami dari istri mereka yang sudah bekerja keras mengerjakan pekerjaan rumah tangga plus menyelesaikan setumpuk cucian dan menyetrikanya.
Suami 1: "Wah, Mama sudah kerja keras nih, mari saya buatkan air jeruk." Istri senang, kelelahannya terobati sebab suaminya memerhatikan dan menghargainya. Tugasnya terasa lebih ringan.
Suami 2: (sambil memegang kaus kaki kotor), "Kenapa ini tidak dicuci, matamu di mana?" Istri sakit hatinya. Sudah bekerja berat, dihina lagi. Ia merasa lebih tersiksa melakukan pekerjaan itu. Tidak jarang istri kembali memaki suaminya, yang dibalas dengan lebih seru lagi, dan seterusnya.
Kalau keadaan ini amat sering terjadi, tentu berbahaya buat kesehatan kedua insan dan perkawinan mereka. Tidak mengherankan bila Dr Gottmann, ahli terapi perkawinan dan peneliti yang canggih tentang kebahagiaan dan kegagalan perkawinan, berpendapat kritik dan penghinaan adalah racun yang dapat merusak perkawinan. Tambah sering dilakukan, tambah berbahaya.
Untuk menyelamatkan perkawinan ini, tampaknya suami (juga istri) perlu berlatih memupuk rasa suka dan kagum kepada pasangannya. Gottman & Nan Silver (The Seven Principles for Making Marriage Work, New York 1999, yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan Penerbit Kaifa, 2001) memberi tiga tahap latihan untuk menumbuhkembangkan rasa suka dan kagum. Intinya sebagai berikut.
Latihan I: Melatih sensitivitas untuk melihat segi yang baik dari pasangan kita.
Latihan ini dikerjakan bersama pasangan. Di dalam secarik kertas ada 72 kata sifat yang baik-baik, seperti menyayangi, cerdas, sensitif, bijaksana, jujur, murah hati, tampan, seksi, energetik, kocak, setia, menyenangkan, mesra, dan tampan. Masing-masing memilih tiga kata yang cocok buat pasangannya dan menuliskan apa peristiwanya, sampai dia memilih kata itu. Kemudian mereka menukar kertas masing-masing dan mendiskusikannya.
Sering kali latihan ini dapat mencairkan suasana yang tegang dan renggang.
Latihan II: Sejarah dan filsafat pernikahan.
Dalam sesi ini, pasangan diminta mendiskusikan bagaimana awal pertemuan mereka. Segi-segi apa saja yang menonjol dari pasangan sampai masing-masing memutuskan menikah dengan pasangan. Apakah kendalanya dan bagaimana mengatasinya. Bicarakanlah bagaimana pernikahan itu, bulan madu, juga transisi menjadi orangtua. Apa masa-masa yang paling membahagiakan dan masa yang sukar, dan bagaimana pasangan dapat mengatasi keadaan sukar itu. Juga melihat kesamaan nilai dan tujuan yang akan dicapai. Bagaimana perkawinan orang lain yang gagal dan bagaimana yang berhasil.
Dalam mengerjakan latihan ini sebagian besar pasangan akan menjadi lunak hatinya dan hubungan menjadi lebih mesra, sebab mengingat awal pengalaman dan perjuangan mereka untuk hidup bersama dan mengenang kembali saat-saat yang membahagiakan tersebut.
Latihan III: Dilaksanakan dalam tujuh minggu.
Latihan ini dirancang untuk membiasakan berpikir positif tentang pasangan Anda. Setiap hari pikirkan tentang satu kebaikan pasangan, baik itu sifat, perbuatan, ataupun pengalaman bersama; ditambah tugas menuliskan peristiwa kebaikan itu atau untuk merencanakan kesenangan bersama. Tambah sering diulang-ulang berbagai pemikiran positif ini tambah baik, sebab pasangan yang bermasalah sering kali dipenuhi berbagai pikiran dan penilaian jelek tentang pasangannya. Tugas tujuh minggu ini untuk mengimbangi dan mengurangi kebiasaan negatif tersebut.
Seperti fisik, mental pun bila sering dilatih jadi lebih terampil. Ny D dan suami, selamat menikmati latihan ini dan melestarikannya!
Leila Ch Budiman
Sumber : Kompas Cyber Media
Sungguh tidak mudah untuk membuat perkawinan menjadi romantis, terutama apabila berpasangan dengan orang yang suka melecehkan.
"Ibu Leila yang baik, maaf ya, saya akan langsung saja pada persoalan saya yang sudah segunung rasanya. Kami sudah sepuluh tahun menikah, dikaruniai seorang putra yang cerdas. Akhir-akhir ini saya merasa sudah tidak sanggup lagi hidup bersama suami saya, ingin minggat saja rasanya. Sebenarnya soalnya tidak besar, tetapi sungguh membuat saya sakit hati dan ini sering terjadi.
Ada kebiasaannya yang menurut dia tidak buruk adalah sikapnya yang sinis. Suka menertawakan dan omong jelek tentang istrinya dengan tujuan agar orang lain tertawa. Saya sungguh merasa tidak enak, tetapi dia selalu bilang saya tidak punya sense of humor. Lho, sense of humor kok dengan menghina pasangannya, apakah ini yang disebut humor?
Suamiku memang sangat pandai dan teliti melihat kejelekan, tetapi sukar sekali melihat yang baik, apalagi buat mengatakan terima kasih atau maaf. Ah tidak ada di kamusnya. Yang ada adalah ini salah, itu kurang. Misalkan dia undang beberapa orang buat makan di rumah. Saya sudah masak empat atau lima macam makanan, komentarnya, "Kenapa masak banyak? Kenapa enggak satu macam saja?"
Lho, dia mengundang orang untuk makan, kalau tamu cuma disediakan tahu goreng atau cuma disuguhi kerupuk, orang akan bilang apa? Tentu istri lagi yang akan ditertawakan, "Silakan menikmati kebolehan istri saya: goreng kerupuk." Yang malu tentu saya lagi.
Kalau saya sudah mencuci setumpuk pakaian dan kebetulan ada kaus kaki yang tertinggal, langsung komentarnya, "Mengapa ini tidak dicuci, matamu di mana?" Bukan tumpukan besar yang sudah dikerjakan yang dikomentari, tetapi justru yang kecil, yang kebetulan tidak terbawa. Oya, kami tidak mempunyai pembantu.
Kalau kebetulan kami sedang berkendaraan pergi ke suatu tempat baru dan kesasar, dia akan menyalahkan saya. Katanya, "Mama sih diam-diam saja." Kalau saya beri arahnya, dia juga akan menyalahkan saya, "Mama sih yang kasih arah jalan, jadi salah." Rasanya jadi serba salah.
Akan tetapi, masih ada kebaikannya. Dia seorang pekerja keras dan cukup bertanggung jawab. Kalau saya sakit, dia akan memerhatikan dan membelikan obat. Tetapi, apakah saya harus sakit dulu buat mendapatkan perhatiannya? Bu Leila, tolonglah kami."
***************
Jawaban:
Ny D yang baik,
Tentu saja sukar hidup bersama orang yang hobi melecehkan dan jeli melihat kejelekan kita melulu, sambil mengabaikan yang baik-baik. Rasanya bagai dicekoki makanan pahit terus-menerus, siapa tahan?
Kalau ingin suasana lebih mesra, gantilah menu hubungan dengan yang lebih sedap dan bergizi agar dapat menyuburkan sifat yang baik-baik dari pasangan kita. Cobalah kita lihat reaksi dua suami dari istri mereka yang sudah bekerja keras mengerjakan pekerjaan rumah tangga plus menyelesaikan setumpuk cucian dan menyetrikanya.
Suami 1: "Wah, Mama sudah kerja keras nih, mari saya buatkan air jeruk." Istri senang, kelelahannya terobati sebab suaminya memerhatikan dan menghargainya. Tugasnya terasa lebih ringan.
Suami 2: (sambil memegang kaus kaki kotor), "Kenapa ini tidak dicuci, matamu di mana?" Istri sakit hatinya. Sudah bekerja berat, dihina lagi. Ia merasa lebih tersiksa melakukan pekerjaan itu. Tidak jarang istri kembali memaki suaminya, yang dibalas dengan lebih seru lagi, dan seterusnya.
Kalau keadaan ini amat sering terjadi, tentu berbahaya buat kesehatan kedua insan dan perkawinan mereka. Tidak mengherankan bila Dr Gottmann, ahli terapi perkawinan dan peneliti yang canggih tentang kebahagiaan dan kegagalan perkawinan, berpendapat kritik dan penghinaan adalah racun yang dapat merusak perkawinan. Tambah sering dilakukan, tambah berbahaya.
Untuk menyelamatkan perkawinan ini, tampaknya suami (juga istri) perlu berlatih memupuk rasa suka dan kagum kepada pasangannya. Gottman & Nan Silver (The Seven Principles for Making Marriage Work, New York 1999, yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan Penerbit Kaifa, 2001) memberi tiga tahap latihan untuk menumbuhkembangkan rasa suka dan kagum. Intinya sebagai berikut.
Latihan I: Melatih sensitivitas untuk melihat segi yang baik dari pasangan kita.
Latihan ini dikerjakan bersama pasangan. Di dalam secarik kertas ada 72 kata sifat yang baik-baik, seperti menyayangi, cerdas, sensitif, bijaksana, jujur, murah hati, tampan, seksi, energetik, kocak, setia, menyenangkan, mesra, dan tampan. Masing-masing memilih tiga kata yang cocok buat pasangannya dan menuliskan apa peristiwanya, sampai dia memilih kata itu. Kemudian mereka menukar kertas masing-masing dan mendiskusikannya.
Sering kali latihan ini dapat mencairkan suasana yang tegang dan renggang.
Latihan II: Sejarah dan filsafat pernikahan.
Dalam sesi ini, pasangan diminta mendiskusikan bagaimana awal pertemuan mereka. Segi-segi apa saja yang menonjol dari pasangan sampai masing-masing memutuskan menikah dengan pasangan. Apakah kendalanya dan bagaimana mengatasinya. Bicarakanlah bagaimana pernikahan itu, bulan madu, juga transisi menjadi orangtua. Apa masa-masa yang paling membahagiakan dan masa yang sukar, dan bagaimana pasangan dapat mengatasi keadaan sukar itu. Juga melihat kesamaan nilai dan tujuan yang akan dicapai. Bagaimana perkawinan orang lain yang gagal dan bagaimana yang berhasil.
Dalam mengerjakan latihan ini sebagian besar pasangan akan menjadi lunak hatinya dan hubungan menjadi lebih mesra, sebab mengingat awal pengalaman dan perjuangan mereka untuk hidup bersama dan mengenang kembali saat-saat yang membahagiakan tersebut.
Latihan III: Dilaksanakan dalam tujuh minggu.
Latihan ini dirancang untuk membiasakan berpikir positif tentang pasangan Anda. Setiap hari pikirkan tentang satu kebaikan pasangan, baik itu sifat, perbuatan, ataupun pengalaman bersama; ditambah tugas menuliskan peristiwa kebaikan itu atau untuk merencanakan kesenangan bersama. Tambah sering diulang-ulang berbagai pemikiran positif ini tambah baik, sebab pasangan yang bermasalah sering kali dipenuhi berbagai pikiran dan penilaian jelek tentang pasangannya. Tugas tujuh minggu ini untuk mengimbangi dan mengurangi kebiasaan negatif tersebut.
Seperti fisik, mental pun bila sering dilatih jadi lebih terampil. Ny D dan suami, selamat menikmati latihan ini dan melestarikannya!
Leila Ch Budiman
Sumber : Kompas Cyber Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar